Jakarta – Pengabaian hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) beberapa kali menyoal penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dianggap sebagi preseden buruk dalam sistem penegakan hukum ke depan. Audit yang sudah dilakukan beberapa kali, dan dimintakan untuk diaudit kembali, merupakan bentuk pengabaian mandat sekaligus hasil kerja BPK sebelumnya.
“Sebetulnya persoalan ini sudah clear. Terlebih BPK di tahun 2006, sudah merilis LHP (laporan hasil pemeriksa) disitu dikatakan tidak ada kerugian negara. Jadi dari sisi mana dikatakan merugikan keuangan negara,” ujar Pakar Hukum Tata Negara dan Ilmu Perundang-undangan Universitas Padjajaran, I Gde Pantja Astawa kepada wartawan di Jakarta, Jumat, 19 Januari 2018.
Pihaknya mengkritisi adanya audit BPK kelima kali yang disebut KPK menyebutkan adanya potensi kerugian negara dari SKL BLBI Badan Likuiditas Bank Indonesia (BDNI). Padahal, empat kali sebelumnya BPK bersama pihak pemerintah dan swasta sebagai auditor independen, sudah mengaudit hal sama. Bahkan, di salah satu audit keempat, audit menyebutkan adanya kelebihan bayar oleh pihak BDNI.
Dirinya menggarisbawahi, bahwa KPK tidak bisa menafsirkan BPK sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan yang dapat menyatakan ada atau tidaknya kerugian negara. Peran BPK ditegaskan konstitusi, berdasarkan Undang-undang Dasar 1945. Tindakan pengabaian KPK terhadap audit-audit BPK sebelumnya, dikatakannya, dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan pada BPK di mata siapa pun entitas yang diperiksanya.
“Baik itu BNN maupun pemerintah daerah di seluruh Indonesia akan menilai BPK tidak bisa dipercaya, karena KPK menganulir temuan BPK,” katanya.
Oleh sebab itu, Pantja Astawa mengingatkan, pengabaian hasil pemeriksaan BPK tidak hanya terjadi pada kasus BLBI. Dalam kasus Sumber Waras, KPK berlaku demikian.
“Nah, waktu kasus Sumber Waras, ketika Pak Ahok jadi gubernur DKI. Bukankah KPK yang meminta BPK untuk melakukan audit investigatif. Begitu kemudian hasilnya temuan kerugian negara yang disampaikan BPK, KPK justru mengatakan tidak ada kerugian negara. Ini jadi aneh, padahal dia (KPK) sendiri yang meminta,” tegasnya.
Sebenarnya, lanjut dia, tidak ada lagi yang harus dipermasalahkan pada kasus SKL BLBI, kalau saja KPK mau merujuk audit BPK terdahulu. Ia juga mengingatkan sudah tidak zamannya persoalan korupsi ditarik ke wilayah pidana. Sebab semestinya yang menjadi prioritas itu adalah hukum administrasi, karena mekanisme dan sanksinya sudah jelas ada.
“Saya sering beda pendapat. Tapi aturannya memang seperti itu, baik dalam UU Perbendaharaan Negara maupun dalam UU Pemeriksaan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan UU 30/2014 tentang Adminsitrasi Pemerintahan. Semuanya berujung pada administratif. Ganti rugi itu tidak ada urusannya dengan pidana. Sayang omongan saya tidak pernah digubris,” ucapnya.
Hal senada juga disampaikan praktisi hukum Administrasi Negara, Irman Putra Sidin. Menurutnya, penyelesaian kebijakan penerbitan SKL terhadap debitur BLBI tidak bisa dipidanakan. Namun, dia menegaskan, jika ditemukan adanya penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan SKL, harus lah diuji lewat peradilan Tata Usaha Negara (TUN). Hal ini mengingat sebuah tindak pidana tidak dapat berdiri sendiri namun terikat dengan hukum lain.
Lebih jauh ia menilai, SKL merupakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah guna memberikan kepastian hukum terhadap debiturnya. Kebijakan yang bersandar pada untung-rugi bagi negara ini, tambah dia, juga bertujuan untuk memberikan kepastian hukum di sektor usaha maupun negara.
“Kita sering salah kaprah. Sebuah perbuatan pidana tidak berdiri sendiri, melainkan terikat pada hukum lain. Seperti halnya kasus korupsi, bila yang diindikasikan adalah penyalahgunaan wewenang atas suatu kebijakan, maka ranahnya masuk ke dalam peradilan TUN,” tegasnya.
Ia juga menuturkan, penyelesaian kasus terhadap bank atau pemilik bank yang tersangkut kasus BLBI tak dapat dipenjara karena termasuk ke dalam ranah piutang negara. Hal itu juga telah diatur oleh hukum HAM internasional yang menyebutkan tak boleh adanya pemenjaraan dalam kasus piutang.
Di lain pihak, Kementerian Keuangan memastikan akan terus mengejar 22 obligor BLBI yang hingga kini belum menyelesaikan kewajibannya. Kementerian Keuangan pun saat ini mengaku tengah mencari terobosan baru demi kembalinya uang negara yang dipinjamkan kepada para pemilik bank pada saat krisis terjadi 1998 silam.
Hal tersebut disampaikan Kepala Sub Direktorat Pengelolaan Kekayaan Negara (PKN) II, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan Suparyanto. Diterangkannya, pasca Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan Lembaga penerusnya yakni PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) menyelesaikan masa tugasnya, aset-aset terkait BLBI dikelola oleh Kementerian Keuangan, khususnya oleh DJKN.
“Jadi, prinsipnya kalau memang ada yang belum menyelesaikan kewajiban, kami akan tagih. Kami akan kejar sampai kapanpun,” tegasnya.
Beberapa peraturan Menteri keuangan pun khusus diterbitkan sebagai pedoman pelaksanaan pengelolaan aset. Peraturan tersebut adalah PMK 71 tahun 2015 tentang pengelolaan aset eks PPA persero, yang diubah menjadi PMK 138 tahun 2017. Kemudian PMK no 110/2017 tentang pengelolaan aset eks BPPN oleh Menteri Keuangan. Kemudian PMK No 280 tahun 2009 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam menangani sisa tugas tim pemberesan BPPN. (*)