Oleh: Eko B. Supriyanto, Chaiman InfoBank Media Group
JANGAN kaget berapa duit masyarakat yang menguap selama 5 tahun terakhir ini. Jumlahnya, menurut Satgas Waspada Investasi mencapai Rp123 triliun. Jumlah investasi “abal-abal” itu tentu akan lebih besar, jika menjumlahkan kerugian masyarakat dengan institusi resmi seperti asuransi, koperasi dan robot-robot.
Mau untung, malah jadi buntung. Tidak hanya asuransi yang menjadi “tuyul”, koperasi pun juga menjadi “penilep” duit masyarakat. Juga, “pesugihan” online yang diterjemahkan dengan robot-robot pencetak keuntungan. Meski, pesugihan online ini mereda tapi bisik-bisik masih ada di masyarakat. Jualan dari kafe ke kafe, dari hotel ke hotel.
Sementara financial deepening kredit di Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan Negara-negara Asean. Juga, masih rendah dibandingkan dengan Negara-negara G20. Kredit per PDB Indonesia masih dalam kisaran 35-36 persen. Dibandingkan dengan Singapura, Thailand, Malaysia dan Vietnam yang sudah tembus di atas 100 persen.
Tidak hanya kredit, soal dana, aset, dana pensiun dan kapitalisasi pasar modal, kedalaman keuangan yang masih dangkal ini harusnya menjadi peluang besar bagi pengembangan perekonomian Indonesia. Peningkatan inklusi keuangan tidak diimbangi dengan kenaikan kedalaman financial.
Apalagi, pendalaman financial kredit di Indonesia lebih banyak dipengaruhi kredit konsumsi. Jadi, kredit perbankan yang terkait juga dengan layanan keuangan ini hanya rendah daya ledaknya terhadap pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
Sudah rendah pendalama sektor keuangan, tapi tipu tipu masih tetap ada. Tidak hanya dari lembaga resmi, tapi juga yang illegal. Dari tahun ke tahun makin kasat mata. Di sektor Asuransi ada Wanaartha Life, Kresna Life dan terakhir kabarnya Asuransi Indosurya juga sedang meninggalkan “kotoran” menyusul sebelumnya KSP Indosurya. Ada KSP Langit Biru, KSP Pandawa.
Selalu saja ada korban-korban berjatuhan setiap tahun. Investasi bodong atau sering disebut bank gelap atau shadow banking – lembaga yang berlaku seperti bank. Banyak KSP berkedok sebagai bank gelap.
Seribu cara digunakan untuk menipu masyarakat. Tidak hanya yang canggih dengan robot-robot atau pesugihan online. Tapi, juga dengan menggunakan pendekatan syariah. Contohnya; Kampung Kurma, Yalsa Boetique dan paling fenomenal adalah First Travel. Seribu satu underlying digunakan. Sedangkan yang kecil-kecil “Arisan Lebaran” di kampung-kampung.
Selama 44 tahun Infobank berdiri, setiap tahun mencatat banyak korban-korban dari shadow banking ini. Ada keserakahan dalam diri manusia yang sengaja diekploatasi di tengah rendahnya penegakan hukum. Pasang badan selesai. Kerugian masyakarat menjadi kenangan pilu. Misalnya, jika ada yang ditangkap karena “menilep” maka sudah dipastikan duit investor akan lenyap. Proses hukum, selanjutnya ditahan, selesai. Jarang ada duit kembali.
Bernard Madoff sang penipu terbesar di Wall Street tahun 2008 – ketika AS terkana badai krisis keuangan – menggunakan cara yang sama. Skema Ponzy yang digunakan. Ada yang resmi dan ada yang tidak resmi. Tapi ketika tipu-tipu Madoff terbongkar, maka hukum dijatuhkan selama 150 tahun. Dan, sisa kekayaan Medoff dibagi proposional.
Hal yang tidak pernah terjadi di Indonesia. Jangankan dihukum 150 tahun, dihukum maksimal saja jarang ada. Kasus First Travel merupakan kasus pertama yang dihukum 20 tahun. Namun dalam proses banding hukuman lebih ringan.
Dua tahun terakhir Infobank Institute mencatat, masuknya anak-anak muda dengan mengunakan robot-robot trading – atau pesugihan online. Semisal Fahrenheit dengan menilep uang investor Rp5 trliun dengan korban anak-anak muda.
Semua itu dari sisi dana masyarakat. Sementara dari sisi perkreditan lebih menyiksa diri. Hadirnya pinjaman online – jujur mempercepat peningkatan layanan keuangan ke masyarakat. Penetrasi bank ke masyarakat jauh lebih rendah dibandingkan penetrasi pinjaman online. Atau, sering disebut rentenir online.
