Jakarta – Wacana Holding Company di sektor energi masih terus diperbincangkan. Tak sedikit yang menolak dan menganggap rencana ini tidak tepat dilakukan saat ini.
Bahkan Kementerian Hukum dan HAM sendiri kabarnya belum memberikan lampu hijau bagi Kementerian BUMN untuk menjadikan Pertamina Holding Company yang membawahi PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN). Pasalnya, proses holding saat ini tidak bisa dirumuskan dengan mudah dan harus sesuai dengan aspek legal.
“(Holding Pertamina-PGN) Belum. Masih dalam pembahasan dari berbagai aspek masih kita lihat dulu,” kata Yasona di Kantor Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Jakarta, Kamis, 18 Agustus 2016.
Menurutnya, Kemenkumham baru akan menandatangani rumusan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) untuk dibawa ke Presiden setelah semua kajian tuntas. Sampai saat ini, Kemenkumham sendiri belum memberikan persetujuan. “Belum, belum (disetujui),” kata Yasona singkat.
Sementara itu, Dirjen Kekayaan Negara Kemenkeu, Sonny Loho juga mengungkapkan proses holding akan dikomunikasikan juga ke DPR. Ia menjelaskan, sosialisasi saat ini masih dilakukan pemerintah.
“Kita sosialisasi dulu supaya nanti clear, tapi RPP nya tetap di proses, tapi ditandatangani presiden setelah semua beres,” kata Sonny.
Sonny juga menambahkan, pemerintah siap melakukan komunikasi dengan DPR dalam rangka melakukan proses penyatuan perusahaan migas milik negara tersebut. “Kita kan mesti komunikasi juga dengan DPR, komunikasi dulu aja. Jadi memang hanya melakukan pemberitahuan ke DPR,” ungkapnya.
Sekedar informasi, sebelumnya, kalangan analis berpendapat agar proses holding tidak terkesan terburu-buru dan memaksakan. Pasalnya, saham PGN yang dimiliki publik bisa terganggu akibat perpindahan kepemilikan saham mayoritas dari pemerintah langsung ke Pertamina.
Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri bahkan tidak setuju jika PGN berada di bawah Pertamina. Transparansi menjadi hal utama dalam pengelolaan bisnis migas agar mafia tidak lagi bisa merajalela. Menurutnya, akuisisi PGN oleh Pertamina bukanlah jalan keluar dalam holding energi. Regulasi yang dibutuhkan adalah bagaimana sinergi untuk efisiensi bukan pencaplokan.
“Yang dibutuhkan adalah regulasi mensinergikan infrastruktur energi yang efisien. Tujuannya yang nyata sebenarnya di sektor bank, harusnya digabung malah tidak dilakukan,” kata Faisal. (*) Dwitya Putra