Oleh Abdul Mongid, Guru Besar pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Negeri Surabaya
PERBANKAN nasional diguncang oleh berita “kredit fiktif” yang dilakukan Kepala Cabang Bank Jatim cabang Jakarta. Kabar ini tentu mengejutkan karena nilainya menurut berita mencapai Rp569,4 miliar. Praktik “kredit fiktif” ini sudah dilakukan dari 2023 sampai dengan akhir 2024. Kecurangan ditemukan pada awal 2025 setelah dilakukan pemeriksaan internal oleh Bank Jatim bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Selain kerugian finansial, skandal ini merugikan reputasi industri keuangan, khususnya perbankan. Sangat menyedihkan, mengingat saat ini pemerintah sedang berupaya menaikkan peran sektor keuangan guna mendorong pertumbuhan ekonomi melalui kredit.
Praktik “kredit fiktif” dapat berjalan selama dua tahun, dari 2023 sampai dengan 2024, karena kepala cabang melakukan inovasi akuntansi yang dikenal dengan istilah keren “creative accounting”. Ini bukan kreativitas sebenarnya, melainkan aksi “kriminal”. Caranya dengan memecah kredit menjadi kredit kecil-kecil alias kredit “ketengan” sehingga tidak ada peran direksi dan komisaris dalam proses persetujuan. Artinya, kendali kredit ada di kepala cabang seratus persen. Makanya, boleh dikatakan direksi, komisaris, dan pemegang saham adalah korban dari kelicikan dan “akal bulus” kepala cabang.
Apa pun sumbernya, kasus ini sontak menjadi perhatian publik. Bahkan, protes dari berbagai komponen masyarakat Jawa Timur (Jatim) pun terjadi dengan berbagai tuntutan. Dengan total aset Rp102 triliun, potensi kerugian atas kredit fiktif mencapai setengah persen dari total aset Bank Jatim. Malah, kalau dihitung dari jumlah modal yang dimiliki Bank Jatim sebesar Rp12,5 triliun, praktis Bank Jatim telah mengalami penurunan modal potensial sebesar 4,5 persen. Jumlah yang sangat signifikan bagi industri keuangan. Berapa jumlah yang berhasil diselamatkan saat ini belum ada informasi resmi. Namun, menurut informasi yang didapat sebesar Rp115 miliar.
Baca juga: Soal Gangguan Sistem Bank DKI, OJK Bilang Begini
Kejadian “kredit fiktif” ini boleh disebut sebagai hal yang “memalukan” karena dilakukan oleh kepala cabang. Pada kasus Bank Jatim ini, praktiknya bukan kredit macet, melainkan “kecurangan” alias fraud dengan kepala cabang sebagai “mastermind”. Ini wujud dari pengkhianatan terhadap semangat nasional untuk membangun ekonomi melalui sektor keuangan. Ini boleh disebut sebagai “subversi ekonomi”. Sebuah pengkhianatan atas kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat.
Sebagai risiko operasional, kejadian ini terkait dengan tidak berfungsinya penerapan sistem pengendalian fraud. Secara internal, Bank Jatim memiliki pedoman strategi anti fraud sesuai dengan Surat Keputusan Direksi Nomor 050/119/KEP/DIR/AI tanggal 29 Juni 2012 tentang Buku Pedoman Penerapan Strategi Anti Fraud. Di sana secara jelas disampaikan pilar-pilar sistem pengendalian anti fraud, yang meliputi pencegahan, deteksi dini, investigasi, pelaporan, dan sanksi serta pemantauan atas tindak lanjut.
Bahkan, OJK melalui POJK 12 Tahun 2024 memperbarui aturan terkait Penerapan Strategi Anti Fraud bagi Lembaga Jasa Keuangan (POJK SAF LJK). Revisi ini dilakukan karena makin kompleksnya kegiatan usaha lembaga jasa keuangan (LJK) sehingga terjadi peningkatan potensi terjadinya fraud yang merugikan bank, pemerintah maupun masyarakat. Makanya, aktivitas untuk meminimalisasi fraud melalui reformasi sistem dan organisasi pengendalian internal harus dilakukan secepatnya oleh masing masing lembaga.
Apakah ada dampak kejadian ini pada kinerja Bank Jatim? Pastinya ada. Namun, pengaruhnya tidak sangat substansial. Berdasarkan data laporan keuangan Bank Jatim 2024, total aset Bank Jatim mencapai Rp102 triliun dengan kepemilikan modal Rp12,5 triliun. Total laba pada 2024 adalah Rp1,178 triliun.
Berdasarkan laporan tahun 2024, Bank Jatim memiliki ROA 1,85 persen dengan rasio kecukupan modal 25,14 persen dan BO/PO 80,57 persen. Bank ini menikmati NIM mencapai 5,86 persen. Seperti BPD lainnya, porsi kredit konsumsi di atas 50 persen karena kredit konsumtif PNS.
Respons Pihak Terkait
Sayang, respons atas kejadian yang menimpa Bank Jatim ini tak begitu terlihat. Hanya pernyataan dari sekretaris perusahaan, bahwa Bank Jatim akan menghormati proses hukum yang tengah berjalan dan mendukung penuh pemeriksaan atas kasus ini.
Akhirnya, dua hari lalu, Sekretaris Daerah Jawa Timur, Adhy Karyono, yang juga Komisaris Utama Bank Jatim memastikan evaluasi Direksi Bank Jatim sebagai imbas dari terjadinya kredit fiktif senilai Rp569 miliar ini.
Baca juga: Jadi Anggota KUB Bank Jatim, BEKS Juga Buka Peluang Kolaborasi dengan Bank Lain
Banyak agenda yang harus dilakukan, di antaranya penguatan peran pengawasan intern untuk lebih intens mengawasi kredit di cabang yang polanya aneh. Demikian juga dengan sistem manajemen risiko yang ada. Mekanisme penilaian manajemen risikonya melaui “check and re-check” harus diperkuat dengan tujuan untuk memastikan bahwa kredit akan aman. Demikian juga dengan aspek pengelolaan SDM, khususnya penunjukan kepala cabang.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebaiknya membuat gebrakan khusus, seperti pendirian Crisis Center. Lembaga ad hoc ini bertugas melakukan evaluasi dan kajian secara menyeluruh terhadap praktik perkreditan dan tata kelola, khususnya untuk kredit di level cabang. Keterbukaan informasi dan penjelasan yang lengkap terhadap kasus “fraud” tidak akan merusak reputasi, justru malah akan menaikkan nama baik Bank Jatim.
Ini penting untuk menjaga nama baik semua pihak, khususnya Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa. Kegagalan dalam mengelola isu kredit fiktik ini bisa menyeret reputasi beliau yang sebenarnya sangat jauh untuk tahu dan mengurusi yang teknis seperti ini. (*)