Oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank
SUKU bunga tak seperti suku bangsa. Suku bunga yang lebih tinggi selalu dicari para investor untuk menyimpan uangnya. Suku bangsa punya loyalitas dan tanah air. Uang tak pernah punya tanah air. Perbedaan suku bunga simpanan valas itulah yang kini terjadi.
Uang di mana pun berada selalu mencari suku bunga yang lebih tinggi. Sekarang ini suasana lebih sensitif. Ketika suku bunga valas dalam negeri lebih rendah daripada suku bunga valas di bank-bank di Singapura, misalnya.
Bank Indonesia (BI) sampai dengan Juli 2022 belum juga menaikkan suku bunga acuan. BI-7 Day Reverse Repo (BI7DRR) tetap 3,5%. Regulator yang bermarkas di Jalan Thamrin, Jakarta, ini masih mempertahankan BI7DRR di level 3,5% untuk yang ke-17 kalinya, sejak April 2021. Angka ini merupakan level terendah sejak diberlakukan pada Agustus 2016.
BI percaya bahwa inflasi yang mulai “menyala” ini belum merusak tatanan ekonomi. Angka inflasi inti masih bisa dikendalikan dengan suku bunga rendah ini. Itu artinya angka inflasi 4,33% belum akan membakar perekonomian Indonesia di tengah inflasi global yang menyala-nyala.
Hampir tak pernah berubah bahwa target inflasi yang dipatok BI ketika menyusun angka-angka moneter sebesar 3% plus minus satu. Inflasi sekarang angkanya sudah 4,33%, BI pun masih anteng. Belum juga menggoyahkan BI untuk segera menaikkan suku bunga acuan. Sebab, pemikiran BI, inflasi inti masih bisa dijinakkan, karena inflasi kali ini dipengaruhi oleh kebutuhan pangan.
Sementara, nilai tukar rupiah juga dirasa aman-aman saja. Memang sesekali menembus di atas Rp15.000 per dolar AS. Namun, lebih banyak pada angka di bawah Rp15.000. Padahal, target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), rupiah dipatok Rp14.350 per dolar AS dengan inflasi 3%. Asumsi harga BBM US$63 per barel, meski harga BBM sekarang sudah di atas US$100 dolar.
Intinya BI masih percaya diri. Tidak menaikkan suku bunga, meski “dewa” ekonomi Indonesia, IMF, meminta BI menaikkan suku bunga. BI tetap bergeming karena masih yakin suku bunga rendah merupakan obat manis yang masih “cespleng”. Karena subsidi jumbo pada BBM ini, BI tak menggerek suku bunga di tengah kenaikan inflasi dan suku bunga global.
The Federal Reserve atau Bank sentral Amerika Serikat kembali menaikan suku bunga The Fed sebesar 75 basis points (bps) ke kisaran 2,25%-2,50% pada akhir Juli 2022. Kenaikan suku bunga acuan ini sudah naik empat kali sejak awal tahun, Atau, sudah menaikan sebesar 227 bps.
Jalan Thamrin (BI) masih tetap percaya diri. Namun, ada beberapa kebijakan yang pahit buat bank-bank. Kewajiban giro wajib minimum (GWM) 9% hingga September 2022 tak ubahnya penarikan likuiditas di pasar. Bank-bank harus menyisihkan likuiditas yang tak kecil. Ini tak lain untuk mengurangi rupiah di pasar agar tidak digunakan untuk spekulasi dolar.
Tidak hanya itu. Suku bunga yang tak naik bisa berakibat pada pelarian dolar ke bank-bank luar negeri. Simak saja! Saat ini bank-bank di luar negeri, taruhlah Singapura, suku bunganya sudah 1%-1,5%, bahkan ada yang memasang 2,5-2,8% tergantung nominal simpanan.
Sedangkan, suku bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk dolar AS hanya 0,25%. Ini artinya ada jurang yang lebar antara suku bunga penjaminan dan suku bunga bank-bank di luar negeri, setidaknya bank-bank di Singapura. Disparitasnya antara 75 bps hingga 282 bps.
Itu bisa jadi karena ada penurunan dana pihak ketiga valuta asing. Lihat saja, data per Mei 2022, year to date (ytd) terjadi penurunan US$3,4 miliar. Penurunan paling drastis terjadi pada deposito mencapai US$3,05 miliar. Bisa jadi ini karena disparitas suku bunga valuta asing di dalam negeri tidak menarik dibandingkan bank-bank di Singapura.
Jika melihat data itu, ada “pelarian” dana ke bank-bank luar negeri. Lihat saja suku bunga bank-bank Singapura, seperti DBS, UOB, dan OCBC suku bunganya sudah ada yang mencapai kisaran 2,5%-2,8%. Makin besar simpanan makin besar suku bunganya.
Jamaknya LPS menaikkan suku bunga agar tidak terjadi pelarian dolar ke luar negeri. Namun, seperti biasa, LPS menunggu kenaikan suku bunga dari BI, dan ternyata BI tak juga menaikkan suku bunga, maka suku bunga penjaminan LPS pun tak naik. Atau, tetap. Bisa jadi, suku bunga untuk deposito dolar bank-bank dalam negeri tidak menarik.
