Poin Penting
- Penerapan pajak e-commerce masih ditunda hingga kondisi ekonomi nasional membaik, dengan target pertumbuhan sekitar 6 persen agar tidak membebani pelaku UMKM.
- Sistem pajak tetap berbasis self-assessment, di mana wajib pajak yang berpenghasilan di atas Rp500 juta per tahun wajib melaporkan SPT secara mandiri.
- Berdasarkan PMK Nomor 37 Tahun 2025, pemerintah menugaskan platform marketplace sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi para merchant di platform digital.
Jakarta – Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Bimo Wijayanto buka suara terkait batas waktu penundaan penerapan pajak e-commerce.
Bimo menyatakan, kebijakan tersebut masih menunggu kondisi perekonomian domestik yang dinilai tepat, sejalan dengan arahan Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa.
Bimo menjelaskan, prinsip dasar sistem perpajakan Indonesia tetap mengedepankan mekanisme self-assessment. Artinya, Wajib Pajak memiliki tanggung jawab untuk menghitung, melaporkan, dan membayar pajak secara mandiri sesuai kemampuan ekonominya.
Baca juga: Purbaya: Kalau Semua Gratis, Pendapatan Pajak Nol, Bubarlah Kita
“Memang ini ada arahan terbaru dari Pak Menteri yang terkait dengan pajak e-commerce, tapi sifat daripada pajak kita itu kan self–assessment ya, artinya memang kalau setiap orang yang sudah mempunyai kemampuan ekonomi tertentu gitu ya, kalau katakanlah UMKM penghasilannya sudah di atas Rp500 juta per tahun, maka dengan sendirinya mereka harus melaporkan SPT atas aktivitas ekonominya yang memang terkena pajak,” ujar Bimo dalam media briefing, dikutip, Selasa, 21 Oktober 2025.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 (PMK 37/2025) pemerintah telah menugaskan platform penyedia marketplace sebagai pemungut pajak.
Setiap transaksi yang dilakukan oleh para pedagang atau merchant dalam negeri di platform digital akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) secara otomatis oleh pihak penyelenggara sistem elektronik.
“Kalau memang di PMK yang sudah kita desain, ini kan terkait dengan penunjukkan platform, platform penyedia marketplace itu untuk memungut pajak dari, apa namanya istilahnya vendor ya, bukan apa namanya? Merchant-merchant yang berpartisipasi di platform,” imbuhnya.
Baca juga: Target Pajak 2025 Masih Jauh, Purbaya Kejar Rp781,6 Triliun
Tunggu Ekonomi 6 Persen
Meski demikian, kata Bimo, pelaksanaan kebijakan tersebut masih ditunda hingga kondisi ekonomi menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Pemerintah menilai bahwa kebijakan pajak digital sebaiknya diterapkan ketika pertumbuhan ekonomi nasional sudah mencapai sekitar 6 persen, agar tidak menambah beban bagi pelaku usaha daring, terutama sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
“Itu yang memang ditunda sampai nanti sesuai dengan arahan Pak Menteri, sampai katakanlah pertumbuhan ekonomi bisa lebih optimistis ke angka 6 persen. Terakhir itu memang arahannya ke kami itu di Februari, tapi kemudian ada arahan baru dari pak menteri untuk menunggu sampai pertumbuhan 6 persen,” ungkapnya. (*)
Editor: Galih Pratama










