Bandung — Di tengah perlambatan ekonomi global Indonesia masih bisa mempertahankan pertumbuhan ekonomi di tahun 2022-2023 di angka 5,17 persen. Stabilitas kinerja sektor pertanian dan perbankan menjadi salah satu kuncinya.
“Pertumbuhan tersebut ditopang oleh pemulihan sektor manufaktur serta stabilitas kinerja sektor pertanian dan sektor perbankan,” ujar Ketua Umum Perbanas Kartika Wirjoatmodjo.
Tiko, sapaan Wamen BUMN itu, menyampaikan hal itu saat memberikan sambutan dalam Media Gathering Perbanas; “Memperkuat ketahanan Domestik di Tengah Perlambatan Ekonomi Global” di Mason Pine Hotel, Padalarang, Bandung Barat, Kamis, 23 November 2023.
Baca juga: Bos BI: Likuiditas Perekonomian dan Perbankan Terjaga, Ini Buktinya
Menurut Tiko, sektor pertanian sebagai salah satu leading sektor berhasil mencatatkan pertumbuhan positif setiap tahunnya, di mana pada tahun 2022 mencapai 2,25 persen. Resiliensi sektor pertanian menunjukkan kekuatan sektor ini dalam menopang perekonomian Indonesia.
“Makanya, kita harus lebih mendorong kinerja sektor ini melalui hilirisasi industri untuk menciptakan value added dan juga value-added capture yang dapat meningkatkan nilai hasil tani dan perekonomian Indonesia secara umum,” katanya.
Selain itu, kata dia, pertumbuhan ekonomi juga didukung oleh kinerja sektor perbankan pada 2022-2023 yang stabil. Tercatat, rasio kecukupan modal (CAR) di level 27,6 persen, NPL bruto turun ke level 2.3 persen, dan pertumbuhan kredit mencapai 7,76 persen . Bank Indonesia memperkirakan kredit perbankan akan tetap tumbuh positif pada tahun 2024 sekitar 8 -11 persen.
Tiko mengingatkan perlunya waspada dengan tingginya suku bunga acuan Bank Sentral Amerika (The Fed) yang menyebabkan nilai tukar rupiah terdepresiasi selama tahun 2023. Sebab, apabila kondisi ini terus berlanjut akan berpotensi peningkatan risiko valas dan instabilitas sistem keuangan nasional yang dapat membuat pelemahan ekonomi Indonesia,” jelasnya.
Selain dua sektor itu, lanjut Tiko, pada tahun 2024 Indonesia mulai memasuki pesta demokrasi yang dapat mepengaruhi risk appetite investor dan pelaku usaha karena sebagian akan cenderung wait and see sampai ada kepastian hasil kontestasi politik dan perubahan yang ditimbulkannya.
Menurut Tiko, perlambatan ekonomi global antara lain karena adanya pengetatan kebijakan moneter terus berlanjut sebagai respon terhadap inflasi, penyaluran kredit yang diperketat, dan meningkatnya tensi geopolitik yang terjadi akhir-akhir ini.
Baca juga: Gak Main-Main, Segini Hitung-Hitungan Dampak Perlambatan Ekonomi China Terhadap RI
“Ketidakpastian ekonomi global juga tercermin dari adanya perbedaan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang dikeluarkan oleh organisasi internasional yaitu The International Monetary Fund (IMF) dan World Bank,” kata Tiko.
IMF, kata dia, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global sebesar 3 perbankan pada tahun 2023 dan 2,9 perbankan pada tahun 2024. Hal itu disebabkan karena risiko ekonomi dan geopolitik di tahun 2024 akan terus bertanjut dan lebih buruk dibanding 2023, sehingga menghambat laju ekonomi.
Di sisi lain, lanjut dia, World Bank memproyeksikan sebaliknya, bahwa GDP global tahun 2024 (2,4 persen) lebih besar dibandingkan tahun 2023 (2,1 persen). Pandangan positif terhadap ekonomi 2024 tersebut sejalan dengan normalisasi suku bunga dan inflasi di tahun depan. (*) DW