Menurut catatan Infobank Institute, pada tahun 2021 sampai awal tahun 2022, posisi suku bunga pasar uang antar bank (PUAB) berada di level (1,05%) mengikuti posisi the Fed Fund Rate di rate 0,25%. Sementara suku bunga PUAB mengikuti trend kenaikan suku bunga The Fed Rate 1,62% versus 1,75% di awal Juli 2022.
Menurut pemantauan Infobank, saat ini untuk beberapa bank besar, posisi loan to deposit ratio (LDR) dolar sudah di atas 100%. Ini artinya permintaan kredit dolar tumbuh dan likuiditas dolar seret, yang bisa jadi karena suku bunganya tidak menarik.
Sementara, hasil ekspor dan pajak atas royalti ekspor komoditas dan sawit juga tak kecil. Pada Mei 2022 lalu saja, pajak dan royalti ekspor mencapai Rp420 triliun. Uang inilah yang dibuat untuk menambal subsidi BBM yang mencapai Rp502 triliun – angkanya pasti membengkak di Juli 2022 lalu.
Tidak bisa dibayangkan jika Indonesia tidak punya hasil ekspor ini. Inilah yang membedakan Indonesia dengan Sri Lanka. Indonesia masih disayang Tuhan. Negara kita punya alam yang subur dan penghasil sumber daya alam (SDA) yang dibutuhkan. Jika tak ada SDA, sangat mungkin nasib Indonesia akan seperti Sri Lanka. Harga energi pasti melambung tinggi, dan inflasi bakal menyala-nyala.
Bisa jadi, karena ini pulalah, BI masih yakin bahwa inflasi tak akan menyala dan tetap mempertahankan kebijakan suku bunga di level yang rendah. Namun, yang tetap membuat waswas secara psikologis adalah nilai tukar rupiah. Setiap menembus angka Rp15.000 per dolar AS, pasar mulai panik.
Meski hasil ekspor komoditas dan mineral melonjak, tapi dolar-dolar itu tak masuk ke Indonesia. Parkir dulu di Singapura. Bahkan, ada cerita yang beredar, para pengusaha itu jika ambil kredit di bank-bank dalam negeri dalam bentuk dolar, tapi kalau menyimpan hasil ekspor di bank-bank luar negeri, khususnya di Singapura. Kebiasaan itu sudah berlangsung lama.
Kini ekonomi Indonesia sebagian di tangan konglomerat. Tidak bisa dibantah. Minyak goreng, gula, daging, bawang putih, kedelai, dan sejumlah komoditas pangan lainnya seperti tepung gandum, semua dikuasai para konglomerat. Mereka juga punya dolar di bank-bank Singapura. Jangankan konglomerat, di bawah konglomerat pun punya simpanan dalam bentuk dolar.
Bank-bank asing, baik yang campuran maupun bukan, pun menjadi saluran utama untuk mengalirkan simpanan dolar. Tidak hanya dari Jakarta. Pusat-pusat perkebunan pun menjual produk dalam bentuk dolar dari bank induknya. Tidak salah, tapi dari situlah dolar mengalir ke bank-bank Singapura maupun Malaysia.
Kendati demikian, jangan takut Indonesia akan seperti Sri Lanka. Indonesia lebih kuat. Tak akan seperti Sri Lanka atau negara-negara yang tak punya SDA seperti Indonesia yang “gemah ripah loh jinawi”. Dan, jangan takut pula rupiah akan letoy, terperosok terlalu dalam, karena kita punya BI yang masih percaya diri dengan suku bunga rendah ini.
Jangan lupa, kita juga punya “bank sentral swasta”, yaitu para konglomerat yang punya dolar AS di bank-bank Singapura. Bak bandar dolar AS, karena duit dolarnya di bank-bank Singapura tak sedikit. Apalagi sekarang ini di tengah disparitas suku bunga yang lebar, lha tak ada disparitas saja duitnya anteng di bank-bank Singapura.
Namun demikian. Para konglomerat ini bisa ditelepon kapan saja jika rupiah mulai terbakar. Cerita konglomerat akan menukar dolar setelah “ditelepon” ini bukan cerita baru, tapi sudah menjadi cerita lama sejak sebelum reformasi. Para konglomerat ini akan menukar dolarnya sehingga rupiah kuat kembali.
Baca juga : Suku Bunga Kredit dan Simpanan Terus Turun jadi Segini
Dalam teori ekonomi Adam Smith ada tangan Tuhan, dan bisa jadi para konglomerat ini bagian dari tangan Tuhan. Dan, “kempes” nya dana valas di bank-bank di dalam negeri, tak lain karena sifat uang tak punya warga negara, uang mengikuti suku bunga yang lebih menarik.
Meski belum lampu merah, dan masih tahap lampu kuning atau waspada, kebijakan tidak menaikan suku bunga yang “bandel” bisa menguntungkan di tengah suku bunga yang meroket di pasar global, namun bank-bank sekarang ini terasa panas karena LDR valasnya sudah tinggi dan simpanan valasnya secara perlahan kempes pindah ke Negeri Singa yang tetap menampung uang-uang orang kaya Indonesia. (*)