Jakarta – Awal masa pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka diwarnai oleh berbagai peristiwa yang berpotensi mengancam stabilitas industri keuangan nasional. Isu ini menjadi perhatian utama dalam Starting Year Forum 2025, yang diselenggarakan oleh Infobank bersama Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) dan Marketing Research Indonesia (MRI), di Hotel Shangri-La, Jakarta, Selasa, 4 Februari 2025.
Ketua AAUI, Budi Herawan, menyampaikan kekhawatiran terhadap dinamika ekonomi yang dapat menghambat pertumbuhan dan meningkatkan risiko di sektor keuangan.
Menurut Budi, skandal fraud yang melibatkan eFishery, startup yang selama ini menjadi mitra pemerintah dalam digitalisasi ekonomi, telah memberikan dampak signifikan terhadap kepercayaan investor.
Baca juga: PKSS Gencar Transformasi Digital dalam Penyediaan Tenaga Kerja
“Fraud yang dilakukan eFishery, salah satu startup yang dekat dengan pemerintahan kita selama ini, signifikan menurunkan kepercayaan investor startup dan ekonomi digital untuk berinvestasi di Indonesia,” ujarnya.
Budi menilai, kasus ini menjadi pukulan telak bagi ekosistem digital di Indonesia, terutama di tengah tren global yang justru menunjukkan peningkatan investasi di sektor tersebut.
Masalah Transparansi dan Regulasi Investasi
Selain itu, Budi menyoroti masalah transparansi dalam kasus pagar laut, yang berpotensi menciptakan preseden buruk dalam regulasi perizinan investasi. Menurutnya, ketidakpastian dalam penerapan regulasi dapat menghambat minat investor asing.
Baca juga: AAJI Bangun Gedung untuk Pengembangan SDM dan Literasi Asuransi
Padahal, stabilitas politik, ekonomi, dan keuangan merupakan prasyarat utama bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
“Meskipun fondasi ekonomi Indonesia kuat dan mampu tumbuh 5,2 persen di tahun 2024, telah nampak beberapa faktor risiko yang dapat memicu ketidakstabilan keuangan,” tambahnya.
Ketergantungan pada Utang Luar Negeri
Budi juga mengingatkan bahwa tingginya ketergantungan Indonesia pada utang luar negeri bisa menjadi ancaman serius pada masa depan. Meskipun rasio utang terhadap PDB masih berada di kisaran 40 persen dan dianggap aman, ia menilai perbandingan dengan negara-negara maju seperti AS, Jepang, atau China tidak relevan.
Baca juga: AAUI Masih Kaji Dampak hingga Pengetatan Aturan Pasca Putusan MK Pasal 251 KUHD
“Kondisi sektor produktif di negara-negara tersebut sangat berbeda dengan kondisi kebijakan manufaktur dan industrialisasi di Indonesia. Bangkrutnya Sritex dan industri tekstil dalam negeri perlu menjadi alarm kencang bagi pemerintah,” katanya.
PHK dan Pelemahan Daya Beli Masyarakat
Tantangan lain yang disoroti adalah meningkatnya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepanjang 2024, yang mencapai sekitar 80 ribu orang.
Hal ini menunjukkan tekanan serius di pasar tenaga kerja, terutama di tengah pelemahan daya beli masyarakat akibat pengetatan anggaran di berbagai pos APBN.
Fluktuasi Rupiah dan Dampak Geopolitik Global
Budi juga menyoroti volatilitas nilai tukar rupiah, yang rentan terhadap gejolak global, termasuk kebijakan suku bunga bank sentral AS dan Jepang, serta potensi krisis di negara lain.
Baca juga: Topping Off Gedung Grha AAJI, Tonggak Baru bagi Industri Asuransi Jiwa Indonesia
Dinamika geopolitik turut menjadi perhatian, khususnya terkait kemungkinan kebijakan perdagangan yang lebih agresif dari Amerika Serikat, jika Donald Trump terpilih kembali sebagai presiden.
“Kebijakan Trump 2.0 dengan trade war tarif 100 persen dan technology war melalui TikTok dan AI bisa mempengaruhi perdagangan dan investasi di Indonesia,” imbuhnya.
Ketergantungan Ekspor pada Komoditas Mentah
Kondisi ini semakin diperburuk oleh ketergantungan ekspor Indonesia pada komoditas mentah, yang sangat rentan terhadap fluktuasi harga global.
Baca juga: OJK Buka-bukaan Soal Perkembangan Kasus TaniFund dan Investree
Budi menegaskan bahwa industri asuransi memiliki peran strategis dalam menghadapi tantangan tersebut untuk meminimalkan kerentanan sektor keuangan nasional.
“Industri asuransi tidak bisa sendiri, tidak bisa berdiri sendiri, pun juga industri perbankan dan jasa keuangan lainnya,” tegasnya.
Perlunya Reformasi Struktural dan Kebijakan yang Tepat
Ia mendorong adanya kolaborasi yang lebih erat antara pemerintah, pelaku industri keuangan, dan regulator untuk mengelola risiko yang semakin kompleks.
Menurut Budi, pemerintah perlu mempercepat reformasi struktural dan menerapkan bauran kebijakan fiskal dan moneter yang tepat guna menjaga stabilitas ekonomi.
Pengelolaan utang yang produktif, mendorong industrialisasi, serta memperbaiki neraca perdagangan menjadi langkah strategis yang harus segera diambil.
Baca juga: Ketua Umum AAUI Beberkan Penyebab Rendahnya Penetrasi Asuransi
“Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia perlu terus memantau kesehatan sektor perbankan dan keuangan nasional, termasuk risiko kredit macet dan paparan terhadap utang luar negeri,” imbuhnya.
Meskipun risiko-risiko ini belum tentu berujung pada krisis keuangan, Budi menegaskan bahwa ancaman tersebut nyata dan harus diwaspadai.
“Kunci untuk menghindari krisis adalah pengelolaan kebijakan makroekonomi yang prudent, reformasi struktural, dan meningkatkan ketahanan ekonomi terhadap guncangan eksternal,” pungkasnya. (*) Alfi Salima Puteri










