Oleh Tim Biro Riset Infobank
ADA bom waktu tengah mengancam bank dan asuransi jiwa kredit, yang dibiarkan, bahkan tak dipedulikan. Lihat saja, rasio kerugian (loss ratio) yang sudah menembus angka 152 persen. Bahkan, ada individu perusahaan yang menembus angka 180 persen. Tertinggi dalam sejarah asuransi jiwa kredit. Apalagi pertumbuhan premi lebih kecil daripada klaim yang terjadi. Akibatnya banyak klaim yang tidak dibayar. Kalaupun dapat dibayar, maka yang dijalankan sudah seperti skema Ponzi. Premi baru untuk membayar klaim. Begitu seterusnya.
Salah-salah kondisi itu akan berisiko sistemis di sektor keuangan, khususnya perbankan dan asuransi jiwa kredit. Bayangkan saja, jika perusahaan asuransi tak lagi mampu membayar klaim yang makin hari makin menumpuk. Penerimaan premi akan tergerus oleh klaim. Apalagi, dengan ketidakpastian global. Risiko kredit makin meningkat.
Selama ini, asuransi jiwa kredit (AJK) merupakan produk proteksi terhadap risiko kematian debitur, yang secara luas digunakan sebagai syarat dalam pemberian kredit oleh lembaga keuangan seperti bank BUMN, BPD, BPR, hingga koperasi. Praktiknya, AJK mencakup hampir 100 persen dari pertanggungan kredit yang disalurkan lembaga lembaga tersebut.

Awalnya baik-baik saja. Tak mengalami tekanan yang berat. Bahkan, AJK ini seperti pahlawan bagi laba perbankan. Lah, apa tidak enak; debitur meninggal langsung diklaim.
Produk AJK awalnya memberikan kontribusi positif terhadap stabilitas keuangan nasional karena premi yang dibayarkan bersifat jangka pendek dan sesuai dengan risiko aktual yang ditanggung oleh perusahaan asuransi.
Namun, dalam perjalanannya, nafsu ekspansi kredit oleh perbankan menggila. Jangka waktu kredit meningkat drastis, dari yang awalnya tiga tahun menjadi lima tahun. Lalu, bertambah lagi menjadi 10 tahun, bahkan hingga 20 tahun. Kondisi ini menyebabkan perusahaan asuransi harus menyesuaikan durasi polis AJK agar sejalan dengan masa pinjaman. Sementara, besarnya premi 0,15-0,22 persen dan sekitar 80 persen bank tak pernah melakukan verifikasi.
Baca juga: Bersih-Bersih di Industri Asuransi Belum Selesai
Itulah awal dari bencana laten. Permasalahan krusial muncul ketika struktur tarif premi tidak ikut disesuaikan dengan risiko jangka panjang. Bank tetap menggunakan tarif premi pendek meskipun produk asuransi menanggung risiko dalam jangka waktu yang jauh lebih panjang.
Akibatnya, perusahaan asuransi menanggung loss ratio yang sangat tinggi karena premi yang diterima tidak cukup untuk mengompensasi peningkatan eksposur risiko. Menurut catatan Biro Riset Infobank (birI), loss ratio mencapai 152 persen. Bahkan, secara individu ada yang mencapai 180 persen. Ngeri!
Dan, fenomena ini telah berlangsung bertahun-tahun. Hal ini menyebabkan banyak perusahaan asuransi tidak lagi menerapkan prinsip aktuaria secara benar. Cadangan teknis tidak dihitung secara proporsional berdasarkan durasi polis, dan dalam beberapa kasus, model bisnis perusahaan mulai bergeser ke pola cash flow atau bahkan menyerupai skema Ponzi, di mana pembayaran klaim didanai dari premi masuk polis baru. Jika arus bisnis berhenti, maka perusahaan tidak mampu memenuhi kewajibannya. Benar-benar mirip skema Ponzi.
Pernyataan Chief Operating Officer (COO) Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara Indonesia), Dony Oskaria, ada benarnya. Dony menyatakan bahwa salah satu modus yang diduga dilakukan direksi BUMN dalam mengejar tantiem atau bonus tinggi adalah dengan merekayasa laporan keuangan, agar bottom line terlihat positif.
Dalam jangka pendek, laba memang tampak meningkat, namun tidak mencerminkan kondisi keuangan yang sehat secara struktural. Sejatinya, tidak adanya visi jangka panjang dan lemahnya pengawasan menjadi penyebab utama kegagalan sejumlah perusahaan BUMN di masa lalu.
Dalam kaitannya dengan konteks asuransi, hal ini identik dengan praktik pengabaian cadangan teknis dan pengakuan pendapatan di muka, yang secara nyata mengorbankan kesehatan fiskal jangka panjang perusahaan. Jadi, sebenarnya Dony hendak menggarisbawahi pentingnya reformasi sistem insentif dan pengawasan, baik dalam BUMN maupun perusahaan asuransi, untuk menghentikan siklus manipulasi dan tekanan jangka pendek yang dapat merusak fondasi keuangan industri secara keseluruhan.
Krisis sudah di depan mata. Diam-diam bank dalam bahaya. Sejumlah praktisi asuransi yang dihubungi Infobank mengatakan akan hal itu. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sendiri telah mengeluarkan regulasi berupa POJK No. 20 Tahun 2023 tentang Produk Asuransi yang dikaitkan dengan Kredit atau Pembiayaan Syariah dan Produk Suretyship atau Suretyship Syariah dan POJK No. 11 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Penjamin di Indonesia, yang bertujuan memperbaiki praktik manajemen risiko dan tata kelola perusahaan asuransi dan perusahaan penjaminan.
