Apindo Soroti Sektor Riil Indonesia yang Belum Optimal

Apindo Soroti Sektor Riil Indonesia yang Belum Optimal

Poin Penting

  • Serapan tenaga kerja formal di sektor pertanian masih rendah, hanya 12 persen dari 40 juta pekerja, jauh tertinggal dibanding sektor manufaktur (61 persen) dan akomodasi-makanan (29 persen).
  • Tingginya biaya usaha menjadi hambatan utama, termasuk suku bunga pinjaman 8–14 persen (lebih tinggi dari rata-rata ASEAN), biaya logistik 23 persen dari PDB, serta tarif listrik yang mahal.
  • Birokrasi rumit dan tantangan struktural menghambat daya saing sektor riil, sehingga perlu perbaikan menyeluruh agar sektor ini bisa menjadi motor ekonomi nasional.

Jakarta – Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) memandang sektor riil di Indonesia masih belum mencapai level yang optimal. Masih ada sejumlah aspek yang bisa diperbaiki untuk menjadi motor perekonomian negara.

Hal tersebut diunggkapkan Anne Patricia Sutanto, Ketua Umum Bidang Perdagangan APINDO Forum Diskusi Capaian Satu Tahun Kinerja Kabinet Merah Putih di Bidang Perekonomian dengan tema “Kemajuan Ekonomi Menuju Asta Cita: Sudah Sejauh Apa?”, Senin, 20 Oktober 2025.

Ane mencontohkan, serapan tenaga kerja formal masih di sektor pertanian, yang jumlahnya mencapai 40 juta pekerja, masih terbilang rendah.

“Pertanian itu (punya) 40 juta pekerja, tapi saat ini baru 12 persen yang tenaga kerja formal. Mungkin ini juga salah satu sebabnya tetap harus menurunkan BLT sampai sekian juta penerima, itu karena pekerja formalnya baru terserap 12 persen,” kata Anne.

Baca juga: Apindo: 150 Ribu Pekerja Jadi Korban PHK, Diprediksi Terus Bertambah

Jumlah serapannya masih jauh dari pekerja sektor-sektor lain. Sektor akomodasi, layanan, dan makanan, menyerap 29 persen tenaga kerja formal dari total 27 juta pekerja. Sebanyak 61 persen dari 20 juta pekerja di sektor manufaktur bahkan merupakan tenaga kerja formal.

Hal tersebut, kata Anne, juga menjadi bukti adanya pergeseran dari komoditas padat karya ke padat modal. Padahal, pemerintah pernah menyebut akan mendorong komoditas padat karya untuk menjadi motor perekonomian Indonesia.

Permasalahan lain, tambah Anne, adalah tingginya biaya usaha. Sebagai contoh, suku bunga pinjaman di Indonesia mencapai 8-14 persen. Padahal, rerata suku bunga di 5 negara besar Asia Tenggara hanya berkisar 4-6 persen.

“Kita ini kalau dibandingkan dengan Vietnam atau Singapura, itu funding cost kita sangat besar. Jadi, if we want to really compete terutama industri-industri yang membutuhkan capital yang masif, otomatis kita sangat perlu upgrade diri,” kata Anne.

Tidak hanya modal, beberapa hal lain yang APINDO sorot meliputi biaya logistik yang mencapai 23 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), lebih tinggi dari Tiongkok (16 persen), Malaysia (13 persen), atau Singapura.

Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi 5,12 Persen Dinilai Tak Cerminkan Kesejahteraan Pekerja

Tagihan listrik juga mahal, mencapai USD0,099 per kWH. Angka ini di atas Tiongkok (USD0,087 per kWH) dan Vietnam (USD0,075 per kWH).

Hal lain yang menjadi sorotan adalah soal birokrasi dalam negeri yang terkenal rumit. Jika itu semua diperbaiki, Anne yakin bahwa daya saing sektor riil dalam negeri bisa membaik.

“Kami sebenarnya dari dunia usaha sebenarnya ingin bersama-sama pemerintah melihat bagaimana tantangan struktural sektor riil itu benar-benar di-bottleneck,” tegasnya. (*) Mohammad Adrianto Sukarso

Related Posts

News Update