Jakarta – Dunia sepakat bergerak menuju ke arah ekonomi hijau. Praktik ekonomi hijau berdasarkan prinsip environment, social, and governance (ESG) diyakini sebagai pilar dan masa depan ekonomi. ESG menjadi resep membawa bumi ke arah yang lebih baik, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Laju pertumbuhan ekonomi dunia, termasuk Indonesia tidak bisa dilepaskan dari implementasi ESG. Dengan penerapan ESG, Indonesia bisa mengoptimalkan potensi sebagai salah satu tujuan utama bagi investor internasional dalam berekspansi di wilayah ASEAN. Sekarang, investor cenderung lebih memilih berinvestasi ke sektor-sektor hijau dan berkelanjutan.
Presiden Direktur HSBC Indonesia, Francois de Maricourt, mengatakan, ada tiga faktor utama yang akan menjadi mesin pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertama, penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI). Kedua, optimalisasi transformasi dan infrastruktur digital. Ketiga, komitmen pada berkelanjutan alias sustainability.
Francois menegaskan, dukungan regulasi pemerintah untuk iklim investasi telah mendorong laju PMA, yang mencapai USD43 miliar pada 2022, meningkat USD12 miliar dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan PMA ini sekaligus membuktikan bahwa Indonesia memiliki daya tarik besar bagi investor.
Baca juga: Begini Kontribusi Bank DBS Indonesia Dorong Ekonomi Hijau Berkelanjutan
“Sangat menggembirakan melihat investasi mengalir ke sektor-sektor yang memberikan nilai tambah yang besar bagi perekonomian Indonesia,” tegas Francois dalam HSBC Summit 2023 di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Momentum pertumbuhan PMA harus dijaga. Kolaborasi semua pihak menjadi kunci agar Indonesia bisa mengoptimalkan peluang sebagai tujuan utama investasi, yang pada akhirnya akan membawa dampak bagi pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan. Industri perbankan bisa berperan sebagai katalisator dengan mengembangkan ragam skema pembiayaan berkelanjutan.
“Institusi keuangan, termasuk bank seperti HSBC, memiliki peran krusial dalam menghubungkan investor dengan peluang berkelanjutan dan mendukung perusahaan lokal dalam mengadopsi standar keberlanjutan internasional,” ujar Francois.
Pentingnya prinsip ESG dalam menarik investasi juga ditegaskan oleh Anggota Dewan Direktur – Chief Investment Officer Indonesia Investment Authority (INA), Stephanus Ade Hadiwidjaja, dalam HSBC Summit 2023. Menurutnya, ESG menjadi elemen sangat penting dalam menilai suatu investasi. Assessment atas investasi dilakukan untuk melihat dampaknya pada lingkungan. Bukan hanya tidak ada dampak negatif, tapi harus memberi dampak positif.
“Dari sisi sosial, bagaimana kita meningkatkan kapabilitas karyawan yang ada di perusahaan tersebut. Bagaimana kita memastikan adanya gender equality. Dan dari sisi governance juga memastikan tata kelola perusahaan yang baik,” ujarnya seraya menambahkan INA melakukan investasi spesifik di empat pilar utama, yakni infrastruktur, healthcare, digital, dan green investment.
Inisiatif Menuju Net Zero Emmision (NZE)
Dalam praktiknya, penerapan ESG dan transisi menuju net zero emission (NZE) atau nol emisi bersih dihadapkan pada tantangan besar, yakni pembiayaan. Indonesia berkomitmen mencapai NZE pada 2060 atau lebih cepat. Sejumlah regulasi sudah diterbitkan pemerintah maupun regulator demi mendukung ambisi tersebut. Untuk mencapai target NZE, International Energy Agency melaporkan bahwa kebutuhan investasinya mencapai USD8 miliar per tahun pada sektor energi baru terbarukan (EBT) sampai 2030.
Indonesia juga sudah meluncurkan pasar karbon dengan potensi perdagangan hingga USD20 miliar. Di sisi lain, kebijakan pemerintah untuk mendorong ekosistem kendaraan listrik (EV), ditambah posisi Indonesia sebagai produsen utama bahan baterai EV, membawa peluang besar untuk investasi.
Baca juga: Investor Pasar Modal Tumbuh 13,76 Persen, Masih Didominasi Milenial dan Gen Z
Francois menegaskan, HSBC Indonesia siap membantu pemerintah dan perusahaan untuk mengikuti praktik bisnis berkelanjutan berstandar internasional. HSBC akan memanfaatkan jaringan yang kuat dan pengalaman sebagai bank global untuk membantu perusahaan global yang ingin berinvestasi di Indonesia.
Kepada Infobank, Riko Tasmaya, Direktur Wholesale Banking Bank HSBC Indonesia, mengakui, biaya transisi ekonomi hijau sangat besar. Asian Development Bank (ADB) memperkirakan, negara-negara berkembang di Asia membutuhkan investasi tahunan sebesar USD1,7 triliun di bidang infrastruktur hingga tahun 2030. Banyak teknologi terobosan yang dibutuhkan di masa transisi ini. Seperti di Asia, lebih dari 50 persen sumber energinya berasal dari batu bara. Maka penting memastikan transisi menuju ekonomi hijau berjalan adil dan inklusif.
