Jakarta – Dalam mewujudkan Nawacita untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang mandiri dan berdaulat pangan, juga berkembangnya ekonomi kerakyatan di era pemerintahan Joko Widodo sepertinya sulit tercapai. Apalagi para pengamat menilai, ada dua Kementerian yang kinerjanya belum menunjukkan dukungan penuh terhadap program pemerintah ini.
Kapasitas sektor pertanian terlihat semakin menurun dan menjauhi cita-cita swasembada pangan berbagai komoditas yang digaungkan oleh Kementerian Pertanian. Di sisi lain, holdingisasi dan ekspansi BUMN yang tengah digencarkan Kementerian BUMN, juga dinilai bisa berdampak negatif terhadap para pelaku industri secara umum, khususnya swasta dalam pembangunan ekonomi kerakyatan.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus menilai, salah satu ketidakoptimalan sektor pertanian dalam meraih kedaulatan dan kemandirian pangan ini dapat terlihat dari perdagangan Indonesia secara kumulatif masih defisit. Di mana tampak ada dominasi struktur impor barang konsumsi yang tidak mampu dipenuhi oleh produksi dalam negeri.
“Dominasi struktur impor barang konsumsi semakin besar. Sekarang 9 persen. Ini indikasi bahwa pertumbuhan industri lain mengambil keuntungan dari market negara kita,” ujar dia kepada wartawan, di Jakarta, Kamis, 2 Agustus 2018.
Oleh sebab itu, dirinya mengingatkan Presiden Jokowi untuk dapat memperbaiki sisi kelembagaannya di sektor ekonomi jika mau memimpin lagi di periode yang akan datang. Sejauh ini, kata dia, banyak ketidaksolidan antar Kementerian. Khususnya terkait data yang tidak seragam dengan kebutuhan yang ada seperti Kementan yang mengeluarkan data yang berbeda dengan BPS.
Pada akhirnya, data yang berbeda ini membuat berbagai tataniaga bermasalah karena dimanfaatkan oleh segelintir pihak. “Kementerian Pertanian selalu mengklaim produksinya cukup dan cukup untuk beberapa komoditas. Sementara di pasar harganya mahal. Ini kan sangat anomali,” ucapnya.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah terkait sektor industri. Pasalnya, sektor ini sangat berperan terhadap PDB. Namun sayangnya, pertumbuhan ekonomi tengah melambat, dan Kementerian BUMN dinilainya, kurang mendukung hal ini. “Sangat sulit di atas 5 persen. Ini harus kembali lagi kita mesti melakukan reindustrialisasi. Kembangkan industri yang kita potensinya. Pertama industri agro, industri mining,” ucapnya.
Direktur Centre For Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi juga mengatakan, tugas-tugas yang diberikan kepada Kementan dalam hal pangan seolah-olah menunjukkan Presiden tidak memahami persoalan pangan. Kesan ini timbul lantaran tidak adanya data mengenai pertanian. Jika hanya mengandalkan proyeksi tanpa menggunakan data pembanding, seolah-olah memang terlihat stok pangan mencukupi.
Pada akhirnya, dibuatlah kebijakan-kebijakan hanya berdasarkan asumsi-asumsi saja. “Karena pertanian tidak punya data. Jangankan data beras, data sawah aja mana yang sudah habis. Sawah kita berapa hektare sih. Mana yang sudah jadi rumah, pasti nggak tahu,” tegasnya.
Kalangan Dewan juga memiliki persepsi yang serupa. Data valid terhadap produksi pertanian disangsikan oleh Anggota Komisi IV DPR, Andi Akmal Pasludin. Dirinya mengambil contoh stok telur dan daging ayam, yang kini berkembang. “Kita harus minta data dari Kementerian Pertanian apakah memang jumlah telur sama ayam itu cukup atau kurang,” papar Andi.
Menurutnya, jika jumlahnya cukup dibandingkan dengan tingkat konsumsi yang ada di masyarakat, maka kondisi ini menunjukkan adanya permainan di tingkat distributor. Di sisi lain, Kementan dan Kemendag serta Komisi Pengawas Persaingan Usaha harus bersinergi untuk menangani masalah naiknya harga telur dan daging ayam. Sebab, jika tidak ditangani rakyat yang mengalami kerugian. (*)