Dari Too Big to Fail ke Too Smart to Fail

Dari Too Big to Fail ke Too Smart to Fail

Oleh Diding S. Anwar, pengamat, pemerhati, & paktisi industri perasuransian dan industri penjaminan

JUDUL di atas sebagai pelajaran dari krisis global untuk masa depan holding BUMN asuransi Indonesia. Dalam gelombang reformasi keuangan nasional, arah kebijakan holding BUMN sektor asuransi dan keuangan membutuhkan kompas yang tidak hanya ekonomis, tapi juga konstitusional dan berkeadilan.

Tulisan ini menyajikan gambaran peta yang jernih. Apa yang harus dijaga oleh negara, dan apa yang layak dilepas ke pasar?

Tidak semua yang besar harus disatukan, dan tidak semua fungsi dapat dikomersialisasikan. Dengan mengambil pelajaran dari krisis keuangan global, tulisan ini menyampaikan lesson learned strategis serta rekomendasi peta ideal industri asuransi nasional. Termasuk pentingnya pemisahan fungsi sosial dan komersial, serta posisi negara yang wajib hadir dalam perlindungan dasar, tanpa harus bersaing di ruang pasar.

Fenomena too big to fail mengingatkan bahwa lembaga keuangan yang terlalu besar dan kompleks, bila tak disertai tata kelola dan akuntabilitas sosial, justru dapat menjadi liabilitas sistemis. Sebaliknya, konsep too smart to fail hadir sebagai pendekatan strategis masa depan: membangun institusi yang besar secara kapasitas, namun bijak dalam batas, cerdas dalam risiko, dan kuat dalam mandat sosial.

Apa itu too smart to fail? Lembaga yang too smart to fail adalah lembaga yang memiliki kriteria sebagai berikut. Satu, cerdas dalam mengelola risiko, bukan sekadar besar asetnya. Dua, bijak dalam membedakan antara fungsi negara dan fungsi pasar. Tiga, tangguh dalam struktur tata kelola dan segmentasi peran. Empat, bertanggung jawab dalam melayani masyarakat, bukan sekadar mengejar laba.

Baca juga: Siap-siap! Danantara Bakal Rampingkan 16 BUMN Asuransi, Ini Tujuannya

Ketika Skala Menjadi Risiko

Saat Indonesia mengonsolidasikan BUMN asuransi dalam satu holding, narasi efisiensi dan sinergi memang menjanjikan. Namun, sejarah global memberi pelajaran bahwa: “terlalu besar untuk gagal” bisa berubah menjadi “terlalu besar untuk diawasi, terlalu rumit untuk dijaga, dan terlalu mahal untuk diselamatkan”.

Tiga kasus besar berikut bisa dijadikan alarm untuk perlunya kehati-hatian. Pertama, kasus Lehman Brothers (2008). Lembaga tersebut gagal dan dibiarkan bangkrut, yang akhirnya memicu krisis keuangan global.

Kedua, AIG (2008). Diselamatkan karena terlalu terhubung, dengan bailout lebih dari USD180 miliar oleh pemerintah AS. Ketiga, Credit Suisse (2023). Diakuisisi darurat oleh UBS, yang pada akhirnya menyelamatkan reputasi sistem keuangan Swiss.

Pelajaran penting yang dapat dipetik dari kasus tersebut adalah bahwa yang besar tak selalu kuat. Ketahanan sistemis bergantung pada tata kelola, pemisahan fungsi, dan kejelasan mandat publik.

Jangan Taruh Semua Telur dalam Satu Keranjang (One Basket)

Menggabungkan seluruh BUMN asuransi ke dalam satu wadah tanpa pemisahan fungsi dan firewall tata kelola menciptakan risiko sistemis terpusat (one basket risk). Bila satu unit terguncang, seluruh struktur bisa terguncang pula.

Contoh hukum risiko ini tecermin pada UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan UU No. 4 Tahun 2023 tentang P2SK, yang menekankan pentingnya prudential governance dan fungsi sosial negara secara tegas dan terpisah dari orientasi pasar.

Perlindungan dasar harus tetap mandiri, stand-alone, dan berbasis UU. Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi rakyat dalam kondisi paling rentan. Oleh karena itu, lembaga berikut tidak boleh dikorporatisasi.

Pertama, Jasa Raharja; sebagai pelaksana UU No. 33 & 34 Tahun 1964, yang menjamin korban kecelakaan penumpang dan lalu lintas jalan. Kedua, Taspen; sebagai penjamin pensiun dan tabungan hari tua bagi ASN, sesuai dengan amanat negara. Ketiga, Asabri; yang melindungi TNI, Polri, dan ASN khusus dalam skema jaminan sosial.

Lembaga dengan mandat sosial adalah tangan negara yang hadir di saat rakyat paling membutuhkan, bukan alat bisnis.

Peta Ideal Industri Asuransi Nasional

1. Asuransi sosial perlindungan dasar (wajib stand-alone): Jasa Raharja, Taspen, Asabri

     Lembaga tersebut dikelola berdasarkan amanah UU, jadi tidak untuk dikomersialisasikan.

2. Asuransi jiwa komersial (life insurance)

    Negara cukup memiliki satu BUMN life insurance untuk mendukung sektor strategis.

3. Asuransi umum komersial (general insurance)

    Negara cukup memiliki satu BUMN general insurance sebagai pelengkap sistem nasional.

4. Reasuransi nasional

    Negara cukup memiliki satu BUMN reasuransi sebagai stabilisator sistem risiko.

5. Ruang swasta

  Swasta perlu diberi ruang utama mengembangkan asuransi komersial. Berorientasi profit dan inovasi,   serta diawasi oleh OJK dengan pendekatan berbasis risiko dan tata kelola.

Prinsip Dasar

Negara hendaknya hadir di wilayah yang tidak dijangkau pasar, bukan untuk bersaing di dalamnya. Pisahkan fungsi, fokuskan peran. Jangan semua BUMN asuransi dijadikan satu konglomerasi.

Holdingisasi hanya tepat untuk fungsi komersial. Fungsi perlindungan dasar harus tetap dijalankan secara publik, mandiri, dan akuntabel.

Baca juga: Begini Dampak Perampingan Industri Asuransi BUMN dari Kacamata Pengamat

Rekomendasi Strategis

  1. Tegaskan pemisahan fungsi sosial dan komersial.
  2. Lindungi lembaga asuransi sosial negara sebagai entitas publik stand-alone.
  3. Bangun mandat dan peran jelas untuk tiga BUMN asuransi komersial.
  4. Dorong swasta mengisi ruang pasar dengan kompetisi sehat dan inovatif.
  5. Perkuat OJK sebagai wasit sistemis yang independen, adil, dan profesional.

Jadi, besar tak selalu baik. Indonesia tidak kekurangan institusi. Yang dibutuhkan adalah kejelasan mandat dan keberanian menata ulang fungsi. Yang berdiri atas nama perlindungan rakyat harus tetap berdiri sendiri. Yang bersaing dalam pasar, biarlah tumbuh bersama swasta dengan tata kelola yang kuat.

Yang terlalu besar untuk gagal, tidak boleh menjadi terlalu rumit untuk diawasi. Pun demikian, yang terlalu penting untuk masyarakat, harus cukup bijak untuk berdiri sendiri.

Mari menjaga yang mendasar, dan menata yang komersial. Reformasi sistem keuangan dan asuransi nasional bukan tentang menyatukan segalanya, melainkan memisahkan dengan bijak, menegaskan mandat sosial, dan menyuburkan inovasi pasar dengan tata kelola yang baik. (*)

Related Posts

Top News

News Update