Dana desa yang mangkrak jumlahnya mencapai Rp273 triliun. Dana-dana itu disimpan di bank-bank dengan bunga premium rate. Eko B. Supriyanto
Jakarta–Dana desa yang mangkrak terus bertambah. Belanja daerah tak selancar yang diperkirakan. Padahal, dalam kondisi ekonomi yang melambat belanja daerah menjadi stimulus perekonomian. Ada banyak alasan mengapa dana desa mangkrak makin besar. Salah satunya ialah karena ketakutan pemerintah daerah (pemda) terhadap kriminalisasi tender dan penggunaan proyek. Hantu kriminalisasi ini makin menjadi-jadi karena banyak kasus yang mengemuka terkait dengan belanja dana desa ini.
Ketakutan pemda bisa dimaklumi karena selama ini tidak ada aturan teknis tentang transfer dana desa. Mereka, para bupati, ingin ada petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan dana desa. Hal ini bertujuan agar pemda mempunyai pedoman untuk menyerap dana desa itu. Mereka, para bupati, takut menggunakan dana desa, salah-salah bisa masuk penjara seperti yang diungkapkan Bambang Brodjonegoro, Menteri Keuangan Republik Indonesia. Dana-dana desa itu disimpan di bank-bank swasta, BUMN, dan terutama bank pembangunan daerah (BPD).
Menurut catatan Menteri Keuangan Republik Indonesia, dana desa yang mangkrak jumlahnya terus bertambah. Per Juni 2015 sebesar Rp273 triliun atau naik dari Rp255 triliun pada posisi Mei 2015. Dana-dana itu disimpan di bank-bank dengan bunga premium rate. Bahkan, banyak daerah mengandalkan pendapatan asli daerah, yaitu mengisap dari bank-bank dengan meminta suku bunga di atas counter rate.
Nasib paling sial BPD-BPD, posisi direksi lemah karena para direksi diangkat oleh pemegang saham yang notabene adalah para bupati dan gubernur. Para bupati dan gubernur yang menekan bankir-bankir daerah justru membuat ketakutan tersendiri bagi bankir BPD.
Minimal bank-bank daerah akan kehilangan margin karena harus membayar biaya dana (cost of fund) yang lebih besar—sementara perekonomian daerah tak bergerak dan bankir daerah pun melempar kembali ke pasar uang dan ke Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Inilah yang disebut para pemegang saham bank-bank daerah mengisap di depan dengan menempatkan dana-dana desa di sejumlah BPD, dan lebih tidak masuk akal meminta premium rate serta menjadikan pendapatan asli daerah seolah-olah ada pendapatan. Padahal, praktik ini perlu dihentikan.
Menteri Keuangan pun mengusulkan agar tidak terjadi praktik kantong kiri kantong kanan dengan memungut bunga yang lebih mahal. Untuk itu, Kementerian Keuangan akan melakukan pembayaran dana desa dengan Surat Utang Negara (SUN). Pencairan akan disesuaikan dengan penggunaan. Tidak seperti sekarang ini yang cair seratus persen ke rekening pemerintah daerah dan pemda mengubah menjadi deposito yang sewaktu-waktu bisa cair.
Ide Menteri Keuangan ini perlu digarisbawahi. Jika perlu secepatnya juga membuat petunjuk pelaksanaan teknis agar tidak terjadi simpang siur dan ketakutan yang tak beralasan. Sepanjang tidak ada duit yang dikantongi, harusnya para bupati tidak perlu takut dan tidak perlu ngeri dikriminalisasi.
Belanja negara dan daerah menjadi sangat mendesak. Mengatasi perlambatan ekonomi salah satu jalan pintasnya ialah mempercepat belanja, termasuk belanja modal. Belanja daerah, yang taruh saja bisa cair dan dibelanjakan Rp200 juta, tentu akan bisa menjadi multiplier effect sebesar Rp1.000 triliun. Rezeki itu akan menggerakkan ekonomi daerah yang sedang melambat dengan penuh ketidakpastian seperti sekarang ini. Dunia sedang mencari keseimbangan baru.
Rupiah terus melemah. Harga saham terus berguguran. Ekonomi Indonesia tak hanya melambat, tapi juga penuh ketidakpastian. Situasi yang tak pasti inilah yang menularkan pesimisme ke seluruh sendi kehidupan. Belum lagi, masalah kegaduhan politik dalam negeri dalam menangani masalah. Tampak tarik-menarik dan menimbulkan keraguan di pasar dalam penanganan perekonomian yang melambat.
Perekonomian dunia sedang bergerak lambat. Negara-negara saling bertempur agar memenangi perang mata uang. Tiongkok sudah mengawalinya dengan melakukan devaluasi mata uangnya untuk menghadapi Amerika Serikat (AS) yang kuat. Di kawasan ASEAN juga sudah terjadi ketika Vietnam melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Tiongkok. Indonesia, yang mata uangnya sudah melemah, tentu tak perlu melakukan devaluasi. Namun, anehnya, Indonesia tidak mampu memanfaatkan penurunan rupiah.
Ekonomi Indonesia kini juga melambat. Jika ekspor tidak bisa dilakukan ketika rupiah ambruk, itu karena struktur ekonomi Indonesia tidak memungkinkan untuk ekspor. Sebab, terlalu nikmat dengan ekspor komoditas selama 10 tahun terakhir ini. Kini harga komoditas anjlok.
Besarnya belanja negara dan belanja daerah dapat mengurangi “penderitaan” masyakarat karena ekonomi yang melambat mengurangi permintaan. Lebih dari itu, sikap pemda yang memeras bankir-bankir BPD dengan meminta suku bunga lebih tinggi dan dijadikan pendapatan asli daerah merupakan sikap antipembangunan.
Di lain pihak, pemerintah pusat juga harus membuat terobosan kebijakan agar tidak terjadi kriminalisasi kebijakan atau pasal korupsi. Jangan sampai melihat masalah dengan kacamata yang berbeda. Percepatan belanja daerah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah. Dengan demikian, penderitaan ekonomi Indonesia akibat perang mata uang dunia akan bisa terobati dan masyarakat pun masih tetap mempunyai daya tahan serta daya beli karena ada stimulus belanja daerah.
Bankir daerah perlu juga membuat dobrakan. Jangan nikmat dengan memberikan kredit ke karyawan pemda, tapi sesuai dengan misinya untuk meningkatkan pembangunan daerah. Simpul yang ruwet ini bisa diurai melalui profesionalisme bankir daerah dan pemegang saham yang juga menyadari fungsi BPD. Dan, BPD itu bukan diperas di depan dengan minta bunga lebih tinggi karena menempatkan dana desa, melainkan memberi jalan kepada BPD agar dapat membiayai proyek-proyak yang dapat membantu pembangunan desa.
Hantu kriminalisasi kredit macet sedang bergentayangan, tapi itu bisa saja hilang jika petunjuk teknis ini juga segera dikeluarkan. Sudah waktunya semua menghentikan lingkaran yang ruwet ini karena krisis sedang di depan mata.
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Majalah Infobank.