Jakarta – Keterlambatan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) merilis APBN Kita pada awal tahun menimbulkan polemik. Laporan APBN Kita menggambarkan kinerja Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN), sekaligus pembiayaan yang disampaikan ke publik secara rutin tiap bulannya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani berdalih bahwa penundaan publikasi laporan APBN untuk Januari 2025, dikarenakan data keuangan negara masih belum stabil pada awal tahun.
“Mungkin untuk menjelaskan beberapa hal yang memang terkait pelaksanaan APBN di awal tahun yang kita melihat datanya yang masih sangat belum stabil karena berbagai faktor,” ujar Sri Mulyani dalam APBN KiTa, Kamis, 13 Maret 2025.
Setelah satu bulan menunda, pemerintah merilis APBN Kita edisi Februari 2025. Ada berbagai catatan terkait data yang tersaji dalam laporan tersebut. Salah satunya mengenai kinerja penerimaan pajak.
Menurut, Nailul Huda, Direktur Ekonomi CELIOS menyoroti penerimaan pajak yang anjlok hingga 41,8 persen year on year (yoy) di tengah implementasi Coretax (sistem digitalisasi perpajakan terbaru). Pemerintah kehilangan potensi penerimaan pajak di Januari 2025 sebesar Rp64 triliun.
“Ada dua faktor kenapa turun begitu drastis. Pertama, terdapat pengembalian dana restitusi atau kelebihan bayar PPN tahun 2024. Alasan kedua adalah kendala di sistem Coretax yang membuat wajib pajak kesulitan melaporkan transaksi-nya,” jelas Nailul dalam keterangan resmi dikutip 13 Maret 2025.
Baca juga: APBN Februari 2025 Defisit Rp31,2 Triliun, Sri Mulyani: Masih Sesuai Target
“Akibatnya transaksi menjadi terhambat. Rasio Pajak terhadap PDB tahun 2025 bisa lebih rendah dibandingkan tahun 2024, implikasinya defisit APBN rentan di atas 3 persen dan bisa berpotensi impeachment.” tambah Huda.
Selain itu, belanja pemerintah pusat melambat sebesar 10,76 persen, sementara secara spesifik belanja K/L turun tajam -45,5 persen yoy.
Sementara Media Askar, Direktur Kebijakan Publik CELIOS, menyampaikan belanja pemerintah merupakan salah satu motor utama pertumbuhan ekonomi. Melambatnya belanja pemerintah hampir separuh dari tahun sebelumnya bisa mengurangi perputaran uang di masyarakat, memperlambat konsumsi dan memangkas pertumbuhan ekonomi.
“Anjloknya belanja pemerintah juga berpotensi menyebabkan terhentinya proyek infrastruktur di daerah yang juga menyebabkan gelombang PHK dan pengangguran di sektor konstruksi dan industri pendukungnya,” ujar Media.
Dia melanjutkan, kondisi yang terjadi di Indonesia bertolak belakang dengan yang terjadi di Argentina. Presiden Argentina, Javier Milei juga melakukan pemangkasan anggaran secara signifikan. Namun demikian, penerimaan pajaknya sukses dinaikkan hingga 11 persen pada Februari 2025 dan mengalami surplus fiskal. Vietnam melakukan hal yang sama, efisiensi bertujuan memangkas birokrasi sehingga menarik bagi investasi.
“Sementara di Indonesia, justru berujung pada dua masalah sekaligus anggaran dipangkas dan membebani masyarakat bawah dan penerimaan negara anjlok drastis,” tukas Media.
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menambahkan bahwa krisis pada penerimaan pajak menimbulkan risiko penambahan utang yang tak terkendali.
“Bayangkan kalau Januari saja utangnya naik 43,5 persen dibanding periode yang sama tahun lalu, maka akhir 2025 diperkirakan utang pemerintah tembus Rp10.000 triliun. Beban bunga utangnya pasti naik tajam tahun depan, membuat overhang utang, memicu crowding out effect di sektor keuangan dan efisiensi belanja ekstrem lebih brutal lagi tahun depan. Rating surat utang pemerintah juga diperkirakan mengalami evaluasi.” kata Bhima.
Menurut Bhima, kesalahan terbesar pengelolaan anggaran pemerintah dimulai dari program pemerintah yang ambisius tidak disertai dengan naiknya sumber perpajakan. Ini berujung membuat pemerintah melakukan efisiensi secara masif. Belanja dipotong hingga Rp306 triliun, dividen BUMN dialihkan langsung kepada Danantara, hingga penundaan pengangkatan CPNS merupakan korban dari program ambisius pemerintah.
“Program tersebut membutuhkan dana dengan jumlah jumbo, namun penerimaan negara sedang cekak.” Huda menambahkan.
Bhima mendesak, jajaran elite dalam tubuh Kemenkeu untuk mundur karena gagal menjalankan mandat disiplin fiskal tanpa rencana jelas dan tidak berani melakukan terobosan pajak.
“Kami mendesak Sri Mulyani, Wakil Menteri, dan Dirjen Pajak untuk mundur karena gagal menjalankan mandat disiplin fiskal tanpa rencana jelas, dan tidak berani melakukan terobosan pajak, justru merusak sistem perpajakan yang ada melalui buruknya implementasi Coretax,” tegas Bhima.
Baca juga: Penerimaan Pajak hingga Februari 2025 Susut ke Rp298,87 Triliun, Ini Faktornya
APBN Februari 2025 Defisit
Kemenkeu melaporkan bahwa realisasi APBN mengalami defisit Rp31,2 triliun pada awal tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto atau hingga Februari 2025.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa angka tersebut setara dengan -0,13 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
“Saya ingatkan kembali APBN didesain dengan defisit Rp616,2 triliun, jadi ini defisit 0,13 persen tentu masih di dalam target desain APBN sebesar -2,53 persen dari PDB yaitu Rp616,2 triliun,” kata Sri Mulyani.
Bendahara negara ini juga menyampaikan keseimbangan primer pada Februari 2025 mengalami surplus sebesar Rp48,1 triliun. Angka ini masih positif dari target APBN 2025 yang diproyeksikan defisit Rp63,3 triliun.
Pendapatan dan Belanja Negara
Hingga Februari 2025, pendapatan negara mencapai Rp316,9 triliun, atau 10,5 persen dari target APBN 2025, yang ditetapkan sebesar Rp3.005,1 triliun.
Di sisi lain, belanja negara telah terealisasi sebesar Rp348,1 triliun, atau 9,6 persen dari total target APBN 2025, yang mencapai Rp3.621,3 triliun. (*)