Jejak Perjuangan dan Inovasi: Pegadaian Hadir dari Generasi ke Generasi
Page 3

Jejak Perjuangan dan Inovasi: Pegadaian Hadir dari Generasi ke Generasi

Poin Penting

  • Pegadaian hadir sebagai solusi keuangan lintas generasi, dari perjuangan keluarga hingga masa kini.
  • Layanan Tabungan Emas, Cicil Emas, dan Gadai kini dapat diakses mudah lewat aplikasi Pegadaian.
  • Pegadaian catat 10 juta transaksi digital Rp32 triliun pada semester I-2025 dan resmi berizin sebagai bullion bank dari OJK.

Jakarta - Langit pagi begitu cerah pada Minggu, 6 September 2025, ketika Tara berkunjung ke rumah nenek dan kakeknya, di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan. Senyum bahagia merekah di wajah Mbah Uti dan Mbah Akung–sapaan khas Jawa yang digunakan Tara–saat melihat kedatangan Tara bersama suami dan putra kecilnya.

“Sehat, Nduk? Cicit juga sehat?,” sapa Mbah Uti, menepuk tangan Tara dengan lembut.

“Alhamdulillah, sehat Mbah.. Mbah Uti dan Mbah Akung juga sehat?” jawab Tara dengan senyum hangat.

“Alhamdulillah kami sehat. Alhamdulillah semuanya sehat” timpal Mbah Akung, sambil tersenyum lebar.

Percakapan sederhana itu menghangatkan hati Tara. Ia amat bersyukur masih bisa bertemu dengan kakek dan neneknya yang telah berusia 80 tahun dari pihak ibunya ini. Seketika ingatan Tara kembali ke masa silam.

Tara pernah tinggal di rumah Mbah Uti dan Mbah Akungnya sewaktu ia duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA). Kala itu, jarak sekolah dengan rumah neneknya tidak jauh.

Supaya tidak terlambat datang ke sekolah, Tara pun tinggal di rumah nenek dan kakeknya itu sampai lulus SMA. Karenanya, cucu ketiga, dari total 15 orang cucu ini, menjadi sangat dekat dengan nenek dan kakeknya.

Mereka pun saling melepas rindu, bercengkrama di ruang tamu sambil menyantap tahu goreng dan aneka kue pasar yang telah disiapkan Mbah Uti. Obrolan bergulir dengan hangat.

“Alhamdulillah, senang rasanya bisa melihat Cucu sudah menikah, bekerja. Cicit juga sehat dan mau mulai masuk sekolah. Yang hemat, yo Nduk.. Jangan boros-boros uang.. Semoga selalu dilancarkan rezekimu, Nduk..” tiba-tiba Mbah Uti menatap Tara, matanya berbinar mengenang masa lalu.

“Mbah jadi teringat perjuangan hidup dulu, saat harus berjuang demi kehidupan sehari-hari,” ujar Mbah Uti pelan, sambil menatap Tara penuh haru. “Dulu, Nduk, waktu ibumu kuliah, hidup kami pas-pasan. Pernah sampai bingung cari biaya untuk kuliahnya.”

Baca juga: Susul BSI dan Pegadaian, OJK Buka Peluang LJK Ajukan Izin Usaha Bullion Bank

Kisah itu terjadi sekitar tahun 1980-an. Untuk membayar uang kuliah ibunda Tara, Mbah Uti dan Mbah Akung, harus mencari jalan keluar. Pilihannya hanya satu, yakni menggadaikan perhiasan di Pegadaian.

Kala itu, Pegadaian masih berupa kantor cabang. Jaraknya pun sekitar 10 kilometer dari rumah, dan karena belum ada kendaraan pribadi, mereka harus naik becak untuk sampai ke sana.

Bagi Mbah Uti, perjalanan itu terasa panjang, melelahkan, sekaligus penuh doa. Setiap kayuhan roda becak seakan menjadi simbol perjuangan, membawa harapan agar anaknya bisa tetap kuliah dan meraih masa depan yang lebih baik.

“Akhirnya Mbah gadein kalung pemberian Akung ke Pegadaian untuk membayar uang sekolah ibumu. Berat rasanya, tapi demi masa depan anak-anak, Mbah harus ikhlas,” kenang Mbah Uti.

Baca juga: Arah Bisnis Pegadaian Usai Punya Layanan Bank Emas

Tara terdiam. Hatinya bergetar. Di depan matanya, ia melihat dua sosok renta yang begitu kokoh dan pantang menyerah, berjuang untuk menghidupi keenam anaknya pada masa lalu.

Perhiasan pemberian Mbah Akung yang digadaikan bukan hanya sekadar emas, melainkan wujud pengorbanan dan cinta orang tua. Perjuangan Mbah Uti dan Mbah Akungnya pun tak sia-sia. Karena ibunda Tara berhasil meraih gelar sarjana.

Dari cerita itu pula Tara teringat bahwa perjalanan pendidikannya sendiri tidak lepas dari jasa Pegadaian. Lima belas tahun lalu, atau ketika Tara remaja berusia 15 tahun, ia pernah menemani Ibunya ke kantor Pegadaian untuk menggadaikan perhiasan. Tara teringat, saat itu hidupnya sedang sulit. Ayahnya jatuh sakit dan tidak bisa lagi bekerja, sehingga sang ibu harus menjadi satu-satunya penopang keluarga. 

Suatu hari, ketika Tara–anak pertama dari tiga bersaudara ini–harus membayar uang sekolah, ibunya memutuskan untuk menggadaikan perhiasan.

Perjuangan ibunya, bahkan neneknya, terus melekat dalam ingatan Tara. Menurutnya, peristiwa-peristiwa pada masa lalu itu tidak sekadar tentang biaya sekolah yang akhirnya terbayar, melainkan juga tentang keteguhan seorang ibu yang pantang menyerah demi masa depan anak-anaknya. Kenangan itu membekas, menjadi pengingat bahwa di balik kilau emas, tersimpan kisah perjuangan keluarganya yang tak ternilai.

Dari neneknya yang dulu menggadaikan perhiasan demi pendidikan putrinya, hingga ibunya yang melakukan hal serupa untuk biaya sekolah anak-anaknya.

Kini, Tara melanjutkan jejak itu dengan cara berbeda: menabung emas secara digital di Pegadaian, mempersiapkan masa depan anaknya melalui genggaman tangan.

Related Posts

News Update

Netizen +62