Krisis Literasi Masih Hantui Perkembangan Ekonomi Syariah RI

Krisis Literasi Masih Hantui Perkembangan Ekonomi Syariah RI

Jakarta – Indonesia sebagai negara dengan populasi umat muslim terbesar di dunia telah menjadikannya pangsa pasar yang potensial untuk ekosistem ekonomi dan keuangan syariah. Bahkan, Indonesia saat ini telah menempati posisi ketiga dalam peringkat State of the Global Islamic Economy (SGIE).

Meskipun demikian, Indonesia ternyata masih menghadapi tantangan literasi ekonomi dan keuangan syariah di tengah masyarakatnya.

Direktur Infrastruktur Ekosistem Syariah Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), Sutan Emir Hidayat membeberkan data survei literasi yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (BI) maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Salah satu tantangan terbesar itu adalah literasi. Untuk (survei) BI fokus di ekonomi syariah. Aspeknya lebih besar, termasuk industri halal. Kalau OJK fokus pada keuangan syariah,” ucap Sutan pada acara webinar OJK bertajuk “Inovasi Produk Keuangan Islam: Peran Etika Halal dalam Memperluas Penetrasi Pasar”, Kamis, 13 Maret 2025.

Ia menjelaskan, berdasarkan rilis survei terbaru BI yang bertajuk “Survei Literasi Ekonomi dan Keuangan Syariah”, terlihat bahwa tingkat literasi ekonomi dan keuangan syariah masyarakat Indonesia sebesar 42 persen.

Baca juga: Alhamdulillah! Ekosistem Ekonomi Syariah RI Terus Tumbuh, Ini Buktinya

“Tapi sejarahnya cukup panjang. Di 2019 masih 16 persen, naik ke 20 persen di 2020. Lalu, naik lagi ke 28 persen di 2023. Tahun lalu yang keluar rilisnya kemarin, alhamdulillah naik dari 28 ke 42 persen,” jelasnya.

Peningkatan tingkat literasi ekonomi dan keuangan syariah masyarakat Indonesia itu adalah hasil dari kerja sama dengan berbagai stakeholders, seperti KNEKS, OJK, BI, serta kementerian/lembaga lainnya yang menjadi anggota KNEKS.

Melalui kolaborasi yang ada, pihaknya telah menerbitkan Strategi Nasional Literasi dan Inklusi Ekonomi dan Keuangan Syariah. Pemerintah Indonesia sendiri menargetkan tingkat literasi ekonomi dan keuangan syariah nasional sebesar 50 persen untuk tahun ini.

“Walaupun sudah mencapai 42 persen, itukan yang 58 persennya belum paham. Berarti masih mayoritas penduduk Indonesia itu belum paham,” tegas Sutan.

Yang mengkhawatirkannya, bukan hanya masyarakat umum, tapi pejabat pembuat kebijakan di level nasional maupun daerah, masih banyak yang belum merata kapasitas pemahamannya terkait ekonomi dan keuangan syariah.

Menurut Sutan, ketidakseragaman kapasitas pemahaman ekonomi dan keuangan syariah itu terlihat saat pembentukan Komite Daerah Ekonomi dan Keuangan Syariah (KDEKS) di berbagai daerah di Indonesia.

“Tidak sama pemahamannya di level gubernur contohnya. Lucunya, di provinsi seperti Sulawesi Utara dan Papua Barat Daya yang mayoritas non muslim, gubernur sebelumnya itu memiliki pemahaman yang cukup baik soal ekonomi syariah. Dan bahkan mendukung program ekonomi syariah, ini luar biasa,” cetus Sutan.

Sebaliknya, ada provinsi yang mayoritas muslim, tetapi pemahaman kepala daerahnya atas ekonomi syariah tidak sebaik yang dimiliki provinsi Sulawesi Utara atau Papua Barat Daya. Ia katakan bahwa kondisi tersebut tak bisa dilepaskan dari eksposur yang didapat para kepala daerah terhadap ekonomi dan keuangan syariah.

Ia mengisahkan bagaimana gubernur Sulawesi Utara periode sebelumnya yang sempat menjadi anggota Komisi XI DPR yang membahas soal sektor keuangan, sehingga mendapatkan ekspos lebih besar terhadap persoalan keuangan, termasuk di dalamnya keuangan syariah.

Besarnya kesadaran akan potensi sektor pariwisata dari mayoritas umat muslim Indonesia yang datang ke daerah mereka, turut menjadi salah satu faktor lainnya yang membuat para kepala daerah sadar atas potensi ekonomi syariah.

Baca juga: Bos BTN Kasih Update Proses Akuisisi Bank Victoria Syariah Senilai Rp1,6 Triliun

“Kalau seorang muslim mau berkunjung ke suatu daerah, salah satunya ingin mendapatkan haknya sebagai muslim yaitu makanan halal, bisa beribadah dengan nyaman. Nah, tentu fasilitas-fasilitas itu perlu disediakan, agar makin tinggi kunjungan wisatawannya,” pungkasnya.

Sebagai informasi, pemerintah Indonesia sendiri terus berupaya meningkatkan literasi dan inklusivitas dari ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia. Di tingkat regulasi, pemerintah Indonesia sudah merilis Undang-Undang (UU) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, yang di dalamnya termuat soal ekonomi dan keuangan syariah.

Di samping itu, ada pula Masterplan Ekonomi Syariah 2025-2029 dengan penyelarasan pada RPJPN 2025-2045, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, serta dokumen Asta Cita pemerintah Prabowo-Gibran. (*) Steven Widjaja

Related Posts

Top News

News Update