Ide bunga kredit 7% di Bank Jateng muncul dari kemiskinan di Jateng dan kebakaran Pasar Johar. BPR-BPR di Jateng harus ikut menyesuaikan, suka tidak suka. Merger BPD layak dipertimbangkan.
Jakarta – Bank Jateng mencatatkan rekor nasional sebagai bank umum pemberi kredit usaha dengan suku bunga terendah, yakni 7%, atau 2% lebih rendah dibandingkan dengan suku bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang digagas pemerintah sebesar 9%. Kebijakan fenomenal ini tak lepas dari peran Gubernur Jateng (Jawa Tengah), Ganjar Pranowo, sebagai pemegang saham terbesar Bank Jateng. Apa yang melatarbelakangi munculnya kebijakan tersebut? Seperti apa realisasi kredit dengan plafon Rp25 juta itu? Berikut wawancara Darto Wiryosukarto, Ari Nugroho, Andri Widjanarko, dan Erman Subekti (fotografer) dari Infobank serta Engky Gustafitriaji dari InfobankTV, dengan Ganjar Pranowo, di Jakarta, April lalu. Petikannya:
Jadi, apa latar belakang munculnya kebijakan suku bunga kredit 7% di Bank Jateng?
Ini semua berangkat dari kemiskinan. Kita banyak diskusi tentang kemiskinan, bagaimana ya caranya menyelesaikan kemiskinan itu? Kita rangkum ada tiga poin: knowledge, skill, dan modal. Plus pendamping. Setelah itu, saya ngobrol dengan OJK. Sebenarnya besaran bunga bank siapa sih yang menentukan? Kenapa di China (Tiongkok) bisa 6%, sementara di kita 12% atau 14%? Kenapa angkanya harus segitu?
Anda menemukan jawaban?
Ini terkait dengan cost of fund. Kalau bank BUMN bicara sama pemerintah, kalau bank swasta bicara sama pemilik. Kalau pemiliknya bilang, ‘Sudah enggak usah ngambil keuntungan gede-gede’, ya selesai juga toh? Makanya, terkait dengan cost of fund ini nanti berapa targetnya, dihitung lending-funding-nya cukup, selisihnya jadi keuntungan ‘kan? Dari situ akhirnya OJK bilang, ‘Sebenarnya bisa (bunga diatur)’. Eh, tak lama kemudian, Pak Jokowi bicara soal suku bunga harus single digit. Ini urutannya seperti tangan Tuhan. Wah, single digit berarti bisa dong.
Bisa ketemu angka 7% dari mana?
Sama minta Bank Jateng untuk ngitung, berapa bottom yang bisa. Hitung-hitung akhirnya keluar angka 7%, tanpa provisi, tanpa administrasi, dan biaya-biaya kita hilangkan. Setelah semuanya dihitung, termasuk risikonya, akhirnya kita berani (menetapkan bunga 7%). Begitu ceritanya.
Prosesnya cepat ya, mulai dari muncul ide, bertemu OJK, sampai launching?
Sebenarnya kalau ide sudah lama, sejak jadi gubernur, tapi belum ketemu formulanya. Nah, begitu kita ngobrol sama Bank Jateng, baru ketemu formulanya. Mas Nano (Supriyatno, Direktur Utama Bank Jateng) juga ikut mikir. Ide awalnya, di mana bisa mencari bunga murah? Saya kemudian ke BUMN, tapi mereka maunya hanya CSR (corporate social responsibility). Akhirnya, ketemu semacam KUR daerah, dan kita buat Mitra 25 dengan plafon Rp25 juta.
Ada juga yang plafon Rp2 juta ya?
Itu setelah saya keliling setiap Rabu-Kamis ke Jawa Tengah, ke kabupaten/kota, sering menemukan orang mau usaha awal butuh modal, rata-rata di kisaran Rp500 juta-Rp1 juta. Nah, agar start up business ini bisa mendapat akses permodalan juga, kita buatkan untuk start up maksimum Rp2 juta dengan bunga 2%.
