Moneter dan Fiskal

BI Revisi Turun Proyeksi Ekonomi Global 2025 Jadi 2,9 Persen, Efek Tarif Resiprokal Trump

Jakarta – Bank Indonesia (BI) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2025 menjadi 2,9 persen, dari sebelumnya sebesar 3,2 persen.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyatakan bahwa ketidakpastian perekonomian global semakin meningkat, dipicu oleh kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS).

Langkah retaliasi oleh China (Tiongkok), serta potensi respons dari sejumlah negara lain, dinilai akan memperburuk fragmentasi ekonomi global dan menekan volume perdagangan dunia.

“Akibatnya, pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun 2025 diprakirakan akan menurun dari 3,2 persen menjadi 2,9 persen dengan penurunan terbesar terjadi di AS dan Tiongkok sejalan dengan dampak perang tarif kedua negara tersebut,” kata Perry dalam Konferensi Pers RDG, Rabu, 23 April 2025.

Baca juga: BI Pertahankan Suku Bunga di 5,75 Persen, Fokus Jaga Inflasi dan Stabilitas Rupiah

Perry juga menyebutkan pertumbuhan ekonomi di negara maju maupun negara berkembang diperkirakan akan melambat. Hal ini disebabkan oleh dampak langsung penurunan ekspor ke AS, serta dampak tidak langsung berupa turunnya volume perdagangan dengan negara lain.

“Perang tarif dan dampak negatifnya terhadap penurunan pertumbuhan AS, Tiongkok, dan ekonomi dunia memicu peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global serta mendorong perilaku risk aversion pemilik modal,” jelasnya.

Modal Mengalir ke Safe Haven, Mata Uang Negara Berkembang Tertekan

Selain itu, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) menurun dan indeks mata uang dolar AS (DXY) terhadap berbagai mata uang dunia melemah di tengah ekspektasi penurunan suku bunga acuan The Fed (Fed Funds Rate/FFR).

Baca juga: Aliran Dana Investor Asing Kembali Masuk Rp176 Miliar

Aliran modal global pun mulai bergeser dari AS ke negara-negara dan aset yang dianggap lebih aman (safe haven), terutama ke instrumen keuangan di Eropa dan Jepang serta komoditas emas. Di sisi lain, aliran modal keluar dari negara berkembang masih berlanjut, memberikan tekanan terhadap nilai tukar mata uang mereka.

“Memburuknya kondisi global tersebut memerlukan penguatan respons dan koordinasi kebijakan untuk menjaga ketahanan eksternal, mengendalikan stabilitas, dan mendorong pertumbuhan ekonomi di dalam negeri,” tandasnya. (*)

Editor: Yulian Saputra

Irawati

Recent Posts

Waskita Karya Garap Jalan di Bali Senilai Rp290,84 Miliar

Poin Penting Waskita Karya raih kontrak baru Rp290,84 miliar untuk membangun Jalan Perbaikan Geometrik Batas… Read More

15 mins ago

Mencari Solusi Whoosh

Oleh Mudrajad Kuncoro, Guru Besar Sekolah Vokasi UGM dan Penulis Buku “Manajemen Keuangan Internasional” PROYEK… Read More

26 mins ago

IPO Superbank (SUPA) Oversubscribed hingga 318,69 Kali

Poin Penting IPO Superbank (SUPA) oversubscribed 318,69 kali dengan lebih dari 1 juta order, mencerminkan… Read More

27 mins ago

IHSG Ditutup Menguat 0,43 Persen ke 8.686, Top Gainers: ALII, EMTK, GOLF

Poin Penting IHSG ditutup menguat 0,43% ke level 8.686, dengan mayoritas sektor positif, terutama teknologi… Read More

1 hour ago

Menhub Prediksi Lonjakan Penumpang 119,5 Juta pada Nataru 2025-2026, Ini Persiapannya

Poin Penting Pemerintah perkirakan 119,5 juta orang atau 42,01% penduduk Indonesia akan melakukan perjalanan selama… Read More

2 hours ago

RUPSLB Wijaya Karya (WIKA) Setujui 3 Agenda Strategis, Ini Rinciannya

Poin Penting RUPSLB WIKA menyetujui tiga agenda strategis, yakni perubahan Anggaran Dasar, kewenangan persetujuan RKAP… Read More

2 hours ago