Belum Punya Payung Hukum, Ini 4 Tantangan InsurTech

Belum Punya Payung Hukum, Ini 4 Tantangan InsurTech

Jakarta – Pandemi telah memaksa orang untuk merubah pola hidup atau gaya hidup, mulai dari makanan sehat, olahraga, bertransaksi, dan berbelanja. Semua beralih ke teknologi yang memberikan kemudahan, dan kecepatan. Fenomena ini berdampak positif bagi asuransi. Sebab, teknologi menjadi alternative baik dari sisi produk, maupun layanan dalam menghadapi pandemic yang lebih dikenal dengan Insurance Technology (InsurTech).

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membagi Insurtech menjadi 3, yaitu Insurtech Aggregator atau Market Place, Insurtech Intermediaries –Broker atau Agents dan The Full Stack Insurtech. Namun demikian, saat ini baru Insurtech sebagai aggregator saja yang perkembangannya cukup pesat. Dan, insurtech dalam market place yaitu desain bundling produk, antara barang dan jaminan asuransi atas kerusakan atau kehilagan barang yang banyak dijumpai dalam market place. Jadi  insurtech sebagai besar masih sebagai alternative jalur distribusi pemasaran asuransi.

Teguh Aria Djana, Direktur Utama Simas Insurtech mengatakan, karakter produk asuransi digital adalah produknya sederhana. “Namun demikian, volumenya cukup signifikan” tandasnya.

Saat ini tercatat ada beberapa perusahaan asuransi yang dengan cepat beradaptasi dengan melakukan transformasi digital dan melakukan kolaborasi dengan pelaku usaha digital. Sebut saja Tugu Insurance. Perusahaan yang digawangi oleh Indra Baruna ini dengan gesit telah menjalin kolaborasi dengan beberapa pelaku usaha berbasis digital, diantaranya Lifepal dan LinkAJa. Lifepal merupakan marketplace asuransi digital berkonsep all in one di Indonesia yang diharapkan dapat mendukung pemasaran produk Tugu Insurance melalui platform digital. Sementara Kolaborasi Tugu dengan LinkAJa dilakukan untuk membeirkan kemudahan dalam pembayaran.

Selain itu, ada Allianz yang menggandeng Gopay berupa program perlindungan PtoteksiCumaCuma bagi para pengguna GoPay Plus. Melalui produk ini Allianz berharap dapat meningkatkan pangsanya di pasar digital insurance melalui e-commerce.

Tak mau kalah, asuransi pelat merah PT. Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) juga menjalin kolaborasi dengan perusahaan berbasis digital. Tak tanggung-tanggung, Jasindo menggandeng perusahaan asal negeri Singa Igloo. Group Head Asuransi Kesehatan Asuransi Jasindo Zainul Muqorobin mengatakan jumlah produk yang ditawarkan diantaranya adalah asuransi kesehatan, asuransi perjalanan, asuransi perlindungan aset, asuransi perlindungan saat kecelakaan, asuransi perlindungan ponsel atau barang berharga lainnya hingga perlindungan selama menginap di hotel. Jasindo pun manargetkan dapat meraup premi hingga Rp 50 Miliar melalui kolaborasi ini.

Pesatnya perkembangan asuransi digital menjadi warna sendiir di industri asuransi setelah industri ini tertidur cukup lama yang menyebabkan asuransi sepi dari inovasi produk. Karenanya, digitalisasi di asuransi ini, seperti halnya bank, perlu mendapatkan dukungan dan perhatian yang serius, khususnya dari regulator.

Menurut Teguh, regulator saat ini masih berhati-hati dalam menerapkan rambu-rambu terkait model bisnis insurtech ini. “Oleh karenanya pelaku industri dan juga segenap komponen di ekosistem insurtech harus aktif memberikan masukan-masukan” tambahnya. Beberapa hal perlu diluruskan, dan diperbaikin sehingga digitalisasi di asuransi benar-benar efektif dan juga efisien.

Teguh melihat ada beberapa hal yang perlu dikaji, misalnya penggunaan tanda tangan digital dalam polis. “Untuk bundling product misalnya, maka harus memiliki izin agen. Nah ini perlu dievaluasi.

