Awas, Kampanye Hitam Sawit Hanya Persaingan Bisnis

Awas, Kampanye Hitam Sawit Hanya Persaingan Bisnis

Jakarta – Kampanye hitam terhadap kelapa sawit diyakini hanya alasan persaingan bisnis. Produsen minyak nabati dunia tidak akan mampu bersaing dengan minyak sawit dari sisi harga, sehingga memilih melakukan hambatan non-tarif dengan mengangkat isu lingkungan.

“Karena sawit itu sangat kompetitif di pasar dunia, maka lawannya, seperti produsen kedelai, red seed maupun sunflower, tidak akan berhasil dengan strategi memainkan harga,” jelas Tungkot Sipayung, Ekonom dan Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), dikutip 29 April 2022.

Tungkot meyakini, jika bersaing dengan cara competitive pricing, produsen minyak nabati selain sawit dipastikan kalah. Oleh sebab itu, dibangunlah strategi non-tarif. Untuk bersaing dengan sawit, maka dilemparkanlah tuduhan deforestasi, pelanggaran hak azasi manusia, dan berbagai tuduhan negatif lainnya kepada produsen-produsen minyak nabati untuk menghantam produknya di pasar.

Tungkot Sipayung menerangkan, ada 17 jenis tumbuhan penghasil minyak nabati secara internasional. Dari angka ini, hanya ada empat yang utama, yaitu sawit, kedelai, red seed, dan sunflower. Keempat tumbuhan ini menghasilkan sekitar 90 persen minyak nabati dunia dan yang paling banyak adalah dari tanaman kelapa sawit.

Kelapa sawit, tambahnya, bukanlah tanaman musiman seperti ketiga tumbuhan lainnya. Sawit juga merupakan tumbuhan pohon sehingga lebih tahan terhadap perubahan iklim dan bisa menghasilkan saat musim hujan maupun kemarau. Selain itu, produktivitasnya mencapai 10 kali lipat dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lain.

Keunggulan ini menjadikan suplai minyak sawit stabil dan volume besar, sehingga disukai oleh negara-negara importir minyak nabati karena ada kepastian pasokan sepanjang tahun. Selain itu, penggunaannya juga sangat luas, tidak hanya untuk pangan, tetapi juga untuk bahan bakar (biofuel) hingga oleo kimia yang bisa diproduksi menjadi bahan lain  yang sangat bervariasi.

Dengan demikian, harga jual minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dan produk turunannya sangat kompetitif dan ekonomis dibandingkan minyak nabati jenis lain. Minyak sawit menjadi raja minyak nabati dunia.

Terkait deforestasi yang disebabkan sawit, Tungkot menjelaskan, sejumlah penelitian telah membuktikan bahwa tanpa sawit, maka deforestasi, polusi tanah dan air akan lebih besar lagi.

“Ketidakseimbangan biodiversiti juga akan lebih besar lagi kalau dunia tidak mau menggunakan sawit. Jadi mereka yang melakukan kampanye antisawit, hidup tanpa sawit, itu justru mensponsori terjadinya deforestasi yang lebih besar lagi,” tegasnya.

Dia menambahkan, jika budidaya sawit dihentikan, harus ada penggantinya. Tanaman kedelai, red seed, dan sunflower akan dipaksakan menghasilkan volume produksi seperti sawit, maka lahan tidak akan cukup bahkan jika memperhitungkan semua kawasan hutan tropis Amazon.

Dari sisi kesejahteraan komunitas di sekitar lahan perkebunan, dia menyebutkan, banyak studi membuktikan bahwa kehadiran sawit mampu meningkatkan income, merestorasi ekonomi, sosial, dan ekologi daerah. Apalagi, lahan sawit umumnya di buka di daerah pelosok, daerah pinggiran, lahan marjinal  yang tidak ada kehidupan di sekitarnya.

“Saat ini, sentra sawit yang dikembangkan di pelosok justru sudah menjadi kawasan ekonomi yang berkembang. Mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan, dan Papua. Ini adalah distribusi sawit terhadap perekonomian nasional maupun daerah,” paparnya.

Sebelumnya, Wakil Direktur perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Nusantara Sawit Sejahtera (NSS), Kurniadi Patriawan mengatakan, masyarakat perlu kritis merespons kampanye hitam sawit karena sebenarnya banyak informasi beredar tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.

Dia mencontohkan, saat ini NSS telah menerapkan prinsip konservasi lingkungan. Lahan konservasi tetap dipertahankan untuk menjaga keseimbangan ekosistem yang tidak hanya dibutuhkan oleh masyarakat, namun juga untuk kelanjutan perkebunan. (*)

Related Posts

News Update

Top News