Jakarta – Ini yang terjadi jika dua bank terbaik di kelasnya merger: aset, kredit, dan dana melesat di atas 100%. Tapi, laba menurun. Lho, kok bisa?
Bisa. Itulah yang terjadi pada PT Bank BTPN Tbk (BTPN), bank hasil merger antara Bank Tabungan Pensiunan Nasional dan Bank Sumitomo Mitsui Indonesia (SMBCI).
Dalam catatan Infobank, BTPN dan SMBCI adalah bank dengan kinerja terbaik di kelasnya. BTPN adalah peraih Titanium Tropy karena berhasil meraih predikat kinerja “Sangat Bagus” selama 15 tahun berturut-turut.
Sementara, SMBCI adalah peraih Platinum Tropy karena berhasil menorehkan predikat kinerja “Sangat Bagus” selama 10 tahun tanpa jeda.
Setelah resmi merger pada Januari 2019 lalu, BTPN berhasil meningkatkan nilai aset, mempersolid permodalan, dan melayani segmen bisnis yang semakin luas.
Per kuartal I-2019, aset BTPN mencapai Rp192,2 triliun. Melonjak 101% dibandingkan posisi yang sama tahun lalu (year on year/yoy) senilai Rp95,8 triliun. Penyaluran kredit pun turut loncat, sebesar 114% menjadi Rp139,8 triliun. Sementara, dana tumbuh 105% menjadi Rp156,5 triliun.
Uniknya, meski komponen utama keuangannya bertumbuh, laba bersih (konsolidasi) BTPN justru menurun. Per Maret 2019 laba BTPN sebesar Rp507 miliar atau menurun 5,3% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp535 miliar.
Mengapa turun?
Faktor tekanan dari biaya dana membuat margin bunga bersih BTPN turun. Posisi NIM turun dari 11,30% menjadi 6,95%. Imbasnya, laba kuartal I tergerus. Beberapa bank mengalami hal yang sama.
“Interest rate naik 175 basis poin dan USD juga naik. Sedangkan waktu jelang merger yang lalu kami menambah persediaan likuiditas supaya aman,” ujar Hanna Tantani, Chief Financial Officer (CFO) BTPN, kepada sejumlah wartawan.
Selain faktor margin bunga, proses pelaksanaan merger juga memiliki dampak terhadap pembentukan laba. Waktu efektif merger per 1 Februari membuat entitas baru tersebut hanya bekerja efektif dua bulan selama Februari dan Maret.
“Pendapatan usaha SMBCI selama sebulan pertama sebelum merger tidak bisa digabung,” lanjut Hanna.
Meski baru dua bulan, roda organisasi tetap bekerja optimal sehingga dapat mempertahankan laju pertumbuhan. Hal ini menunjukkan penggabungan usaha berlangsung lancar dan sesuai ekspektasi.
“Tahun ini merupakan tahun konsolidasi. Periode ini tentu sangat menantang dan kami bersyukur dapat mengawali fase integrasi dengan baik, yang tercermin pada pencapaian kinerja kuartal I-2019,” papar Ongki Wanadjati Dana, Direktur Utama BTPN.
Menurut Ongky, pertumbuhan kredit BTPN pada kuartal I banyak ditopang oleh segmen korporasi, usaha kecil dan menengah (SME), pembiayaan konsumen, dan pembiayaan prasejahtera produktif (productive poor) melalui anak usaha, BTPN Syariah.
BTPN melayani segmen korporasi berskala besar di Indonesia, seperti BUMN, perusahaan multinasional, konglomerasi lokal Indonesia, dan perusahaan Jepang.
Sebelum merger bisnis ini dikelola oleh SMBCI. Setelah penggabungan usaha, portofolio ini dicatatkan ke dalam neraca BTPN.
“Yang pasti, bisnis kita akan lebih mantap. Ibaratnya, kalau dulu hanya satu engine, sekarang ditopang beberapa engine,” tutupnya. (*)