Dampak Konflik Iran-Israel: Pemerintah Diminta Siap Hadapi Kenaikan Harga Migas

Dampak Konflik Iran-Israel: Pemerintah Diminta Siap Hadapi Kenaikan Harga Migas

Jakarta – Memanasnya konflik geopolitik antara Iran dan Israel memicu kekhawatiran terhadap dampak distribusi dan harga minyak serta gas bumi (migas) secara global. Kondisi ini dikhawatirkan turut memengaruhi perekonomian Indonesia.

Menanggapi risiko tersebut, Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Dony Maryadi Oekon menekankan pentingnya kewaspadaan pemerintah menghadapi potensi lonjakan harga energi.

“Karena kondisi dunia ini kan sekarang memang paradigma seperti itu. Kalau pada saat sesuatu terjadi, ada perang atau ada apa, fluktuasi dari harga ini sendiri kan akan bermain,” ujar Dony, dalam keterangannya, dikutip pada Senin, 23 Juni 2025.

Ia menjelaskan, kenaikan harga minyak dan energi secara keseluruhan pasti akan berdampak pada Indonesia, mengingat kebutuhan migas dalam negeri yang sangat tinggi dan terus meningkat. 

Baca juga: AS Gempur Iran, Harga Minyak Dunia Langsung Melonjak

Menurutnya, produksi minyak bumi Indonesia saat ini masih jauh dari target. Dari capaian 1 juta barel per hari di masa lalu, kini produksi harian hanya berkisar 580-590 ribu barel, bahkan belum mencapai target 600 ribu barel.

“Sampai hari ini kan belum ada temuan-temuan baru yang signifikan,” tambahnya.

Ia berharap, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) terus mendorong peningkatan produksi. Namun, ia mencatat bahwa peningkatan produksi yang ada saat ini lebih banyak terjadi di sektor gas bumi, bukan minyak mentah.

“Temuan-temuan yang ada, development yang ada itu oleh SKK migas ada di gas sekarang. Jadi saya pikir kita coba lihat ini dari crude oil-nya bagaimana,” jelas Dony.

Ia memperkirakan, apabila ada temuan baru yang signifikan, maka lifting minyak pada 2026 bisa mencapai 610-615 ribu barel per hari.

Ketergantungan pada Impor Energi Masih Tinggi

Lebih lanjut, Dony menegaskan, mendorong peningkatan produksi dalam negeri secara instan tidaklah mudah, karena pengembangan minyak membutuhkan waktu bertahun-tahun.

Dengan kebutuhan minyak harian Indonesia yang mencapai 1,2 juta hingga 1,6 juta barel, dan produksi yang belum menyentuh angka 600 ribu barel, Indonesia masih sangat bergantung pada impor.

Crude (oil) yang kita miliki sekarang tidak mencukupi,” tegasnya.

Kondisi ini, diperburuk oleh situasi konflik global yang diperkirakan akan semakin mendorong harga minyak mentah ke level yang lebih tinggi.

Baca juga: Bitcoin Jatuh ke Bawah USD100.000 usai Serangan AS ke Iran

Untuk itu, pemerintah diminta meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi kenaikan harga migas yang signifikan.

Ia mengakui tantangan efisiensi akan makin besar di tengah gejolak harga energi dunia.

“Mudah-mudahan tidak terlalu berdampak yang besar menurut kita,” pungkas Dony.

Harga Minyak Naik Tajam setelah Serangan AS ke Iran

Seperti diketahui, harga minyak dunia melonjak pada Senin, 23 Juni 2025, ke level tertinggi sejak Januari 2025, setelah Amerika Serikat (AS) melancarkan serangan terhadap tiga fasilitas nuklir milik Iran. 

Dinukil dari Investing.com, harga minyak mentah berjangka Brent naik 2,44 persen atau USD1,88 menjadi USD78,89 per barel. 

Sementara itu, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) asal AS juga naik USD1,87 atau 2,53 persen menjadi USD75,71 per barel.

Baca juga: Selat Hormuz Ditutup, Goldman Sachs Ramal Harga Minyak Bakal Tembus USD110 per Barel

Iran merupakan salah satu produsen minyak terbesar di dunia. Sekitar 20 persen konsumsi minyak dunia dan 20 persen gas alam cair (LNG) dikirim melalui Selat Hormuz, yang menghubungkan Teluk Persia dengan Teluk Oman. 

Gangguan pada jalur distribusi, seperti keharusan kapal tanker berputar melalui jalur selatan Afrika, akan menambah waktu dan biaya pengiriman, yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan inflasi global. (*)

Editor: Yulian Saputra

Related Posts

Top News

News Update