Namun, sayangnya, seperti diungkapkan praktisi asuransi, pada tataran implementasi, pemahaman risiko asuransi di sektor perbankan masih sangat minim. Hal ini terjadi karena risiko asuransi belum diperhitungkan sebagai bagian dari penilaian tingkat kesehatan bank. Padahal, apabila perusahaan asuransi gagal membayar klaim AJK, maka bank juga turut menanggung risiko keuangan yang signifikan.
Tidak hanya itu. Penerapan standar akuntansi internasional IFRS 17 (PSAK 74) memperketat pencatatan pendapatan premi. Pendapatan dari polis tidak dapat lagi diakui sekaligus di muka, tapi harus diakui secara tahunan. Hal ini dapat menurunkan fleksibilitas likuiditas perusahaan asuransi dan mempersulit pembentukan cadang an teknis, terutama yang meng gunakan sistem cash flow untuk membayar klaim, sehingga memperparah kesulitan dalam memenuhi kewajiban jangka panjang.
Jika melihat loss ratio yang terus membesar, perang tarif yang tak pernah usai, dan sikap perbankan yang tak mau tahu, terutama bagian risk management yang lebih nyaman dengan tarif sekarang, risiko sistemis sepertinya tak dapat dihindari. Menurut diskusi di Infobank, ada beberapa pemicu terjadinya risiko sistemis.
Baca juga: Ini Perusahaan Asuransi Terpuruk yang Butuh Penyehatan!
Satu, gagal bayar klaim secara masif oleh perusahaan asuransi. Dua, potensi kerugian besar di sektor perbankan akibat tidak terpenuhinya perlindungan AJK. Tiga, menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap produk asuransi dan lembaga keuangan. Empat, ketergantungan berlebihan pada intervensi pemerintah sebagai penyelamat terakhir (last resort).
Lalu, apa yang harus dilakukan agar tidak terjadi risiko sistemis? Harus ada pembenahan. Tidak hanya sektor asuransi, tapi juga perbankan. Menurut Infobank Institute, ada empat hal penting yang harus dilakukan. Satu, melakukan penilaian ulang terhadap perusahaan asuransi yang menyediakan AJK, dengan fokus pada cadangan teknis dan kesehatan keuangan perusahaan.
Dua, mengintegrasikan risiko asuransi sebagai komponen penting dalam analisis kelayakan kredit dan evaluasi kesehatan bank. Tiga, meninjau kembali struktur premi, serta melakukan evaluasi terhadap penyebab klaim tinggi agar penetapan premi lebih mencerminkan profil risiko. Empat, melakukan koreksi atas syarat dan ketentuan (terms and conditions) dalam penutupan asuransi agar lebih berimbang antara proteksi dan biaya.
Tidak hanya sektor perbankan. Bahkan, OJK pun harus tegas dalam menegakkan implementasi POJK 20 Tahun 2023 dan POJK 11 Tahun 2025 secara ketat melalui pengawasan yang aktif dan berkelanjutan.
Selain itu, mengembangkan mekanisme pemantauan rasio klaim dan premi (loss ratio) antara perusahaan asuransi dan bank secara transparan dan periodik (evaluasi enam bulanan). Selain juga menyusun panduan teknis bagi bank dan perusahaan asuransi untuk menyelaraskan perhitungan premi dengan profil risiko kredit.
Lebih penting dari itu, melakukan pendekatan lintas sektor antara Direktorat Pengawasan Perbankan dan Direktorat Pengawasan Asuransi di OJK untuk menyusun kebijakan terpadu terhadap AJK.
Jika hal itu tidak segera dilakukan, maka perusahaan asuransi jiwa yang sedang sakau karena loss ratio yang membesar telah menempatkan diri di tepi jurang. Bukan hanya itu. Permasalahan pada sektor AJK telah berkembang menjadi risiko sistemis. Tidak hanya mengancam industri asuransi, tapi juga perbankan – yang tidak menerapkan risiko dengan benar.
Jujur saja, ketidakseimbangan antara jangka waktu polis, tarif premi, dan cadangan teknis telah menciptakan struktur yang rentan. Tanpa langkah korektif yang tegas dari OJK dan sinergi dengan industri perbankan, potensi gagal bayar klaim AJK bisa menjadi pemicu krisis keuangan yang lebih luas.
Oleh karena itu, perlu segera dilakukan langkah koordinatif, terukur, dan menyeluruh demi menjaga keberlanjutan sistem keuangan nasional. Jangan main main dengan risiko yang tidak sejalan dengan besarnya premi. Sudah waktunya menjinakkan bom waktu yang sangat berpotensi meledak karena situasi kredit bermasalah yang kian membesar akibat ekspansi yang sangat mengabaikan risiko di sektor perbankan.
Satu-satu perusahaan asuransi akan masuk jurang karena situasi ini, dan akan menyeret perbankan yang tak dibayar klaimnya. Kalau sekarang mereka masih hidup, itu karena menggunakan skema Ponzi. Tapi, begitu terhenti, maka akan menjadi risiko sistemis. Waspada, lampu merah sudah menyala!