Ia menambahkan, setidaknya ada 4 hal yag Ia catat sebagai tantangan asuransi digital. Pertama, terkait definisi insurtech yang masih belum sama. “Jadi, definisi ini harus dibakukan dulu ya” imbuhnya.

Kedua, mengenai jati diri Insurtech,  ini akan ditempatkan atau dikelompokkan seperti apa. Apakah menjadi perusahaan penunjang perasuransian atau seperti apa.

Ketiga, mengenai definisi penerimaan premi atau penerimaan dokumen. Saat ini, kata Teguh, aturannya hanya perusahaan asuransi yang boleh menerima pembayaran premi. Sehingga jika dipasarkan dengan bundling product maka pembayarannya dipisah, atau ada 2 kali transkasi yang justri malah makin rumit. Kemudian juga terkait aturan menerbitkan dokumen fisik polis asuransi menjadi paperless.

Dan keempat, mengarah pada pelakui industri, yakni perusahaan asuransi perlu menemukan talent yang meahami proses bisnis, dan berani dalam melakukan inovasi.

Beberapa aturan menurut Teguh mungkin bisa mengambil atau mereferensi dari Negara luar yang memang sudah menerapkan aturan yang lebih fleksibel sehingga insurTech nya berkembang dengan pesat.

Sementara menurut Rudi Gunawan, Direktur Utama Asuransi Total Bersama (TOB Insurance) mengatakan, OJK sendiri sejatinya sudah melakukan langkah besar terkait Insurtech, yakni keharusan untuk memiliki izin pialang bagi pelaku usaha digital yang ingin memasarkan asuransi.

“Pialang tumbuh agresif dan ini membuat industri asuransi menjadi lebih dinamis. Tetapi memang harus ada yang dipertimbangkan risikonya, seperti hal-hal yang berpotensi memicu masalah hukum” ujarnya.

Rudi menambahkan, yang juga menjadi tantangan dalam InsurTech adalah keamanan data nasabah. Ia pun menyambut rencana OJK mengeluarkan kebijakan terkait Cyber Security.

Kedepan, Teguh meyakini masa depan asuransi adalah yang dapat cepat beradaptasi khususnya dengan teknologi. Menurutnya, ada banyak potensi yang akan mendorong penetrasi asuransi melalui Insurtech. Contohnya yang saat ini diminati adalah bundling product dengan marketplace untuk asuransi yang dapat melindungi kerusakan barang. Kemudian potensi lainnya adalah asuransi travel. “Potensinya besar sejalan dengan mulai melandainya pandemi yang dapat membangkitkan kembali sektor pariwisata” tandasnya.  Dan terkahir adalah kolaborasi dengan fintech dengan potensi asuransi kredit dan juga asuransi e-wallet.

Data OJK menyebutkan, total premi asuransi InsurTech melalui kerja sama pialang atas penjualan produk mencapai Rp 811,71 miliar. Sampai dengan Juli 2021, aset industri asuransi mencapai Rp949,44 triliun atau hampir mencapai Rp 1.000 triliun. Pertumbuhan aset asuransi mencapai 8,11 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Perolehan premi industri asuransi tumbuh 6,33% atau secara total mencapai Rp165,67triliun pada Juli 2021. Perolehan premi asuransi jiwa mencapai Rp107,61 triliun, sementara perolehan premi asuransi umum dan reasuransi mencapai Rp58,06 triliun. Level Risk-Based Capital (RBC) industri asuransi jiwa dan asuransi umum masing-masing tercatat sebesar 653,74% dan 346,73%, atau jauh di atas ambang batas ketentuan yang ditetapkan OJK yakni sebesar 120%.

OJK sendiri telah mengeluarkan peraturan mengenai keuangan digital melalui Peraturan OJK Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan sebagai ketentuan yang memayungi pengawasan dan pengaturan industri keuangan digital. Juru BIcara OJK, Sekar Putih Djarot mengatakan, OJK telah menyusun berbagai kebijakan untuk mendukung perkembangan industri asuransi terkait Insurtech, yaitu mengenai aturan jenis produk dan layanan yang dapat dijual perusahaan pialang asuransi digital, standar teknologi informasi, dan kualitas SDM pengelola IT.(*)

Related Posts

News Update

Top News