Jalan Licin Asuransi Jiwa Kredit agar Tak Masuk Jurang Terdalam
Page 2

Jalan Licin Asuransi Jiwa Kredit agar Tak Masuk Jurang Terdalam


Pernyataan Chief Operating Officer (COO) Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara Indonesia), Dony Oskaria, ada benarnya. Dony menyatakan bahwa salah satu modus yang diduga dilakukan direksi BUMN dalam mengejar tantiem atau bonus tinggi adalah dengan merekayasa laporan keuangan, agar bottom line terlihat positif.

Dalam jangka pendek, laba memang tampak meningkat, namun tidak mencerminkan kondisi keuangan yang sehat secara struktural. Sejatinya, tidak adanya visi jangka panjang dan lemahnya pengawasan menjadi penyebab utama kegagalan sejumlah perusahaan BUMN di masa lalu.

Dalam kaitannya dengan konteks asuransi, hal ini identik dengan praktik pengabaian cadangan teknis dan pengakuan pendapatan di muka, yang secara nyata mengorbankan kesehatan fiskal jangka panjang perusahaan. Jadi, sebenarnya Dony hendak menggarisbawahi pentingnya reformasi sistem insentif dan pengawasan, baik dalam BUMN maupun perusahaan asuransi, untuk menghentikan siklus manipulasi dan tekanan jangka pendek yang dapat merusak fondasi keuangan industri secara keseluruhan.

Krisis sudah di depan mata. Diam-diam bank dalam bahaya. Sejumlah praktisi asuransi yang dihubungi Infobank mengatakan akan hal itu. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sendiri telah mengeluarkan regulasi berupa POJK No. 20 Tahun 2023 tentang Produk Asuransi yang dikaitkan dengan Kredit atau Pembiayaan Syariah dan Produk Suretyship atau Suretyship Syariah dan POJK No. 11 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Penjamin di Indonesia, yang bertujuan memperbaiki praktik manajemen risiko dan tata kelola perusahaan asuransi dan perusahaan penjaminan.

Namun, sayangnya, seperti diungkapkan praktisi asuransi, pada tataran implementasi, pemahaman risiko asuransi di sektor perbankan masih sangat minim. Hal ini terjadi karena risiko asuransi belum diperhitungkan sebagai bagian dari penilaian tingkat kesehatan bank. Padahal, apabila perusahaan asuransi gagal membayar klaim AJK, maka bank juga turut menanggung risiko keuangan yang signifikan.

Tidak hanya itu. Penerapan standar akuntansi internasional IFRS 17 (PSAK 74) memperketat pencatatan pendapatan premi. Pendapatan dari polis tidak dapat lagi diakui sekaligus di muka, tapi harus diakui secara tahunan. Hal ini dapat menurunkan fleksibilitas likuiditas perusahaan asuransi dan mempersulit pembentukan cadang an teknis, terutama yang meng gunakan sistem cash flow untuk membayar klaim, sehingga memperparah kesulitan dalam memenuhi kewajiban jangka panjang.

Jika melihat loss ratio yang terus membesar, perang tarif yang tak pernah usai, dan sikap perbankan yang tak mau tahu, terutama bagian risk management yang lebih nyaman dengan tarif sekarang, risiko sistemis sepertinya tak dapat dihindari. Menurut diskusi di Infobank, ada beberapa pemicu terjadinya risiko sistemis.

Baca juga: Ini Perusahaan Asuransi Terpuruk yang Butuh Penyehatan!

Satu, gagal bayar klaim secara masif oleh perusahaan asuransi. Dua, potensi kerugian besar di sektor perbankan akibat tidak terpenuhinya perlindungan AJK. Tiga, menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap produk asuransi dan lembaga keuangan. Empat, ketergantungan berlebihan pada intervensi pemerintah sebagai penyelamat terakhir (last resort).

Lalu, apa yang harus dilakukan agar tidak terjadi risiko sistemis? Harus ada pembenahan. Tidak hanya sektor asuransi, tapi juga perbankan. Menurut Infobank Institute, ada empat hal penting yang harus dilakukan. Satu, melakukan penilaian ulang terhadap perusahaan asuransi yang menyediakan AJK, dengan fokus pada cadangan teknis dan kesehatan keuangan perusahaan.

Dua, mengintegrasikan risiko asuransi sebagai komponen penting dalam analisis kelayakan kredit dan evaluasi kesehatan bank. Tiga, meninjau kembali struktur premi, serta melakukan evaluasi terhadap penyebab klaim tinggi agar penetapan premi lebih mencerminkan profil risiko. Empat, melakukan koreksi atas syarat dan ketentuan (terms and conditions) dalam penutupan asuransi agar lebih berimbang antara proteksi dan biaya.

Tidak hanya sektor perbankan. Bahkan, OJK pun harus tegas dalam menegakkan implementasi POJK 20 Tahun 2023 dan POJK 11 Tahun 2025 secara ketat melalui pengawasan yang aktif dan berkelanjutan.

Selain itu, mengembangkan mekanisme pemantauan rasio klaim dan premi (loss ratio) antara perusahaan asuransi dan bank secara transparan dan periodik (evaluasi enam bulanan). Selain juga menyusun panduan teknis bagi bank dan perusahaan asuransi untuk menyelaraskan perhitungan premi dengan profil risiko kredit.

Related Posts

News Update

Netizen +62