Yang kredit Rp2 juta itu rata-rata belum punya pengalaman, bahkan mungkin belum kenal bank sama sekali?
Bisa jadi. Orang belum kenal bank ‘kan tidak semuanya jelek. Bisa jadi kenal dengan pembinaan, yang kurang bagus jadi baik. Effort yang dikeluarkan lebih tinggi karena ini misi politik. Misi politik untuk menyelesaikan problem kemiskinan dan kemandirian dalam bidang ekonomi.
Ada pendampingan dari bank?
Oh pasti. Tidak hanya pendampingan dari bank, kami juga punya penyuluh. Mau yang nelayan ada, pertanian ada, penyuluh KB, dinas koperasi, dinas perindustrian, pendamping desa. Ini kita arahkan semuanya. Jadi, mereka ini yang di lapangan akan menjadi pendamping. Dan, memang misi yang bunga 2% untuk start up, kita buat longgar dikit. Bahwa nanti ada yang macet, enggak apa-apa. Risiko sudah kita hitung. Harapan kita, agar mereka bisa bersaing dengan bank titil (rentenir). Kalau negara enggak mau ambil risiko, buat apa negara. Ini juga duitnya rakyat kok.
Tidak takut dikemplang membiayai start up?
Saya juga nanya ke Mas Nano, ‘Mas, ini kira-kira akan digigit enggak oleh mereka?’ Mas Nano bilang, kalau ini jadi keputusan, akan luar biasa. Dan, betul. Sejak pertama launching hingga kira-kira dua bulan berjalan, nasabahnya sudah 3.000 lebih.
Dari ide mengatasi kemiskinan justru berpotensi menambah nasabah Bank Jateng ya?
Itu ide pertama. Yang kedua, inspirasi saya di luar kemiskinan ialah terbakarnya Pasar Johar. Waktu Pasar Johar terbakar, saya sebetulnya sedikit marah sama Bank Jateng. Saya baru tahu ternyata nasabah Bank Jateng di Pasar Johar itu hanya sembilan orang. Apa yang bisa kita lakukan? Akhirya kita keluarkan CSR. Kita kasih stimulus per orang Rp3 juta. Kita keluarkan Rp11 miliar bantu mereka. Nah, pada saat itu anak-anak Bank Jateng ternyata smart juga. Dikasihlah bantuan itu dalam bentuk tabungan. Mereka jadi nasabah Bank Jateng.
Saya ngobrol dengan mereka yang rata-rata pedagang kecil dengan modal Rp500.000, dengan penghasilan Rp20.000-Rp30.000 per hari. Dengan itu, mereka bisa survive, mandiri. Wah, ini hebat. Inspirasi dari kemiskinan dan terbakarnya Pasar Johar inilah yang kemudian mendorong tercetusnya formula bunga kredit usaha 7%.
Masih mungkin tidak turun lagi di bawah 7%?
Saya pernah ngomong-ngomong, umpamanya bunganya 6%, bisa atau enggak? Ternyata masih bisa. Kalau saya sebagai pemilik bank, (sebagai gubernur), saya ‘kan pemilik mayoritas, ya sudah enggak apa-apa.
Untuk program ini, mungkin akibatnya setoran enggak terlalu tinggi, enggak apa-apa, maka negara hadir. Kalau dalam sistem kapitalis ya sudah, lu mau mampus ya mampus saja. Bukan urusan saya. Kalau Anda mau, harus ikutin ini. Jaminanmu harus 150%, kalau bisa 200%. Oh, ya sudah ke laut saja. Yang miskin akan miskin. Yang kaya akan kaya. Yang dicolong akan dicolong. ‘Kan gitu.
Ide bunga single digit inline dengan program pemerintah Jokowi. Apakah sebelumnya di internal PDIP sudah ada pembicaraan—sebagai sesama kader PDIP?
