Jakarta – Rancangan Undang-undang (RUU) Tax Amnesty hingga kini masih molor alias tak kunjung disahkan oleh parlemen. Hal ini mengundang banyak tanya ditengah masyarakat.
Ketua HIPMI Tax Center, Ajib Hamdani mengatakan bahwa kita perlu jembatan penyelesaian masa lalu, Tax Amnesty. “Tax Amnestyharus bersifat jangka panjang jadi visi ke depannya jelas,” ujar Ajib di Jakarta, Kamis 2 Juni 2016.
Pakar Perpajakan Indonesia itu berpandangan agar aturan itu tak hanya terfokus repatriasi saja. Padahal cakupannya bisa diperluas.
“Tadinya kebanyakan isu yang berkembang mikir repatriasi modal saja. Padahal scope itu bisa lebih luas,” ucapnya.
Dirinya mencontoh, semisal ada pebisnis komoditi Batubara dan saat harganya bagus dia mengekspor 1000 ton. Sementara saat uang masuk ditaruh ke luar negeri karena aturan dan fasilitasnya lebih menarik. Sebaliknya aturan di Indonesia banyak aturan yang tak bisnis friendly, sehingga likuiditasnya rendah.
“Ada beragam contoh soal kasus pajak, misal waktu pendirian PT sekaligus daftar PKP, tapi tidak tahu kewajiban yang melekat dengan status PKP, sehingga di kemudian hari terkena denda-denda yang dia bahkan ga ngerti, ada juga kasus pembelian PT ternyata setelah jual beli selesai muncul tagihan pajak akibat praktek bisnis pemilik sebelumnya, yang tidak masuk dalam perhitungan saat transaksi jual beli dilakukan” paparnya.
Ketua BPP HIPMI Bidang SDA, Andhika Anindyaguna menyatakan mendukung Tax Amnesty asal bisa dimanfaatkan yang tak hanya untuk pebisnis, tetapi juga masyarakat lain juga bisa berperan untuk melaporkan asetnya. Pajak yang bisa terhimpun harapannya bisa digunakan pemenuhan likuiditas dan intermediasi lembaga keuangan lewat kredit serta mampu menekan bunga kredit.
“Bunga kredit Indonesia termasuk salah satu tertinggi di dunia. Sehingga saat dana masuk lewat tax amnesty minta suku bunga tinggi dan ini harus mendapatkan perhatian perbankan. Jadi, gimana caranya dana masuk itu bisa turunkan suku bunga,” ujarnya.(*)