Jakarta – Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai bahwa langkah negosiasi yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) sudah berada di jalur yang tepat. Namun, ia mengkritisi waktu pelaksanaannya yang dinilai terlalu terburu-buru.
Langkah yang dianggap terburu-buru ini terjadi karena Indonesia langsung melakukan negosiasi dengan AS, padahal pemerintah AS telah menunda pemberlakuan tarif selama 90 hari.
Waktu penundaan ini juga seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menyusun strategi yang lebih matang dan menghitung dampak ekonomi secara lebih menyeluruh.
“Kita terkesan terburu-buru, saya yakin karena saat rencana pertemuan dengan AS disepakati, semua pihak tidak tahu bahwa akan ada penundaan 90 hari. Ini memberi waktu luang bagi kita untuk memperbaiki strategi, termasuk mengurangi pressure waktu, sehingga lebih leluasa melakukan kalkulasi,” ujar Wija saat dihubungi Infobanknews, Selasa, 22 April 2025.
Baca juga: Makin Brutal! Donald Trump Terapkan Tarif ke China dari 145 Persen Jadi 245 Persen
Selain itu, menurut Wija, Indonesia juga seharusnya menggunakan waktu tersebut untuk menjalin komunikasi dengan negara-negara lain yang terkena dampak tarif Trump, demi membuka peluang pasar baru dan kerja sama alternatif.
Kendati demikian, hasil negosiasi delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dengan United States Trade Representative (USTR) tetap dinilai sebagai langkah yang tepat.
“Poin-poin yang disampaikan sudah tepat, yang terpenting kita bisa dapat deal terbaik. Perlu dipahami, AS call-nya sangat tinggi. Nego ini akan tough (keras),” imbuh Wija.
Dampak Negosiasi terhadap Ekonomi Nasional
Wija menjelaskan bahwa selama Indonesia bisa memperoleh tarif ekspor yang adil dan komitmen impor tambahan dari AS tidak mengganggu produsen nasional, maka dampak perang dagang terhadap pertumbuhan ekonomi maupun inflasi akan tetap minim.
“Sepanjang kita dapat tarif yang masuk akal dan komitmen impor tambahan tidak mengganggu produsen nasional, dampak trade war ke pertumbuhan ekonomi dan inflasi akan minimal,” tandasnya.
Berikut Merupakan 10 Poin Hasil Negosiasi RI terkait Tarif Trump
1. Komitmen Indonesia untuk Impor Energi dari AS
Indonesia menyampaikan rencana pembelian energi (migas) dari AS, seperti LPG, fruit oil, dan gasoline untuk menyeimbangkan perdagangan.
2. Meningkatkan Impor Produk Pertanian
RI akan memperluas impor produk holtikultura dari AS, seperti kedelai dan gandum yang menjadi ekspor unggulan Negeri Paman Sam tersebut.
3. Fasilitasi Perusahaan AS di RI
Indonesia dalam negosiasi tersebut berjanji untuk memfasilitasi perusahaan-perusahaan AS yang beroperasi di Indonesia terkait percepatan perizinan dan kemudahan investasi.
4. Mengoptimalkan Kerja Sama Mineral Kritis (Critical Minerals)
Pemerintah RI juga menawarkan kerja sama di bidang mineral kritis (critical minerals) yang akan dioptimalkan untuk rantai pasaok global yang berkelanjutan
5. Mendorong Investasi Staretgis
Dari sisi kerja sama antarnegara di sektor investasi, Indonesia mendorong AS agar investasi dilakukan secara business to business (B2B).
6. Kemitraan SDM dan Ekonomi Digital
Indonesia mendorong penguatan kerja sama dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM), termasuk bidang pendidikan, sains, teknologi, engineering, matematika, ekonomi digital, dan layanan keuangan (financial services).
7. Tarif Ekspor RI ke AS yang Terlalu Tinggi
Indonesia meminta penurunan tarif ekspor untuk Top 20 produk utama RI ke AS, mengingat saat ini tarif yang dikenakan lebih tinggi dibandingkan negara pesaing.
8. Kesepakatan Dalam Waktu 60 Hari
Indonesia berharap format, mekanisme, dan jadwal negosiasi dapat disepakati dalam waktu 60 hari. Tenggat ini ditetapkan agar masih tersedia 30 hari dari 90 hari masa penundaan untuk implementasi hasil kesepakatan.
9. Relaksasi TKDN
Pemerintah AS meminta agar RI merelaksasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk mengubah format menjadi berbasis insentif.
10. Diversivikasi Pasar Ekspor
Indonesia menyatakan akan mengurangi ketergantungan terhadap pasar AS dengan melakukan relokasi dan diversifikasi ekspor ke negara lain seperti Meksiko, Inggris, Uni Eropa, dan negara-negara ASEAN. (*)
Editor: Yulian Saputra