Jakarta – Pemberian kuota impor holtikultura, utamanya bawang putih dan buah, kian mendapat sorotan. Pengurus Perkumpulan Pengusaha Bawang Nusantara (PPBN) Mulyadi meminta Kementerian Pertanian (Kementan) untuk membuka semua data perusahaan yang mengajukan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH ) yang baru diberikan.
Pernyataan Mulyadi tersebut, sejalan dengan adanya dugaan sejumlah penerima RIPH yang justru adalah perusahaan baru yang mendapatkan bantuan ‘tangan elit politik’ untuk memperoleh kuota. Terhadap hal ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pun tengah menelisik. Komisi juga membuka pintu, agar pihak yang dirugikan dalam persoalan ini mau memberikan informasi lebih dalam.
“Kalau misalnya yang memenuhi syarat itu sudah sekian banyak, kemudian ada versi lain lagi selain pemenuhan syarat itu, ada indikasi diskriminatif itu bisa jadi masalah. Tapi kalau sudah sesuai prosedur, ya memang tugasnya Kementerian Pertanian untuk memberikan RIPH,” ujar Komisioner KPPU Chandra Setiawan kepada wartawan di Jakarta, Selasa, 25 Februari 2020.
Sementara itu, Mulyadi mengatakan, dari 100 perusahaan yang mengajukan aplikasi permohonan RIPH, yang mendapatkan kuota dari Kementan hanya 10 perusahaan. Sedangkan tujuh dari perusahan tersebut, disinyairnya merupakan PT yang baru berdiri. “Bila masih menggunakan sistem kuota atau wajib tanam, tapi itu hanya praduga,” jelasnya.
Pihaknya juga ingin agar Presiden Jokowi tahu tentang tidak transparannya impor bawang ini. Ia menegaskan dirinya bukan anti swasembada, namun target swasembada Kementan 2015-2019 jelas-jelas tidak tercapai. Bahkan sama seperti padi, kedelai, jagung, dan daging yang importasinya masih tinggi. Bahkan, ironisnya PT baru tersebut mendapat RIPH.
“PT baru mendapat RIPH sekitar 30.160 Ton dan 16. 500 Ton, Jadi selama menggunakan sistem kouta swasembada bawang putih omong kosong,” katanya.
Seperti diketahui, perusahaan yang melakukan impor bawang sebelumnya diwajibkan menanam komoditas bawang di dalam negeri, sebanyak lima persen dari kuota yang diimpornya. Hal itu diatur dalam Permentan Nomor 38 Tahun 2017, yang kemudian direvisi menjadi Permentan Nomor 39 Tahun 2019. Ada pula syarat-syarat lainnya yang tegas, termasuk bonafiditas perusahaan pengimpor dan gudang yang dimiliki. Termasuk kepemilikan gudang dan kendaraan yang sesuai persyaratan.
Untuk itu, dirinya mendesak, Kementan membuka profil perusahaan yang sudah memenuhi persyaratan.
Terhadap persoalan RIPH, Komisioner KPPU Chandra Setiawan mengaku bahwa pihaknya tengah mengawasi persoalan ini. Soal pemberiannya dan pengaturan kuota, KPPU menekankan memang harus dilihat siapa saja yang mengajukan dan pemenuhan persyaratannya. Menurut Chandra, ketika suatu perusahaan importir sudah memenuhi persyaratan maka RIPH harus diterbitkan setiap saat, dan tidak perlu menunggu-nunggu.
KPPU berharap RIPH bisa terbit setiap saat agar harga-harga di internasional itu tidak bisa dipermainkan oleh pemain ekspor impor baik di dalam dan luar negeri. “Kalau misalnya RIPH itu keluarnya terjadwal, itu malah akan mudah dipermainkan, mudah dibaca oleh produsen,” paparnya.
Terhadap Kementan, KPPU berharap tak lagi mengeluarkan RIPH tidak menggunakan kuota. Melainkan berdasarkan kebutuhan dari pelaku usaha dan memenuhi aturan-aturan yang berlaku. Seharusnya, lanjutnya, importir tidak mudah juga mendapatkan RIPH tanpa memenuhi persyaratan.
Sementara itu, Kementan menegaskan, pemberian RIPH sudah dilakukan terbuka. Dirjen Holtikultura Kementan Prihasto Setyanto usai rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR, membantah tudingan RIPH tak transparan. Prihasto mengatakan pemberian RIPH sudah dilakukan secara terbuka.
Dia juga membantah ada konflik kepentingan dalam pemilihan importir. Namun dia tidak membeberkan perusahaan-perusahaan yang diberikan RIPH dengan kuota masing-masing. “Kata siapa kurang terbuka. Enggak. Kan dugaan saja. Semua terbuka,” tegasnya. (*)