Tata cara perhitungan dalam hedging syariah, agar tidak melanggar dengan prinsip-prinsip syariah, menjadi kendala OJK untuk mengeluarkan aturan terkait hedging perbankan syariah. Rezkiana Nisaputra
Bogor – Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa bahwa perbankan syariah boleh melakukan transaksi hedging (lindung nilai). Namun demikian, fatwa tersebut belum sepenuhnya di dukung oleh peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) dan Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Padahal, instrumen lindung nilai ini sangat dibutuhkan untuk meminimalkan risiko selisih atas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Bukan hanya untuk perbankan konvensional saja, tetapi perbankan syariah dianggap juga perlu untuk melakukan transaksi lindung nilai.
Sementara berdasarkan data OJK per Agustus 2015 pembiayaan valuta asing (valas) bank syariah tercatat naik sebesar 21,87% dari periode yang sama tahun 2014 menjadi Rp 8,6 triliun. Tiga bank syariah yang berkontribusi dalam pembiayaan valas tersebut, yakni Bank Syariah Mandiri (BSM), Bank Mualamat Indonesia, dan BNI Syariah.
Terus meningkatnya pembiayaan valas oleh bank syariah, maka instrumen hedging syariah ini sangat diperlukan bagi perbankan syariah. Oleh sebab itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) diharapkan dapat berkoordinasi dan mengeluarkan aturan terkait dengan hedging syariah tersebut.
Sejauh ini, OJK selaku regulator di industri keuangan memang belum mengeluarkan aturan terkait instrumen lindung nilai bagi perbankan syariah. Namun, pihaknya mengaku, sejalan dengan sudah dikeluarkannya fatwa MUI, saat ini OJK tengah melakukan koordinasi dengan BI terkait dengan hal tersebut.
“Fatwa sudah keluar dibolehkan oleh MUI. Saat ini kita masih dalam tahap koordinasi dan mengharmoniskan aturan dengan BI karena memang harus dari dua sisi,” ujar Direktur Perbankan Syariah OJK Dhani Gunawan Idhat, di Bogor, 21 November 2015.
Kendala utama yang menjadi aturan hedging syariah terkatung-katung sampai saat ini, kata dia, adalah terkait dengan tata cara perhitungannya agar tidak melanggar dengan prinsip-prinsip syariah. Sampai saat ini, OJK sudah menyampaikan bagi bank-bank syariah yang ingin melakukan hedging untuk dapat melakukan perhitungan itu.
“Bank-bank syariah harus mengajukan dahulu bagaimana tata cara perhitungannya jangan sampai keluar dari prinsip syariah, setelah itu kita bahas. Jadi ini problemnya dan belum mencapai kesepakatan. Kalau sudah clear akan kita setujui, karena ketentuan fatwanya sudah boleh oleh MUI,” ucap Dhani.
Dirinya berharap, agar problem terkait tata cata perhitungan tersebut, dapat segera rampung sampai ahkir tahun ini, sehingga dengan begitu OJK bisa mengeluarkan aturan hedging syariah setidaknya aturan hedging yang paling sederhana dahulu, seperti untuk pembiayaan dalam mendukung ekspor impor.
“Kan hedging ada tiga bentuk ya, sekarang yang kita buat aturan untuk hedging yang sederhana yang mendukung proses ekspor impor dahulu. Sekaran ini sedang kita proses mudah-mudahan sampai akhir tahun rampung supaya cepat-cepat selesai,” ungkap Dhani.
Direktur Bisnis PT BNI Syariah, Imam T Saptono pernah mengatakan, sejalan dengan adanya fatwa MUI yang menyepakati bahwa perbankan syariah boleh melakukan hedging, maka perbankan syariah di Indonesia berharap agar BI dan OJK dapat mengeluarkan aturan terkait dengan lindung nilai tersebut.
Padahal kata dia, bank-bank syariah di Indonesia berminat dan siap untuk melakukan lindung nilai berbasis syariah tersebut. Akan tetapi, kondisi ini masih terhalang oleh aturan yang sampai saat ini belum dikeluarkan oleh BI dan OJK.
“Stabilisasi kurs itu bisa dengan melakukan hedging, sampai saat inikan fatwa dari MUI sudah keluar, tapi justru yang belum keluar itu aturan dari BI dan OJKnya. Sebenarnya, kalau PBInya itu sudah ada, sudah bisa kita lakukan. Harga transaksi forward antara bank konven dengan syariah juga tidak terlalu berbeda jauh,” ujarnya.
Hal ini juga dikeluhkan oleh para travel agent Haji dan Umrah saat melakukan transaksi dengan menggunakan valas. Sekretaris Jenderal, Himpunan Penyelenggara Umrah & Haji (Himpuh) Muharom Ahmad mengungkapkan, jika aturan hedging syariah sudah dikeluarkan maka para travel agent Umrah dan Haji tidak dirugikan atas selisih nilai tukar valas.
“Sekarang banyak kerugian nilai tukar karena belanja tiket kami. Nilai yang ditukarkan itu nilai tertinggi, kurs tertinggi karena memang mereka akan ambil kurs tertinggi. Itu sudah lazim kalau di maskapai asing,” tambah Muharom.
Sebagaimana diketahui, aturan mengenai hedging syariah ini, rencanaya akan digabung dengan POJK tentang Produk dan Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang akan terbit tahun ini. Produk hedging perbankan syariah nantinya ada yang memerlukan izin dan ada yang tidak membutuhkan izin tergantung kompleksitas masalah. (*)