Oleh Karnoto Mohamad
KPR yang menjadi penyumbang kredit konsumsi terbesar setelah KKB akan menjadi “jalur licin”bank-bank untuk merealisasikan target kreditnya di ruang yang masih terbatas pada 2018. NIM KPR masih ciamik dan demand terhadap permintaan pasar KPR sangat besar karena kebutuhan rumah mencapai setengah juta unit per tahun. Apakah kredit perbankan ke sektor properti sudah bisa mengalir deras pada 2018? Hati-hati, ada 24 bank yang terpeleset kredit macet di sektor properti.
Jakarta – Para bankir baru saja menutup kalender 2017. Kendati secara industri perbankan berhasil mencetak laba dua digit, tak semua bankir bisa tersenyum. Menurut Biro Riset Infobank (birI), diperkirakan ada 48 (53) bank yang kinerja keuangannya tertekan, seperti terlihat dari labanya yang menurun atau aset produktifnya yang masih digerogoti kredit macet. Ada sekitar 10 bank yang bahkan merugi. Sebanyak 16 bank masih mencatat non performing loan (NPL) di atas 5%.
Memasuki 2018 sebagian bankir pun masih harus bekerja keras menuntaskan restrukturisasi kredit macetnya, terutama kredit modal kerja di segmen komersial. Kendati mulai membaik, konsolidasi korporasi yang beberapa tahun terakhir lalu tertatih-tatih karena kenaikan harga komoditas batu bara dan sawit masih terbatas. Belum lagi bagaimana membersihkan bekas-bekas hantaman dari sektor multifinance di mana banyak bank harus mengejar piutangnya yang macet di perusahaan-perusahaan pembiayaan yang jebol seperti Arjuna Finance.
Hampir separuh kredit perbankan adalah jenis kredit modal kerja yang menyumbang kredit macet paling besar. Per September 2017 kredit modal kerja, yang menyumbang 46,89% terhadap total kredit yang mencapai Rp4.543,59 triliun, menyumbang 55,43% terhadap total kredit macet perbankan. NPL kredit modal kerja paling tinggi, yaitu sebesar 3,47%. Sementara, NPL kredit investasi sebesar 3,25% dan NPL kredit konsumsi hanya 1,77%.
Di tengah perdebatan daya beli yang dinilai masih melambat pada 2017, bank-bank berusaha menggeber pertumbuhan kredit konsumsi. Banyak ekonom mengatakan bahwa pada saat daya beli masyarakat melemah, pertumbuhan kredit konsumsi biasanya akan lebih rendah daripada pertumbuhan konsumsi. Lagi pula, melemahnya daya beli pada 2017 masih diperdebatkan karena faktanya dana pihak ketiga (DPK) di perbankan naik lebih tinggi daripada pertumbuhan pengeluaran masyarakat untuk gaya hidup. Namun, karena kredit konsumsi di perbankan didominasi oleh kredit di sektor properti, maka pertumbuhannya relatif lebih tinggi daripada jenis kredit lainnya. Lalu seperti apa kinerja penyaluran kredit perbankan? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya? Simak data kredit properti perbankan secara lebih lengkap di Infobank edisi terbaru yang terbit 1 Januari 2018.(*)
Penulis adalah Wakil Pemimpin Redaksi Infobank