Oleh Rahmat Mulyana, Associate INDEF dengan spesialisasi risk management di perbankan
KETIKA Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif 32 persen terhadap seluruh produk Indonesia pada awal April 2025, reaksi pertama pasar keuangan kita sudah bisa ditebak: rupiah tertekan, IHSG merosot, dan yield obligasi pemerintah melonjak. Yang mungkin belum sepenuhnya dipahami adalah implikasi jangka panjang kebijakan ini terhadap risiko perbankan nasional.
Kebijakan proteksionisme Trump bukanlah sekadar angin lalu. Sebagai negara dengan ekspor ke Amerika Serikat (AS) senilai USD24 miliar per tahun, Indonesia menghadapi tantangan serius. Perbankan, sebagai jantung sistem keuangan, berada di garis depan menghadapi gelombang kejut ekonomi ini.
Empat Risiko Utama yang Mengintai
Berdasarkan analisis terhadap data Outlook Perbankan 2025 yang diolah penulis, setidaknya ada empat area risiko utama yang perlu diwaspadai seluruh pelaku industri perbankan.
Pertama, risiko kredit yang memburuk. Sektor-sektor berorientasi ekspor, seperti tekstil, elektronik, dan furnitur, akan mengalami tekanan profitabilitas signifikan. Industri tekstil dan pakaian diprediksi paling terpukul dengan proyeksi NPL yang melonjak tajam. Secara keseluruhan, industri perbankan harus bersiap menghadapi kenaikan NPL yang signifikan dengan potensi kerugian mencapai belasan triliun rupiah.
“Pola ini mirip dengan yang terjadi pada krisis 1998, di mana tekanan eksternal dengan cepat merambat ke kualitas aset perbankan,” ujar seorang bankir senior yang enggan disebutkan namanya.
Kedua, volatilitas pasar yang ekstrem. Depresiasi rupiah ke level Rp17.000/USD menimbulkan risiko mark-to-market bagi portofolio bank dan berpotensi memicu apa yang para ekonom sebut sebagai interest rate risk in banking book (IRRBB). Kenaikan suku bunga yang sangat mungkin terjadi berpotensi menggerus valuasi ekuitas perbankan secara signifikan.
Yang perlu dipahami adalah bahwa IRRBB bukan sekadar istilah teknis. Ini adalah ancaman riil pada neraca bank. Bayangkan bank memiliki aset jangka panjang dengan suku bunga tetap (seperti KPR 15 tahun), sementara pendanaannya berjangka pendek (deposito 1-3 bulan). Ketika suku bunga naik, bank harus membayar bunga lebih tinggi pada deposito baru, sementara pendapatan dari kredit lama tetap. Inilah yang bisa menggerus profitabilitas secara dramatis.
Ketiga, tekanan likuiditas yang signifikan. Capital outflow dari pasar modal dalam satu kuartal telah menekan likuiditas perbankan. Indikator likuiditas seperti liquidity coverage ratio (LCR) perbankan menunjukkan tren penurunan. Yang lebih mengkhawatirkan, terjadi peningkatan dana tidak stabil (volatile funding) yang menandakan perubahan perilaku nasabah yang mulai gelisah.
Fenomena yang perlu diwaspadai adalah “flight to quality”, dalam hal ini nasabah cenderung memindahkan dana dari bank-bank menengah-kecil ke bank besar yang dianggap lebih aman. Ini bisa menciptakan segmentasi likuiditas yang berbahaya bagi stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.
Keempat, disrupsi strategis jangka panjang. Bank-bank yang membangun keunggulan kompetitif di segmen trade finance dan pembiayaan ekspor perlu memikirkan ulang model bisnis mereka. Penurunan volume pembiayaan ekspor ke AS dan fee based income trade finance tidak bisa dianggap sebagai fenomena sementara, melainkan perubahan struktural yang membutuhkan respons strategis.
Baca juga: “Trump Effect” dan Momentum Pendalaman Pasar
Bagaimana Bank Bisa Beradaptasi?
Di tengah tantangan, selalu ada peluang. Strategi adaptasi perbankan nasional dapat dibagi dalam dua fase: jangka pendek (0-6 bulan) dan jangka menengah (6-18 bulan).