Aspek ekonomi dan sosial harus dipertimbangkan dan disesuaikan dengan realitas dan kebutuhan di masing-masing tempat. Industri perbankan dapat mendukung transisi menuju ekonomi hijau dengan menyediakan beragam skema pembiayaan berkelanjutan.
“Kita perlu menggabungkan pendanaan publik dan swasta (blended finance) untuk membuka aliran modal besar yang dibutuhkan, dengan risiko yang dapat ditransfer dan tersebar pada dukungan dari sumber pendanaan publik di lebih banyak proyek. Hal ini mengharuskan seluruh pemangku kepentingan, dari pemerintah, regulator, investor, sesama lembaga keuangan, perusahaan, hingga LSM berkolaborasi bersama,” jelasnya.
HSBC sendiri menjadikan NZE sebagai salah satu pilar strateginya di seluruh dunia. Selain berkomitmen menjadi net zero bank dari sisi operasional dan supply chain, HSBC juga mendukung nasabah melakukan transisi, terutama yang beroperasi di sektor padat karbon, dengan menyediakan pendanaan hingga USD1 triliun secara global, untuk keuangan dan investasi berkelanjutan demi menuju ekonomi rendah karbon.
HSBC mendukung inovasi-inovasi dalam solusi mengatasi perubahan iklim. Sejak tahun lalu, HSBC sudah bekerja sama dengan kliennya dalam meninjau rencana transisi, terutama yang bergerak di sektor dengan emisi sulit diredam, karena transisi sektor ini sangat berkontribusi pada transisi perekonomian.
“Karena percepatan transisi ke NZE memerlukan pendekatan dari segala aspek, kami membangun kemitraan dengan regulator, perusahaan swasta, bank multilateral, dan institusi finansial lain. Negara seperti Indonesia memerlukan banyak investasi untuk mencapai tujuan iklimnya. Hal ini perlu dilakukan sesegera mungkin, sehingga kita harus berperan aktif mewujudkan kolaborasi ini. Kemitraan keuangan campuran antara publik dan swasta adalah cara yang baik untuk mencapai hal itu,” terangnya.
Terkait kemitraan keuangan campuran, HSBC Indonesia berpartisipasi dalam JETP (Just Energy Transition Partnerships) dan Pentagreen. JETP dirancang untuk mengembangkan solusi spesifik per negara untuk mengakselerasi transisi menuju energi ramah lingkungan. HSBC bergabung GFANZ Indonesia untuk memobilisasi dan memfasilitasi pendanaan publik dan swasta sebesar USD20 miliar selama 3-5 tahun ke depan untuk mendukung JETP secara jangka panjang di Indonesia.
HSBC juga mendukung proyek Energy Transition Mechanism (ETM), yang bertujuan untuk memfasilitasi penghentian dini aset-aset batu bara di Asia. Inisiatif ini dipimpin ADB dan bekerja untuk mendukung JETP.
Selain JETP, di Asia Tenggara, HSBC dan investor Singapura Temasek Holdings, didukung ADB dan Clifford Capital Holdings, mendirikan Pentagreen Capital, sebuah lembaga baru yang berfokus pada perpaduan pendanaan komersial dan konsesi untuk mendukung proyek infrastruktur berkelanjutan. Ini sekaligus membuktikan bahwa sovereign wealth fund, multilateral development bank, debt fund, dan bank komersial dapat bekerja sama untuk membantu mengkatalisasi investasi energi ramah lingkungan.
Baca juga: Pembiayaan Hijau, Masa Depan Perbankan Indonesia
Melalui instrumen pembiayaan berkelanjutan, HSBC mendukung nasabah melakukan transisi menuju ekonomi hijau. Contohnya, HSBC dimandatkan sebagai joint bookrunner dan agen penjual internasional pada IPO Pertamina Geothermal Energy (PGE) di Indonesia senilai USD608 juta.
HSBC juga membantu Semen Indonesia Group (SIG) mengembangkan Kerangka Keberlanjutan sebagai persyaratan penting untuk memperoleh pinjaman terkait keberlanjutan, serta berpartisipasi memberikan syndicated sustainability linked loan kepada SIG.
HSBC Indonesia juga menyalurkan pinjaman ramah lingkungan sebesar USD67 juta kepada PT Bumi Menara Internusa, eksportir akuakultur dan makanan laut berkelanjutan, lewat perjanjian partisipasi risiko dengan ADB. Terbaru, HSBC Indonesia menyalurkan pinjaman berjangka hijau (green term loan) senilai USD20 juta kepada PT Indo-Rama Syntehtics Tbk pada September 2023 lalu.
“Kami melihat permintaan sustainable finance akan terus tumbuh seiring meningkatnya kesadaran perusahaan dalam menerapkan praktik usaha sesuai ESG dan rendah karbon,” pungkasnya. (*) Ari Astriawan.