Oleh Ryan Kiryanto, Ekonom, Co-Founder dan Dewan Pakar Institute of Social, Economic and Digital/ISED
ADA narasi menarik terekspos dari sebuah kantor berita luar negeri ternama, bahwa jika dunia terhindar dari resesi, maka India dan Tiongkok harus berterima kasih. Maklum, dua negara dengan populasi terbesar di dunia itu kini tengah bersaing untuk bisa saling mengungguli rivalnya di bidang ekonomi.
Namun, narasi di atas bisa juga diterjemahkan terbalik, bahwa perekonomian dunia akan sangat berterima kasih kepada India dan Tiongkok yang tetap mampu tumbuh positif, baik di masa pandemi COVID-19 maupun sesudahnya, sehingga mampu menopang perekonomian dunia.
Analisis tersebut tidak berlebihan. Disebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi global akan melambat lebih lanjut di tahun mendatang, tapi dunia kemungkinan akan terhindar dari resesi berkat ekonomi terbesar di Asia tadi: India dan Tiongkok. Produk domestik bruto (PDB) global diproyeksikan tumbuh sebesar 3,1% tahun ini, dan hanya 2,2% pada 2023.
Data tersebut mengacu pada rilis terbaru Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Organisasi ini menyimpulkan prospek yang rapuh untuk pemulihan ekonomi global akibat perang Rusia versus Ukraina, yang memicu krisis energi dan mendorong inflasi di seluruh dunia.
Meskipun OECD tidak memprediksi resesi, tapi perkiraannya lebih pesimistis daripada perkiraan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), yang pada Oktober lalu memperkirakan ekonomi dunia akan tumbuh 3,2% tahun ini dan 2,7% tahun depan dari sebelumnya 2,9%. IMF memastikan proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2023 adalah profil pertumbuhan terlemah sejak 2001, kecuali masa pandemi COVID-19 dan krisis keuangan global.
Adapun pelemahan ini dipicu oleh inflasi yang lebih tinggi dalam beberapa dekade terakhir serta ketatnya kondisi keuangan di sejumlah wilayah, invasi Rusia ke Ukraina, dan pandemi COVID-19 yang masih berlangsung di sejumlah negara.
Berbagai Perkiraan Terkini
Disimpulkan bahwa dunia berada dalam periode yang bergejolak, dalam hal ini terjadi perubahan ekonomi, geopolitik, dan ekologi, yang semuanya berdampak pada pandangan global. Inflasi yang telah melonjak dalam beberapa dekade mendorong pengetatan kebijakan moneter yang cepat dan menekan anggaran rumah tangga, sementara dukungan fiskal terkait pandemi COVID-19 berkurang secara bertahap.
Paralel dengan pertumbuhan ekonomi yang seret, inflasi global diperkirakan melonjak hingga 8,8% pada 2022 dan 6,5% pada 2023. Lonjakan inflasi menyebar ke negara ekonomi kuat dunia (dikenal dengan kelompok G7) dengan variabel yang lebih besar di negara berkembang dan negara sedang berkembang.
IMF pun mengungkapkan, sekitar sepertiga ekonomi dunia dalam dua kuartal berturut-turut pertumbuhannya negatif atau secara teknis disebut dengan resesi. Indikatornya adalah kontraksi PDB Amerika Serikat (AS) pada paruh pertama 2022, kontraksi kawasan Euro pada paruh kedua 2022, dan wabah COVID-19 yang berkepanjangan dan penguncian total (lockdown) di Tiongkok dengan krisis sektor properti yang berlanjut.
Tidak salah jika IMF mengingatkan bahwa “yang terburuk belum datang” sebagai peringatan awal resesi global. Indikasinya sudah terlihat, yaitu inflasi tinggi yang persisten, harga energi yang tinggi, pertumbuhan pendapatan rumah tangga riil yang lemah, kepercayaan pasar yang menurun, dan kondisi keuangan korporasi dan rumah tangga yang lebih ketat, yang semuanya membatasi potensi pertumbuhan. Jika harga energi naik lebih lanjut atau pasokan energi terganggu, maka pertumbuhan ekonomi bisa lebih lemah dari yang diharapkan.