Untuk strategi jangka pendek (0-6 bulan), ada beberapa langkah yang bisa diambil bank. Satu, lindung nilai valas secara proaktif. Bank dengan eksposur valas signifikan perlu mengalokasikan porsi yang memadai dari ekuitas mereka untuk biaya hedging. Cross–currency interest rate swaps (CCIRS) dan forward USD/IDR menjadi instrumen utama yang perlu dioptimalkan.
Perlu digarisbawahi bahwa strategi hedging yang efektif bukan sekadar soal volume, tetapi juga timing dan instrumen yang tepat. Bank perlu memahami bahwa over-hedging sama berisiko dengan under-hedging, karena bisa menciptakan beban biaya yang tidak perlu di tengah tekanan profitabilitas.
Dua, pencadangan kredit yang lebih konservatif. Bank perlu mengadopsi pendekatan forward-looking dalam manajemen provisi. Peningkatan coverage ratio NPL menjadi langkah antisipatif yang penting, terutama untuk sektor-sektor yang terpapar langsung dengan dampak tarif Trump.
Pendekatan pencadangan sektoral berbasis risiko lebih efektif daripada blanket approach. Bank perlu mengalokasikan coverage ratio lebih tinggi untuk industri ekspor terdampak langsung, seperti tekstil dan elektronik.
Tiga, buffer likuiditas tambahan. Bank perlu memperkuat buffer likuiditas di atas persyaratan minimum regulasi. Hal ini tidak sebatas memenuhi rasio minimum, tetapi membangun bantalan yang cukup untuk menghadapi skenario stres yang berpotensi lebih parah daripada yang diantisipasi.
Buffer likuiditas juga perlu mencakup valas, terutama USD, mengingat volatilitas nilai tukar dan potensi capital flight yang bisa menekan likuiditas valas secara tiba-tiba.
Sementara, untuk strategi jangka menengah (6-18 bulan), beberapa hal yang bisa dilakukan bank adalah sebagai berikut. Satu, diversifikasi portofolio kredit. Industri perbankan perlu melakukan rebalancing portofolio secara gradual, bergeser dari sektor manufaktur ekspor ke sektor-sektor yang lebih tahan terhadap gejolak eksternal. Sektor substitusi impor, energi terbarukan, dan ekonomi digital menawarkan peluang pertumbuhan di tengah tantangan.
Diversifikasi geografis juga sama pentingnya. Bank perlu mempertimbangkan ekspansi ke wilayah-wilayah yang memiliki ketergantungan lebih rendah pada ekspor ke AS. Wilayah dengan basis ekonomi lebih berorientasi domestik bisa menjadi target ekspansi kredit yang lebih aman.
Dua, penyeimbangan aset-liabilitas. Management duration gap menjadi krusial dalam mengelola IRRBB. Bank perlu menurunkan gap ini melalui kombinasi strategi rebalancing portofolio surat berharga, penggunaan derivatif suku bunga, dan pengembangan produk kredit dengan karakteristik repricing yang lebih fleksibel.
Balance sheet immunization bukanlah konsep teoretis semata, tetapi kebutuhan praktis di tengah volatilitas suku bunga. Bank perlu mengembangkan kerangka ALM yang lebih dinamis dan responsif terhadap perubahan kondisi pasar.
Tiga, repricing strategis produk. Pendekatan diferensiasi harga berdasarkan risiko nasabah (risk-based pricing) menjadi penting dalam mempertahankan margin di tengah volatilitas. Bank perlu mengembangkan kemampuan repricing yang lebih granular dan responsif.
Yang sering dilupakan adalah komunikasi yang efektif dengan nasabah tentang perubahan harga. Bank yang mampu menjelaskan rasional repricing secara transparan cenderung mengalami penolakan pasar (market rejection) yang lebih rendah.
Peran Krusial Bank Indonesia dan OJK
Tantangan ini tidak bisa dihadapi perbankan sendirian. Regulator memiliki peran krusial dalam memitigasi risiko sistemis.
