Oleh Irvan Rahardjo
Jakarta – Kasus penetapan petinggi asuransi menjadi tersangka pidana dalam kasus penolakan klaim asuransi beberapa waktu yang lalu menjadi sentimen negatif bagi iklim usaha asuransi. Ditengah literasi asuransi masyarakat masih rendah, Survei Nasional Literasi Keuangan OJK 2016 indeks literasi perasuransian bahkan turun menjadi 15,76 persen dari 17,84 persen pada survei 2013.
Tahun 2000-an asuransi kerap diajukan ke pengadilan niaga untuk dinyatakan pailit karena dianggap mempunyai piutang yang jatuh tempo dan tidak membayar tagihan klaim . Undang Undang No 4 tahun 1998 tentang Kepailitan direvisi dengan Undang Undang No 37 tahun 2004 bahwa yang berhak mengajukan pemailitan perusahaan asuransi ke pengadilan hanya Menteri Keuangan RI.
Nasabah yang mengalami kekecewaan penyelesaian klaim asuransi kemudian membawa sengketa klaim ke Yayasan Lembaga Konsumen, mencoba mencari penyelesaian melalui pengadilan dengan biaya berperkara dan pengacara yang tidak sedikit dan berlangsung bertahun tahun. Nasabah bermaksud memberikan efek jera kepada asuransi dengan menggunakan undang-undang Perlindungan Konsumen dan menjerat pelaku usaha asuransi dengan ancaman pidana.
Belum lama ini, Indonesia sukses besar meraih kenaikan peringkat kemudahan berusaha (Doing Business). Peringkat Indonesia melompat 19 tingkat dari posisi ke 91 Doing Business 2017 ke peringkat 72 Doing Business 2018 . Kemudahan berbisnis ditetapkan berdasarkan penilaian atas sepuluh bidang diantaranya, pembukaan usaha, perizinan, pembayaran pajak, pelaksanaan kontrak oleh badan peradilan dan penyelesaian proses kepailitan. Dari sepuluh bidang penilaian, Indonesia tidak mengalami reformasi berarti dalam hal pelaksanaan kontrak, penyelesaian proses kepailitan dan perizinan.
Dalam bidang pelaksanaan kontrak terdapat tiga unsur penilaian meliputi jangka waktu, biaya dan kualitas. Sementara untuk bidang penyempurnaan pelaksanaan kontrak, Bank Dunia mencatat suksesi beberapa negara dalam melakukan deregulasi dan menekan biaya tinggi. Antara lain, inisiatif mengembangkan sistem manajemen elektronik yang dilakukan oleh Brunei dan India, pembayaran biaya perkara secara elektronik oleh Thailand, e – filing oleh Taiwan dan China, memperluas jaringan pengadilan khusus , serta mengembangkan penggunaan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) oleh Vietnam. Dalam pelaksanaan kontrak, Indonesia menempati peringkat 145 dibawah Malaysia ( 44), Thailand (34) dan Singapore (2).
Doing Business menggunakan Index Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution Index). Diantaranya, apakah suatu negara memberikan insentif pajak, pengurangan biaya perkara bila menempuh mediasi dan arbitrase, serta mewajibkan pengadilan melakukan skema arbitrase bagi lebih dari 50 persen perkara sengketa yang masuk.
Kinerja altenatif penyelesaian sengketa (APS) Indonesia menurut Doing Business 2018 cukup melegakan yaitu mendapat nilai 2,5 dari skala 0-3 .
Data Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI) pada 2011 – 2016 menunjukkan, jumlah sengketa yang ditangani oleh BMAI melalui mediasi dan ajudikasi (mini arbitrase) mencapai sebanyak 110 kasus sengketa asuransi umum, dan 82 kasus sengketa asuransi jiwa . Setiap tahun, terdapat rata rata 22 kasus asuransi umum dan 17 kasus asuransi jiwa. Dari data ini menarik bahwa hasil mediasi dan ajudikasi adalah terkait apakah asuransi harus membayar atau tidak membayar klaim.
Pada asuransi umum, kasus dimana asuransi harus membayar mencapai sebanyak 92 kasus , sementara untuk yang tidak membayar mencapai 18 kasus. Di asuransi jiwa, harus membayar mencapai 49 kasus , dan tidak membayar sebanyak 33 kasus. Dari sini dapat disimpulkan bahwa lebih banyak penolakan klaim oleh asuransi dilakukan dengan alasan yang tidak cukup kuat, sehingga pada tingkat mediasi, asuransi harus mengubah keputusannya menolak klaim dan pada tingkat ajudikasi, majelis memutuskan asuransi harus membayar klaim.