Karena itu, pertumbuhan ekonomi global tahun depan sangat tergantung pada ekonomi utama Asia, yang akan menyumbang hampir tiga perempat dari ekspansi PDB global, dengan AS dan Eropa melambat tajam.
Sebaliknya, ekonomi AS diperkirakan akan tumbuh hanya 1,8% pada 2022 dan 0,5% pada 2023. Pertumbuhan di 19 negara Uni Eropa juga diperkirakan menurun tajam selama dua tahun ke depan, dari 3,3% pada 2022 menjadi 0,5% pada 2023. Bahwa ekonomi Eropa dan AS mampu tumbuh, itu karena topangan pengeluaran pemerintah untuk subsidi energi dan kebijakan peningkatan investasi seperti Next Generation European Union dan Undang-Undang Pengurangan Inflasi di AS. Presiden Bank Dunia, David Malpass, mengkhawatirkan resesi dunia pada 2023 nanti, namun ekonomi AS sedikit lebih kuat daripada negara-negara maju lainnya.
Tepat jika dikatakan dalam laporan PricewaterhouseCoopers (PWC) edisi November 2022 bahwa sekarang adalah eranya pertumbuhan kawasan Asia Pasifik sebagai realitas baru. Asia Pacific’s Time: Responding to The New Reality. Menurut PWC, sekarang ini kawasan Asia Pasifik berdiri pada titik penting dan waktu untuk bertindak adalah sekarang.
Dasar-dasar pemikiran yang berkontribusi pada kemakmuran masa lalu tidak dapat lagi diandalkan dan pendekatan baru yang lebih proaktif diperlukan untuk mengamankan masa depan kawasan ini. Pelaku bisnis dituntut bertindak cepat untuk membangun kepercayaan, menciptakan nilai, dan memberikan hasil yang berkelanjutan.
Dunia baru pascapandemi COVID-19 sama sekali tidak sederhana. Ekonomi global berangsur-angsur membaik, namun terus terlihat tekanan lingkungan, keuangan, dan sosial yang menyatu menciptakan tantangan baru dan lebih kompleks di seluruh Asia Pasifik. Para pengambil kebijakan dan pemimpin bisnis menghadapi peningkatan dinamika dan ketidakpastian pasar.
Untuk membangun kembali kepercayaan dan memberikan pertumbuhan berkelanjutan di kawasan ini, diperlukan transformasi struktural yang fundamental terkait strategi dan prioritas kebijakan. Kecepatan dan ketepatan pengambilan kebijakan secara substansial merupakan senjata utama menjadikan kawasan Asia Pasifik sebagai kawasan pemenang di tengah ketidakpastian yang berkelanjutan. Kawasan ini akan menjelma menjadi “kawasan ekonomi pembeda” yang terdiferensiasi dan terfragmentasi ketika kawasan-kawasan lain (AS, Eropa, Afrika, dan Australia) tergopoh-gopoh membangun perekonomiannya.
Tiga negara penting di kawasan ini yang menjadi kontributor dan bumper perekonomian kawasan dan global adalah India, Tiongkok, dan Indonesia. Inilah realitas baru, di mana Indonesia menjadi salah satu bright spot bagi perekonomian dunia yang terancam resesi.
Perekonomian India
India bersungguh-sungguh kali ini. Ekonomi Tiongkok telah melewati India pada awal 1990-an. Sekarang, sama seperti Tiongkok yang mengalami hambatan besar, India memiliki kesempatan untuk muncul sebagai dinamo baru pertumbuhan ekonomi kawasan dan dunia.
IMF memperkirakan India memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi kedua di dunia, setelah Arab Saudi, yaitu sebesar 6,6% pada 2022 dan 5,7% pada 2023. Raksasa Asia Selatan ini berada di puncak pertumbuhan dalam kisaran 6,5%-7,0% yang berkelanjutan dalam jangka menengah ini. Bloomberg Economics bahkan lebih optimistis melihat potensi pertumbuhan ekonomi India, diperkirakan naik menjadi 7,6% pada 2026 dan memuncak ke kisaran 8,5% pada awal 2030-an.