Bank Indonesia (BI) perlu mengoptimalkan triple intervention di pasar spot valas, DNDF, dan pembelian SUN. Intensitas intervensi perlu dikalibrasi secara tepat untuk menstabilkan pasar tanpa menguras cadangan devisa secara berlebihan.
Yang sering kurang diperhatikan adalah dampak komunikasi kebijakan BI. Dalam kondisi volatilitas tinggi, komunikasi yang jelas dan konsisten dari otoritas moneter menjadi sama pentingnya dengan intervensi itu sendiri dalam membentuk ekspektasi pasar.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan BI juga perlu mengembangkan backstop likuiditas yang lebih komprehensif. Fasilitas likuiditas yang kredibel tidak hanya berfungsi sebagai jaring pengaman, tetapi juga meningkatkan kepercayaan pasar dan mencegah perilaku panik yang bisa memperburuk tekanan likuiditas.
Pengembangan stress testing berbasis skenario ekstrem menjadi sangat penting. Skenario yang digunakan perlu mencakup depresiasi rupiah yang signifikan, kenaikan suku bunga tajam, dan kontraksi ekonomi yang substansial. Bank perlu dipersiapkan untuk kondisi terburuk, bukan hanya skenario moderat.
Peluang di Balik Ketidakpastian
Di tengah tantangan, selalu ada peluang. Pembiayaan sektor substitusi impor, ekspor ke pasar alternatif, dan rantai pasok domestik menawarkan potensi pertumbuhan yang menarik.
“Kebijakan tarif Trump bisa menjadi momentum untuk memperkuat industri domestik dan mengurangi ketergantungan pada pasar ekspor AS,” kata seorang ekonom senior.
Bank yang mampu mengembangkan spesialisasi sektoral akan unggul dalam lanskap perbankan pascakebijakan tarif. Ini membutuhkan investasi pada pengembangan kapabilitas, termasuk pemahaman mendalam terhadap rantai nilai industri dan model penilaian risiko yang lebih canggih.
Yang sering terabaikan adalah peluang dalam pengembangan produk treasury dan lindung nilai (hedging). Peningkatan volatilitas menciptakan permintaan yang lebih tinggi untuk produk hedging dari nasabah korporasi. Bank yang mampu menawarkan solusi yang inovatif dan cost-effective akan memenangkan pangsa pasar yang signifikan.
Baca juga: Ekonom Sebut Penundaan Tarif Trump Jadi Momen untuk Berbenah
Kesimpulan: Adaptasi Adalah Kunci
Kebijakan tarif Trump bukanlah krisis pertama yang dihadapi perbankan Indonesia, dan tidak akan menjadi yang terakhir. Yang membedakan bank yang bertahan dan berkembang dari yang tersisih adalah kemampuan beradaptasi.
Implementasi enterprise risk management (ERM) terintegrasi menjadi kebutuhan mendesak. Pendekatan manajemen risiko yang terfragmentasi (silo-based) tidak lagi memadai untuk menghadapi risiko multidimensi. Bank perlu mengembangkan platform yang menghubungkan berbagai jenis risiko dan mengidentifikasi interaksi kompleks di antaranya.
Penyesuaian risk appetite yang tepat dan reorientasi strategi bisnis yang cepat menjadi faktor pembeda utama. Bank perlu mengembangkan kemampuan untuk melakukan pivoting strategis dengan lebih cepat dan efektif ketika kondisi pasar berubah secara fundamental.
Yang tak kalah penting adalah transformasi digital yang akseleratif. Di tengah tekanan margin dan volatilitas pasar, efisiensi operasional menjadi lebih krusial dari sebelumnya. Bank yang mampu mengoptimalkan proses dan mengurangi biaya operasional akan memiliki fleksibilitas lebih besar dalam menghadapi tekanan profitabilitas.
Sepanjang sejarah, sistem perbankan Indonesia telah terbukti tangguh menghadapi berbagai guncangan – mulai dari krisis finansial Asia hingga pandemi COVID-19. Dengan kolaborasi erat antara regulator dan industri, tantangan dari kebijakan tarif Trump pun akan menjadi catatan kaki lain dalam sejarah ketangguhan perbankan nasional. (*)