Belum. Jadi, betul-betul tumbuh dan tutup begitu saja.
Bagaimana Anda menjelaskan ke bupati/wali kota selaku pemegang saham, yang secara partai dan visi mungkin beda dengan Anda yang dari PDIP?
Kalau kayak begini ‘kan bupati yang lain senang semua. Enggak ada urusan partai. Partai itu ‘kan kadang-kadang soal pride uniform, tapi soal pikiran dan hati belum tentu. Justru, teman-teman beda partai itu semua tanya ke saya, ‘Kalau saya boleh enggak, ‘kan beda partai, Pak?’ Oh, enggak ada urusan partai. Kita urus rakyat sekarang.
Dengan rate kecil, nanti dividen akan kecil dong?
Kenapa harus besar?
Bukannya selama ini dividen menjadi salah satu pos pemasukan bagi daerah?
Oh, iya. ‘Kan salah satu, salah dua, tiga, empat, lima, enamnya ‘kan banyak. Kenapa negara harus mencari untung? Pajak sudah ada kok, kita cari untung. Kita kaya. Duitnya banyak. Tapi, yang miskin siapa yang membantu? Enggak bisa.
Selama ini kredit program potensi lost-nya tinggi karena ada moral hazard bahwa dana yang diberikan merupakan hibah. Bagaimana agar Bank Jateng tidak terjebak ke zona itu?
Para profesional di Bank Jateng saya lelang jabatannya dengan standar yang saya uji lewat orang-orang yang punya kompetensi, juga OJK. Jadi, proses itu saya anggap mereka mengerti soal perbankan dan bisa menghitung risiko. Justru, dulu ketika ada pengalaman-pengalaman seperti itu, kita harus belajar agar tidak terulang. Tapi, negara harus mengintervensi posisi ini. Saya kalau hanya bicara stabilitas, hanya bicara enggak mau rugi, dan kapitalis sistem, tidak akan masuk untuk menolong, dalam terminologi saya, si marhaen ini. Enggak ada yang bisa nolong kalau hanya seperti itu.
Anda begitu yakin tak akan terjadi lagi moral hazard?
Nah, moral hazard ‘kan kita sudah banyak pengalaman. Masak terulang lagi. Itu satu. Kedua, kita lihat Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank yang fokus mengembangkan kredit mikro, juga bisa berjalan. Jadi, bagaimana antarmereka dibangun, hubungan dibangun, awarding-awarding secara sosial dibangun, kultural dibangun. Saya termasuk orang yang percaya dan meyakini itu bisa.
Yang berpotensi terjadi potential lost itu di usaha start up karena mereka belum memiliki pengalaman. Bagaimana untuk menentukan kelayakan nasabah?
Ya, bukan urusan saya itu, urusan perbankan. Saya ‘kan policy-nya saja. Bank ini ‘kan berdiri sudah lama. Kalau orang (nasabah) ini layak atau enggak ‘kan sudah kelihatan. Mau jualan apa, nanti jual di mana, Anda sudah punya pengalaman apa, ini bisa apa enggak?
Dengan bunga sekecil itu, berarti harus mendapatkan sumber dana yang sangat murah. Itu dari mana?
Bank-bank ini ‘kan punya CSR. Kenapa CSR-nya dibuat charity? Kenapa CSR-nya tidak untuk produksi? Ada dana CSR. Saya tidak tahu sumber yang lain yang di sana. Tapi, waktu itu saya sampaikan, berapa CSR yang memungkinkan. Kira-kira kalau Rp50 miliar mungkin enggak sebagai start up-nya.
Dengan bunga single digit, yang akan menjadi korban pertama ialah BPR-BPR yang bunganya rata-rata double digit, bahkan di kisaran 20%. Bagaimana kalau akhirnya BPR di Jateng mati?
Untuk BPR yang punya saya, yang punya kabupaten-provinsi, akan kita satukan menjadi BPR Jateng. BPD akan menjadi apex bank untuk BPR. Sekarang kita kerja sama juga dengan bank BUMN. Maka, kekuatan ini menjadi satu.
