Mayoritas Lulusan Baru Lebih Tertarik Jadi Hacker

Andang juga menemukan fenomena menarik. Berdasarkan pengamatannya, sekitar 80 persen fresh graduate lebih tertarik menjadi hacker (red team) ketimbang bergabung di tim pertahanan (blue team). Padahal, dunia industri justru lebih membutuhkan tim pertahanan siber.
“Jadi, ini terjadi di mana pun, hacker itu jumlahnya naik. Kemudian, dia menjadi lebih sophisticated. Apalagi, dia pakai AI,” imbuh Andang.
Ia mencontohkan, bahkan dalam konteks militer, perang antarnegara kini melibatkan serangan digital. Misalnya konflik India-Pakistan, di mana Pakistan lebih dulu melumpuhkan radar pertahanan rudal India lewat hacking.
Baca juga: Purbaya Rekrut Hacker Kelas Kakap untuk Uji Keamanan Coretax
Sebagai solusi, Andang menyarankan agar lembaga atau perusahaan menetapkan tiga prioritas utama serangan siber yang paling mendesak untuk ditangani.
Langkah tersebut penting agar SDM tidak kelelahan menghadapi terlalu banyak ancaman sekaligus dan anggaran bisa lebih efisien.
“Yang dilakukan adalah SDM-nya dikasih target, tapi tidak dikasih senjata, lembaganya spend budget kekecilan. Kalau kita ketemu sama orang cybersecurity, entah dari mana pun di Indonesia, mereka bilang 99 persen burn out, overburden,” ucapnya.
Baca juga: Perkuat Ketahanan Siber, RINTIS Undang Mitra Jaringan PRIMA ke Bali
Andang juga menekankan pentingnya membangun lingkungan kerja yang mendukung dengan pelatihan, sertifikasi, dan pembelajaran praktis berkelanjutan agar tingkat turnover SDM bisa ditekan.
“SDM bisa dijaga dengan menciptakan suasana kerja yang menyenangkan. Yang mana, mereka terus dipersenjatai secara berkelanjutan untuk menghadapi serangan siber,” pungkasnya. (*) Steven Widjaja