Harapan bagi India untuk mencapai pertumbuhan pesat dalam ekonominya bukanlah hal yang mustahil untuk diwujudkan. Dua hal utama telah berubah. Pertama, sekarang ada bukti nyata bahwa negara ini menempatkan uangnya di tempat yang tepat dalam hal membangun infrastruktur untuk mendukung India sebagai negara produsen. Kedua, keretakan relasi dagang yang melebar antara AS dan Tiongkok telah memberi India peluang emas untuk meningkatkan perannya dalam mekanisme rantai pasokan global.
Perdana Menteri Narendra Modi meningkatkan pengeluaran infrastruktur dalam anggaran tahunan seraya menahan anggaran jaring pengaman sosial selama masa pandemi. Pemerintah India sekarang menganggarkan sekitar 20% dari anggarannya untuk investasi modal. Sebagai pembanding, pada kurun waktu 2011 hingga 2020, besaran anggaran tersebut tidak pernah menembus 15%.
Sektor manufaktur adalah bagian yang berkembang dari investasi asing langsung ke negara ini. Pangsa India dari ekspor global barang-barang, termasuk handset bergerak, obat-obatan, suku cadang mobil, dan permesinan, telah meningkat sejak 2017. Setelah stagnan sekitar U$300 miliar per tahun dari 2016 hingga 2020, kini ekspor India telah melonjak menjadi US$422 miliar.
Bauran produk ekspor India telah meluas, dipimpin oleh produk-produk bernilai tinggi dalam dua tahun terakhir dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya. India dinilai memiliki prospek yang baik untuk mempertahankan kinerja ekspor ini dalam jangka menengah.
Permata, perhiasan, tekstil, dan kayu termasuk di antara ekspor utama India secara tradisional. Namun, sekarang ini, barang-barang manufaktur telah mencapai dua pertiga dari total ekspor India. Pertumbuhan ekspor pada 2022 ini didorong oleh barang-barang teknik, bahan kimia, dan obat-obatan.
Menteri Keuangan AS, Janet Yellen, menyoroti potensi India ini. Ditegaskan bahwa AS secara proaktif memperdalam integrasi ekonomi dengan mitra dagang tepercaya seperti India. Yellen mencatat bahwa perusahaan AS (termasuk Microsoft dan Apple Inc) telah berekspansi ke India. AS bahkan telah memperluas dukungan keuangan bagi produsen surya AS terbesar untuk membangun fasilitas di India selatan. Ini akan membantu mendiversifikasi rantai pasokan dari Tiongkok, yang saat ini mendominasi lebih dari 80% produksi panel surya global.
Perekonomian Tiongkok
Perekonomian Tiongkok diproyeksikan tetap suram menyusul lonjakan kasus infeksi COVID-19 pada 24 November 2022 lalu. Situasi ini mendorong kota-kota di seluruh negeri kembali memberlakukan lockdown lokal dan pembatasan lain yang memicu frustasi di masyarakat. Aturan pembatasan sosial ini bakal makin memengaruhi penduduk yang telah berada dalam keadaan lockdown, begitu juga pabrik-pabrik.
Kondisi jalan-jalan di Chaoyang, distrik terpadat di ibu kota, dilaporkan makin sepi. Bahkan, di Sanlitun, area perbelanjaan untuk kelas atas, nyaris sepi dan hanya terdengar deru sepeda listrik dari petugas pengiriman yang mengantarkan makanan untuk para pekerja dari rumah.
Tak heran jika Nomura memangkas perkiraan pertumbuhan PDB Tiongkok kuartal IV-2022 dari 2,8% menjadi 2,4% (year on year/yoy), dan menurunkan prediksi pertumbuhan sepanjang 2022 ini dari 2,9% (yoy) menjadi 2,8% (yoy).
