Jakarta – Selisih data produksi beras antara Badan Pusat Statistik (BPS) dengan yang disajikan Kementerian Pertanian (Kementan) menjadi pertanyaan publik. Untuk itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diharap dapat mengusut adanya potensi kerugian negara terkait dengan kesalahan data produksi beras yang disampaikan Kementan.
Perbedaan data produksi beras versi BPS dan Kementan di 2018 ini terlihat jomplang. Kementan mengklaim di tahun ini produksi beras bisa mencapai 46,5 juta ton, dengan surplus 13,03 juta ton karena konsumsi nasional untuk komoditas ini hanya 33,47 juta ton dalam setahun. Padahal, data terbaru BPS mencatat, produksi beras di 2018 sekitar 32,42 juta ton, dan hanya surplus 2,85 juta ton.
Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi mengatakan, Kementan harus bertanggung jawab lantaran gagalnya pencapaian target tersebut, Sebab, kata dia, pencapaian target itu dapat menggambarkan kinerja seorang menteri selama menjabat. “Kalau tidak tahu malu, ya sudah pertahankan saja jabatan itu,” ujarnya kepada wartawan seperti dikutip di Jakarta, Kamis, 25 Oktober 2018.
BPK dan KPK yang didorong dapat mengusut adanya potensi kerugian negara ini, sejalan dengan pemerintah yang telah mengeluarkan anggaran yang tak sedikit sebagai bentuk keseriusannya dalam mensukseskan program ketahanan pangan. Bagaimana tidak, dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2018, pemerintah memberikan anggaran sebesar Rp23,8 triliun kepada Kementan.
“Salah satu fungsi anggaran tersebut untuk pembelian pupuk dan kebutuhan pertanian lainnya untuk mewudukan swasembada pangan. Supaya memang kelihatan jelas, kemana saja anggaran yang dikelola Kementan,” tegas dia.
Dalam proses audit ini, jelas Uchok, lembaga antirasuah dapat memeriksa Menteri Pertanian beserta jajarannya. Pemeriksaan ini dapat mempermudah BPK melakukan proses audit di Kementan. Selisih hasil kalkulasi BPS sebanyak 56,54 juta ton yang sangat berbeda jauh dengan yang disuguhkan Kementan sebanyak 80 juta ton, menyoal juga penggunaan anggaran.
Baca juga: Jokowi Diminta Tegas Terkait Kekeliruan Data Beras Kementan
“KPK seharusnya sudah bisa memanggil Menterinya dan Direktur Jenderal nya. Sedang BPK melakukan audit seluruh proyek dalam program ketahanan pangannya,” jelasnya.
Senada, Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) Fauzi Amro juga mendorong BPK untuk melakukan audit terhadap Kementan. Audit ini sebagai pertanggung jawaban penggunaan anggaran Kementan.
Di sisi lain, Fauzi menilai, penyempurnaan metode perhitungan produksi beras menggunakan pengawasan satelit yang dilakukan BPS, LPI, LAPAN, dan pihak terkait lainnya merupakan langkah tepat. Metode ini dapat membuat data produksi beras seluruh kementerian terkait menjadi sama. “Selain itu dapat menjadi pijakan dalam mengambil kebijakan nasional dan pemenuhan beras,” ucapnya.
Dirinya berpandangan, bahwa metode perhitungan produksi beras ini dapat disosialisasikan ke Kementerian terkait, utamannya Kementan. Tujuannya, agar pemerintah bisa mendapatkan data produksi beras yang valid. “Apalagi hal ini sudah diresmikan Wapres Jusuf Kalla. Semoga dengan penyempurnaan metode ini, kebijakan beras akan menjadi lebih terpadu,” tandasnya.
Di kesempatan terpisah, Komisioner Ombudsman Alamsyah Saragih juga mengatakan, bahwa pihaknya sudah mengingatkan, Kementan sebaiknya tidak perlu terlalu terburu-buru untuk mengklaim bahwa produksi padi mengalami surplus sebanyak 13,3 juta ton beras. Menurutnya, data tersebut masih bisa mengalami perubahan hingga akhir 2018 nanti.
“Kami sudah sering sampaikan tunggu dari publikasi BPS, sebelum mengeluarkan data. Kami juga selalu bilang jangan kampanye surplus berlebih. Dan inikan dalam batas waktu tertentu bisa turun dan bisa naik juga,” tutupnya. (*)