Oleh : Eko B. Supriyanto
Jakarta – Indonesia punya trauma yang dalam soal krisis. Angka 8 sejak 40 tahun lalu selalu saja tidak membawa hoki selayaknya kemujuran angka 8 dalam tradisi masyarakat Tionghoa. Krisis 1978, 1988, 1998, 2008 adalah jejak yang sulit dihapuskan. Jadi, wajar saja dalam setiap seminar akhir-akhir ini muncul pertanyaan tentang siklus krisis sepuluh tahunan.
Tidak mudah menjawab pertanyaan soal krisis. Apalagi, akhir-akhir ini banyak cerita beredar soal siklus krisis ini. Pemicunya soal ledakan utang luar negeri yang menyebabkan likuiditas pemerintah tercekik. Pembangunan infrastruktur telah menghabiskan uang pemerintah di tengah ketatnya penerimaan pajak.
Transmisi krisis bisa saja bersumber dari banyak sektor. Tahun 2008 krisis dipicu oleh subprime mortgage dan menjalar pada ketatnya likuiditas. Pasar modal mengalami kejatuhan dan bank-bank tertekan likuiditasnya. Terjadi flight to quality yang menyebabkan bank-bank mengalami kesulitan.
Jatuhnya Bank Century adalah sebuah tanda sedang terjadi krisis. Penyehatan Bank Century adalah bentuk penyehatan sistem perbankan dan faktanya dengan langkah penyelamatan Bank Century kondisi perbankan tidak terjadi guncangan besar seperti 1998.
Ledakan krisis terbesar adalah 1998 dengan jatuhnya 100 bank. Pertumbuhan ekonomi minus dengan menyandera APBN hingga sekarang. Nilai krisis saat itu setidaknya mencapai Rp650 triliun, di dalamnya ada Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Krisis 1998 bermula dari jatuhnya rupiah akibat utang swasta dan pemerintah membengkak. Hal itu memicu kredit bermasalah bank-bank sehingga menyebabkan pemerintah melakukan bailout bank-bank.
Pemerintah mendorong pembiayaan dengan membuka bank-bank dengan izin yang lebih mudah. Lahirnya Pakto 88 adalah respons dari krisis 1987. Dan, ternyata pendirian bank-bank telah mendorong krisis 1998 karena sebagian besar bank yang lahir dari konglomerat digunakan untuk membiayai diri sendiri.
Krisis 1978 lebih banyak disebabkan oleh jatuhnya harga minyak yang merembet ke sendi-sendi perekonomian. Daya ledaknya tidak besar. Krisis 1988 dipicu oleh black monday pada 1987—yang diawali dengan jatuhnya harga saham di Hong Kong dan menjalar ke seluruh belahan dunia, Australia, Eropa, dan termasuk di Wall Street.
Perekonomian global masih penuh ketidakpastian. Namun, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global lebih optimistis dibandingkan dengan 2017. Yang perlu diwaspadai ialah perkembangan kawasan dengan perkembangan geopolitik internasional, terutama masalah Korea Utara.
Menurut data, investasi, ekspor, dan impor tumbuh dengan baik pada kuartal atau triwulan ketiga 2017. Ekspor mencapai 17,3% dan impor 15,1%. Kondisi ini lebih baik dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya. Bahkan, selama tiga tahun terakhir.
Dari sisi banking index tidaklah mengkhawatirkan. Kondisinya masih hijau dengan suku bunga yang terus turun. Namun, yang juga harus terus diwaspadai ialah restrukturisasi korporasi yang dilakukan tahun sebelumnya. Tahun 2018 akan menentukan apakah restrukturisasi kredit yang dilakukan bank-bank akan jatuh lagi atau tidak.
Pasar modal masih bergerak naik dengan IHSG melewati 6.000. Cadangan devisa juga relatif berlebih untuk ukuran ekonomi Indonesia saat ini.
Yang perlu diperhatikan ialah pinjaman luar negeri. Bunga utang dibayar dengan utang baru. Sejak pemerintahan Jokowi-JK, utang luar negeri meningkat dari Rp2.604 triliun pada 2014 menjadi Rp3.866 triliun pada September 2017.
Pada waktu Jokowi-JK terpilih jadi presiden dan wakil presiden, posisi utang Indonesia masih relatif aman dengan rasio 24,2% dari gross domestic product (GDP). Sekarang utang per GDP melonjak menjadi 34%. Memang dibandingkan dengan negara-negara G-20, posisi utang kita masih di urutan ke-17.
Jika melihat rasio itu tidaklah mengkawatirkan. Hanya masalahnya ialah kemampuan likuiditas di tengah APBN yang ketat. Risiko fiskal, terutama risiko penerimaan, menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Harusnya melihatnya tidak sekadar rasio utang per GDP, tapi juga risiko likuiditas di mana sekarang bunga utang sudah dibayar dengan utang.
Tahun 2018 akankah berulang siklus krisis 10 tahunan? Jika melihat data-data ekonomi jelas tidak akan terjadi. Namun, apakah ada yang yakin 1989 akan ada krisis—yang waktu itu hampir seluruh indikator makro cukup bagus, tapi toh terjungkal juga karena guncangan dari kawasan Asia. Krisis di Indonesia tidak bisa berdiri sendiri berdasarkan statistik ekonomi Indonesia, tapi berkaitan dengan kondisi global.
Tiongkok saat ini sedang berjuang untuk menahan pertumbuhan ekonominya agar tidak turun, dan saat ini sedang tertekan akibat banyaknya shadow banking yang mulai tidak terkendali. Sementara itu, Amerika Serikat (The Fed) sedang menaikkan suku bunganya dan banyak berharap pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat terus membaik.
Nah, dengan pertumbuhan ekonomi yang masih 5,06% dan diperkirakan akan menjadi 5,3%-5,4%, IHSG yang terus meroket, kondisi perbankan yang masih sound dengan NPL yang masih di bawah 4% dan suku bunga yang terus turun, lalu ekspor yang naik dan cadangan devisa yang memadai, maka sulit untuk mengatakan siklus krisis 10 tahun akan terjadi.
Namun, seperti 1998, siapa yang percaya akan terjadi krisis jika hanya memperhatikan angka-angka statistik? Hal yang sama tetap waspada, terutama soal kelesuan ekonomi yang ditunjukkan oleh tutupnya banyak toko ritel, dan akan terus berlangsung. Tutupnya toko akan membawa dampak pada tenaga kerja dan sektor-sektor lain yang menjadi pemasok.
Transmisi krisis bisa jadi dari kelesuan ekonomi ini dan tanda-tanda itu sudah ada. Inflasi yang rendah itu bisa jadi karena ekonomi yang lesu. Suku bunga yang terus turun, terendah dalam sejarah Indonesia, tapi kredit hanya tumbuh 7,9% dan masyarakat lebih suka menyimpan uangnya di bank. Pemerintah sekarang harus dapat menjawab soal kelesuan ekonomi, apakah ini fakta atau ilusi?(*)
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Infobank.