Namun sayangnya pinjaman online ada yang legal dan ada yang tidak legal. Lalu, munculnya teror ke masyarakat. Lalu, terdengar ada pencucian uang di pinjaman online. Tapi, intinya masyarakat menjadi korban “penyiksaan” keuangan. Ada teror dan praktek rentenir. Ini masih saja terus berlangsung. Praktek-praktek pencucian uang lewat Pinjol ini makin marak di Indonesia.
Cepatnya penetrasi pinjaman online berpengaruh pada inklusi keuangan. Sudah makin membesar inklusi keuangan. Lihat data Indek Literasi dan Inklusi Keuangan Nasional OJK yang terus meningkat. Tahun 2013 inklusi mencapai 59,74%, tahun 2016 mencapai 67,8% dan tahun 2019 mencapai 76,19%.
Sayangnya inklusi keuangan yang meningkat, tidak diimbangi dengan literasi keuangan. Meski literasi juga meningkat, namun posisinya masih rendah. Tahun 2013 literasi baru 21,84%, 29,7% (2016), dan tahun 2019 sebesar 38,03 persen. Program-program yang dilakukan OJK, bank dan lembaga keuangan mampu meningkatkan inklusi dan literasi. Namun perlu dilihat efektifitas program jalan jalan di daerah Dapil dengan para anggota DPR yang dibungkus program edukasi. Hal itu baik-baik saja, namun sasaran literasi menjadi prioritas dan bukan formalitas program.
Inklusi meningkat, literasi mendaki. Namun masih ada gap yang lebar antara inklusi dan literasi ini. Lebih dalam lagi masih ada gap literasi antar wilayah, semisal Jakarta, Surabaya dan wilayah Indonesia bagian timur. Nah, di sinilah masih perlu pamahaman masyarakat tentang seluk beluk keuangan.
Pertanyaan mendasarnya, mengapa literasi dan inklusi keuangan meningkat tapi makin banyak korban, baik dari dana dan kredit. Lebih remuk lagi banyak korban dari lembaga resmi seperti asuransi dan KSP yang punya izin? Gonjang-ganjing penjualan unit link bermuara dari rendahnya literasi yang dimanfaatkan oleh para pemasar asuransi yang basisnya komisi. Sing penting laku. Titik.
Sepanjang 44 tahun, dan makin hari korbannya makin besar. Nilai kerugian makin membesar. Aneka bentuk modus juga beragam. Underlyingnya pun tak kalah beragamnya, bahkan menggunakan agama. Jujur saja meski literasi naik, dan inklusi yang juga naik tapi masih ada korban berjatuhan.
Entah sudah nasib masyarakat Indonesia, para pemilik uang terkena investasi bodong. Dan, yang tak punya uang terkena pinjaman online. Bahkan, apakah bisa disebut inklusi yang naik, salah satu akibat pinjaman online ini mengakibatkan kemiskinan baru.
Pinjaman-pinjaman yang dilakukan masyarakat tidak untuk produktif, tapi untuk kebutuhan konsumtif, beli handphone, gaya hidup dan konsumsi. Pemiskinan terjadi manakala harus menanggung beban bunga yang menjerat.
Pertanyaannya pinjaman yang membesar di masyakat kecil ini menambah kaya peminjamnya atau membuat makin miskin karena bunganya. Pura –pura kaya karena pinjaman – silahkan tanya kepada para guru dan pegawai negeri sipil. Juga, para prajurit hampir pasti punya pinjaman. Entah dari bank, leasing maupun koperasi.
Makin banyak orang yang dilayani kredit makin baik. Namun yang perlu digerakan adalah jangan sampai pinjaman online, ini menjadi mesin pemiskinan baru bagi masyarakat Indonesia. Juga, jangan sampai pula literasi yang sudah naik ini – karena gap-nya masih besar menjadi celah bagi tumbuh suburnya shadow banking atau bank gelap. Apalagi di tengah hukum yang kurang berpihak pada korban pemilik uang.
Harusnya para penipu di sektor uang ini dihukum seperti Bernard Madoff dengan hukuman maksimal. Itu jalan terbaik untuk menutup gap antara literasi dengan inklusi. Jika perlu dihukum maksimal plus membayar lunas sampai tujuh turunan.
Selamat ulang tahun ke 44 Infobank yang terus menyaksikan penipuan-penipuan di sektor keuangan ini makin membesar kerugiannya akibat lunaknya hukum. Maka selalu saja infobank menegaskan teliti sebelum membeli. Para penipu di sektor keuangan tidak hanya yang resmi tapi juga yang illegal.
Jangan biarkan shadow banking itu hidup lebih lama. Apalagi, Indonesia masih dangkal sektor keuangannya. (*)