Jakarta – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada sesi I perdagangan hari ini, 10 Februari 2025, ditutup dengan melanjutkan pelemahannya ke level 6.630,65 atau terkoreksi 1,66 persen dari posisi pembukaan di level 6.742,57.
Salah satu penyebab koreksi IHSG yang cukup dalam tersebut dipicu oleh kebijakan proteksionisme tarif Amerika Serikat (AS) yang diperkirakan masih akan berlanjut dan berdampak pada negara-negara emerging market seperti Indonesia.
Melihat hal itu, Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede, mengatakan bahwa kondisi ini membuat investor cenderung lebih berhati-hati dan mulai mencari instrumen investasi yang lebih aman di tengah volatilitas pasar saham yang tinggi.
Baca juga: Permata Bank Proyeksi Ekonomi RI Tumbuh 5,2 Persen di 2025
“Sehingga mungkin kalau kita melihat kecenderungan jangka pendek ya mungkin untuk pasar saham di luar AS yang akan cenderung berhati-hati ya, untuk investasi ke arah sana, tapi untuk pasar obligasi mungkin yang dari sisi risikonya lebih rendah mungkin masih ada potensi untuk terjadi inflow ya,” ujar Josua dalam Media Briefing di Jakarta, Senin, 10 Februari 2025.
Menurutnya, investor saat ini masih akan wait and see terkait kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump yang sulit diprediksi. Kemungkinan ke depan masih akan ada negosiasi antara AS dan mitra dagangnya, dengan ketidakpastian ini diperkirakan baru mulai mereda pada semester II-2025.
Baca juga: Permata Bank Proyeksi Kredit Perbankan Tumbuh 10,78 Persen di 2025
“Karena tadi mungkin saja bisa cepat pengumuman (kebijakan tarif), tapi mungkin saja implementasi bisa lama, karena dia masih membuka ruang-ruang untuk negosiasi antara Amerika dengan mitra dagangnya, tapi yang lebih terpenting lagi adalah kami melihat bahwa kemungkinan sentimen ataupun sentimen ini mungkin akan cenderung sedikit mereda itu di semester kedua (2025),” imbuhnya.
Sentimen Diperkirakan Tidak Berkepanjangan
Josua berharap sentimen negatif akibat kebijakan tarif AS tidak berlangsung lama. Kebijakan tersebut kemungkinan besar akan memberikan dampak negatif, seperti meningkatnya inflasi yang dapat memicu perlambatan ekonomi AS.
“Sehingga tentunya, dan sebagai Presiden dengan latar belakang bisnis, tentunya Presiden Trump pun juga akan berpikir rasional pada saat itu, sehingga sentimen ini diharapkan tidak akan berkepanjangan,” ujar Josua. (*)
Editor: Yulian Saputra