Setelah jadi kuat, saya kumpulkan jadi satu agar tidak jadi raja kecil-kecil, maunya sendiri-sendiri. Kita kelompokkan agar kita arahkan fungsinya betul-betul untuk rakyat. Kalau itu bisa dilakukan, lebih banyak lagi yang bisa kita kerjakan dengan itu, maka mereka dipaksa harus menyesuaikan. Maka, biaya-biaya tinggi yang selama ini muncul, harus dibuat efektif. Mohon maaf kalau saya boleh ngomong, kalau biasanya mereka menjadi sapi perah, ya kalau sekarang enggak boleh, harus transparan semuanya. Enggak boleh disentuh. Mari kita melihat dari seluruh bank yang ada, profesional. Jadi, nanti BPR juga harus menyesuaikan, suka atau tidak suka.
Termasuk yang nonpemda?
Iya, namanya juga bersaing. Kalau kamu enggak mau turun, ya nanti kamu kalah. Tapi, kapasitas kami ini enggak gede kok. Saya hitung kalau rata-rata Rp10 miliar per kota, maka kita punya yang Mitra 25 itu hanya Rp350 miliar.
Mimpi Anda ke depan ‘kan program ini akan menjadi besar?
Oh iya. Jadi, dengan 35 juta penduduk yang ada ini (di Jateng), kira-kira kita melihat ada 14% orang miskin atau ada 4 juta orang. Jadi, kalau orang mau ngambil kuenya itu masih banyak banget.
Itu ‘kan bicara merger BPR. Mungkin tidak BPD pun melakukan hal yang sama?
Sangat mungkin, kenapa tidak?
Syaratnya?
Syaratnya, mereka mau dong. Kalau dia enggak mau ‘kan selesai. Kalau niatannya bagus dan kemudian kapitalisasinya menjadi besar, gerakannya nanti akan menjadi lincah, kenapa tidak?
Kalau ada ajakan merger BPD se-Jawa menjadi Bank Jawa, misalnya, berarti Bank Jateng siap?
Ya, siap-siap saja, meskipun mungkin karena misinya lain, tidak semulus jadinya. Umpama BPR-BPR yang kita miliki menjadi satu, tapi di luar itu di kabupaten/kota juga membuat sendiri-sendiri, dia punya misi sendiri-sendiri, ‘kan bisa membuat bank sendiri, di luar BPR kita ‘kan juga punya, boleh saja, enggak apa-apa.
Dalam bayangan Anda, Bank Jateng ke depan akan seperti apa?
Bank Jateng itu akan menjadi the real BPD agent of development.
Konkretnya?
Keberpihakan. Dengan kemiskinan yang masih tinggi, Andalah yang akan menyelesaikan. Asetnya masih gede kok. Terus bagaimana lagi? Kami butuh modal lebih banyak lagi untuk memindahkan BUKU-nya. Kalau kita bisa pindahkan ke BUKU yang lebih baik, maka kita butuh dana. Dana yang besar nanti kita harapkan bisa membiayai program-program yang besar, maka untuk yang kecil kita kasih, untuk yang gede tetap diopeni.
Program-program Anda, khususnya yang kredit 7%, sangat populis. Anda tidak takut ini dituding sedang campaign?
Lo, ini campaign, takut gimana? Ini kampanye. Saya itu, narik napas saja kampanye. Saya berjalan itu sudah kampanye. Sehari setelah saya dilantik, itu saya langsung kampanye.
Untuk siapa?
Saya ‘kan harus menyampaikan ke publik. Politik itu citra. Hanya politisi yang takut dikatakan pencitraan itulah politik yang bingung. Saya enggak takut.
Anda akan “berangkat” ke Jakarta (ikut Pilkada DKI)?
Enggak. Passion saya di Jawa Tengah. (*)