Lembaga keuangan yang berbasis di Jepang tersebut percaya pembukaan kembali kebijakan penguncian masih merupakan proses berkepanjangan dengan biaya tinggi sehingga menurunkan perkiraan pertumbuhan PDB Tiongkok tahun depan dari 4,3% (yoy) menjadi 4,0% (yoy). Sementara itu, IMF memperkirakan ekonomi Tiongkok akan tumbuh 3,3% tahun ini, diikuti 4,6% pada 2023.
Untuk menjaga ekonomi tetap tumbuh positif, otoritas moneter Tiongkok menempuh langkah dengan mengisyaratkan lebih banyak stimulus moneter, termasuk pemotongan rasio persyaratan cadangan bank. Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan dukungan pada pertumbuhan ekonomi yang berada di bawah tekanan akibat lonjakan kasus COVID-19 dan kebijakan penguncian wilayah. Instrumen moneter akan digunakan pada waktu yang tepat untuk menjaga likuiditas tetap terjaga.
Kebijakan penguncian memang telah mengurangi pengeluaran konsumen dan menyebabkan gangguan pada dunia usaha, yang bermuara pada berhentinya daya dorong pada pertumbuhan ekonomi. Ekonom Goldman Sachs Group Inc dalam sebuah catatan menuliskan adanya peluang pemotongan suku bunga acuan untuk memandu bank agar lebih menurunkan biaya pendanaan untuk perusahaan skala menengah dan kecil.
Bagaimanapun, ekonomi Tiongkok tetap mampu melaju, tumbuh positif dan jauh dari resesi sehingga tetap mampu menjadi penopang perekonomian dunia bersama dengan India dan Indonesia.
Perekonomian Indonesia
Ekonomi negara-negara subkawasan ASEAN dinilai dapat menikmati posisi geopolitik istimewa di tahun-tahun mendatang karena alasan yang sama, di mana rivalitas AS dan Tiongkok mendorong kedua negara dengan skala ekonomi terbesar di dunia itu untuk berinvestasi dan memperdalam hubungan di kawasan ini.
Indonesia, negara terbesar di subkawasan ASEAN, juga diuntungkan karena memiliki populasi muda yang tumbuh relatif cepat dan berpotensi memacu pertumbuhan ekonomi berkisar 4,7%-5,0% tahun depan.
Tak berlebihan jika dikatakan Indonesia berada di tempat yang jauh lebih baik untuk menghadapi “badai yang sempurna” dibandingkan dengan banyak negara lain. “Badai yang sempurna” adalah kombinasi dari inflasi tinggi, resesi ekonomi, dan dampak dari konflik geopolitik yang meningkat, yang semuanya itu masih akan menghantam ekonomi global.
Perekonomian Indonesia memiliki pertahanan diri yang kuat pada permintaan domestiknya yang tetap kuat, inflasi relatif terkendali, pasokan makanan terjamin, pandemi COVID-19 surut, dan pemulihan ekonomi Tiongkok kemungkinan menopang permintaan untuk komoditas utamanya. Fundamental ekonomi Indonesia saat ini berbanding terbalik dengan 28 negara yang mengantre untuk mendapatkan bantuan IMF.
Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2022 sebesar 5,72% dan diperkirakan 5,2% pada kuartal IV-2022. Secara keseluruhan perekonomian Indonesia mampu tumbuh dalam kisaran 5,2%-5,3% di 2022. Fakta inilah yang menjadi jawaban bahwa Indonesia tidak akan masuk ke dalam resesi.
Sebagai referensi, negara ini berhasil lolos dari krisis keuangan global pada 2008 lalu karena respons kebijakan yang baik. Inilah yang menjadi modal berharga para pengambil kebijakan di Indonesia untuk mampu mendesain ramuan kebijakan yang tepat, terukur, dan efektif ketika perekonomian dunia sedang melemah didera pandemi COVID-19 dan perang di Ukraina. Pertumbuhan PDB tahunan sejak kuartal IV-2021 hingga kuartal III-2022 yang selalu di atas 5% menjadi bukti nyata kecermatan penyusunan kebijakan yang efektif.