Sejak awal berdiri yakni pada 2006 hingga akhir tahun 2015, jumlah pengaduan yang diterima oleh BMAI mencapai sebanyak 577 kasus. Sebagian besar menghasilkan kesepakatan dimana Termohon ( perusahaan asuransi ) harus membayar klaim, baik secara penuh maupun secara ex gratia. Kesepakatan dimana Termohon harus membayar, jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan kesepakatan dimana Pemohon (nasabah) menerima keputusan Termohon untuk tidak membayar.
Data April 2017 menunjukan bahwa dari 618 sengketa yang diterima BMAI , sebanyak 298 kasus sengketa selesai di tingkat mediasi dan 60 kasus selesai di tingkat ajudikasi, 149 kasus tidak melanjutkan mediasi dan 109 kasus diluar jurisdiksi BMAI.
Nasabah masih enggan membawa sengketa asuransi ke langkah mediasi dan arbitrase yang tidak dipungut biaya karena beberapa alasan. Pertama, Peraturan BMAI pemohon perorangan wajib mengikuti sendiri semua proses penyelesaian sengketa dan tidak diperkenankan menunjuk pihak untuk mewakili. Pemohon boleh didampingi pendamping namun tidak mempunyai hak berbicara kecuali atas izin mediator . Di lain pihak, Termohon yang adalah perusahaan asuransi anggota BMAI wajib menunjuk karyawan perusahaan paling banyak 3 orang sebagai kuasa tetap yang notabene sangat memahami tehnis dan legal perasuransian dengan berbagai keahlian profesi asuransi yang dimiliki. Nasabah tidak bisa didampingi advokat yang menurut undang-undang , advokat memberi jasa hukum baik didalam maupun diluar pengadilan.
Kedua, nasabah asuransi komersial umumnya tidak tergolong orang miskin yang layak menerima bantuan hukum dalam perspektif undang-undang Bantuan Hukum.
Ketiga, BMAI dipersepsikan tidak cukup independen dan imparsial dilihat dari besarnya jumlah pengaduan yang tidak melanjutkan mediasi . BMAI didirikan dan beranggotakan perusahaan asuransi sebagaimana amanat UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian bahwa perusahaan asuransi wajib menjadi anggota lembaga mediasi yang berfungsi menyelesaikan sengketa asuransi dengan pemegang polis.
POJK Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) menganut prinsip independensi diantaranya melarang anggota menggunakan hak veto. Peraturan BMAI melarang arbiter menangani perkara jika arbiter orang yang berpengaruh pada perusahaan asuransi yang berperkara . Nasabah dapat mengajukan hak ingkar apabila cukup alasan dan bukti arbiter berpihak dan tidak bebas dari benturan kepentingan.
Keempat , nasabah memilih fasilitas penyelesaian sengketa yang disediakan oleh OJK dengan nilai maksimal yang sama dengan BMAI yaitu Rp500 juta untuk asuransi jiwa, dan Rp750 juta untuk asuransi umum. Atau memilih lembaga penyelesaian sengketa diluar pengadilan lain seperti Badan Penyelesaian Sengketa dibawah UU Perlindungan Konsumen yang tersebar di setiap Kabupaten.
Peringkat kemudahan berusaha yang ditargetkan Presiden Jokowi mencapai peringkat 40, masih harus diperjuangkan dengan kerja keras semua pihak . Dalam usaha perasuransian, utamanya dalam soal transparansi dengan sejauh mungkin menghindari asimetris informasi yang merugikan para pihak.
Diusulkan, dibentuk lembaga perlindungan hukum perasuransian yang independen dan imparsial bukan saja memberi perlindungan kepada nasabah seperti model bantuan hukum, tetapi juga kepada pelaku usaha asuransi dan masyarakat luas seperti peserta BPJS.
Lembaga didirikan dibawah payung UU 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa . Lembaga ini kelak menjadi role model lembaga penyelesaian sengketa hybrid dibawah pengawasan kementerian keuangan atau IKNB OJK untuk semua lembaga alternatif penyelesaian sengketa sektor keuangan non bank. Pengalihbahasaan polis asuransi atau bilingual mendesak diintensifkan untuk menghindari sengketa dengan nasabah terkait interprestasi polis yang kerap terjadi.(*)
Baca :
Tidak Cukup Bukti, Polisi Hentikan Kasus Allianz
Tren Mafia Asuransi, Pelajaran Dari Kasus Allianz
Penulis adalah Arbiter Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI)