Jakarta – Pemerintah dan DPR diminta bisa melindungi petani tembakau melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan yang kini masih dikaji. Pasalnya, RUU tersebut menjadi pro dan kontra antara pelaku petani dan pembuat regulasi.
Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir mengatakan, berdasarkan analisa ekonomi, tembakau memiliki Nilai Tukar Petani (NTP) yang lebih tinggi dibandingkan dengan tebu. Hal ini menjadi alasan utama mengapa petani tembakau layak diperhatikan.
“Di sisi lain, konsentrasi pemerintah dalam mencapai target penerimaan negara juga perlu dijaga,” ujar Winarno, dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, 15 Juli 2016.
Menurut Winarno, hal lain yang tidak kalah penting untuk diperhatikan dalam isu tembakau adalah tidak mudah melakukan subtitusi tanaman. Bahkan ia pernah membahasnya bersama-sama dengan pemerintah.
“Untuk pindah komoditi (subtitusi) apapun komoditinya, itu susah. Karena ilmu itu turun-menurun. Dia mau pindah susah. Hal ini pernah dibahas. Tidak mudah melaksanakan pergantian komoditi,” tukasnya.
Sebagai petani, Winarno paham betul bahwa pengetahuan petani tembakau rata-rata berasal dari turun temurun. Belum lagi latar belakang pendidikan petani yang sebagian besar masih rendah. Ini butuh pendekatan dan pemahaman yang komprehensif terhadap diri dan dunia tembakau.
“87% latar belakang petani kita SD ke bawah. Jadi perlu tahu karakternya petani. Pemahaman mendalam atas petani,” ucapnya.
Winarno memandang tembakau Indonesia tidak hanya bernilai ekonomis, namun juga sejarah. Oleh sebab itu, industri tembakau layak diperhatikan secara seksama agar pemerintah mampu menghasilkan kebijakan yang mengakomodir kepentingan semua pihak secara berkeadilan.
“Lihat Kuba bagaimana mereka bangga dengan cerutunya. Kita semestinya menghargai sejarah bangsa ini. Petani tembakau punya andil besar dalam perjalanan pembangunan. Tidak banyak negara di mana tanahnya dapat ditanami tembakau. Petani tembakau harus dilindungi,” paparnya.
Sementara terkait dengan desakan Pemerintah Indonesia meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), pihaknya memandang bahwa FCTC justru akan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup petani tembakau.
“FCTC berpotensi membunuh kretek di negeri sendiri dengan melarang penggunaan cengkeh sebagai bahan baku, seperti terjadi di USA dan Brazil. Ujungnya jelas mempengaruhi petani tembakau. Jadi kita menolak FCTC,” jelasnya.
Sebagaimana diketahui, sampai saat ini Pemerintah Indonesia belum meratifikasi FCTC yang diinisiasi oleh World Health Organization (WHO). FCTC diarahkan untuk mengurangi permintaan (demand reduction) yang pada akhirnya akan mempengaruhi produksi rokok secara signifikan baik secara global maupun lokal. Di sisi lain, Indonesia dapat dikatakan memiliki rokok kretek bernilai ekonomis dan sejarah. (*)