Oleh Eko B. Supriyanto, Pimpinan Redaksi Infobank Media Group
KASUS penarikan kendaraan artis selegram oleh debt collector menyita perhatian publik. Selain kasus Mario, anak sang pegawai pajak yang menyiksa David dengan sadisnya masih hangat, kasus debt collector pun masih tetap memanas. Media social membuat viral sepotong kekasaran debt collector dalam menarik kendaraan. Seolah-olah semua debt collector itu “brutal”. Padahal terkadang debitur macet itu yang tak rela kendaraannya ditarik tidak bersikap kooperatif. Dan, banyak kasus kendaraan sudah pindah tangan di bawah tangan.
Juga, pernyataan dari beberapa pejabat penegak hukum. Padahal, debt collector itu penting dan menjadi ekosistem industri multifinance. Bayangkan, jika para debitur macet dan tidak mau menyerahkan kendaraannya. Yang terjadi multifinance tidak bisa memberikan pembiayaan kembali, karena bisa jadi multifinance akan menjadi debitur macet dari bank yang memberikan pinjaman. Remuk.
Remuk efek berantainya. Industri otomotif pun juga akan terganggu. Penjualan kendaraan menurun, dan tentu pajak juga akan terganggu. Semua ini akan mengganggu ekosistem perekonomian. Bahwa harus diakui, dalam kasus penarikan kendaraan Alphard atas debitur Dona Maradona (BPKB atas nama Perusahaan Terbatas) oleh debt collector dari NSC Finance, salah prosedur. Namun peran debt collector tetap penting bagi ekosistem multifinance.
Di mana-mana utang harus dibayar. Apakah utang dari tetangga, apalagi dari multifinance atau bank, atau dari pinjaman online. Prinsipnya utang harus dibayar. Kasus Dona Maradona tidak melaksanakan kewajiban pembayaran. Dona Maradona hanya menjalankan kewajibannya sebanyak 13 kali dari tenor 48 bulan. Pembayaran terakhir tercatat pada tanggal 24 Desember 2022.
Menurut keterangan NSC Finance, pihaknya sudah melakukan kunjungan, dan pemberian surat peringatan sampai tiga kali kepada Dona Maradona sebagai debitur. Namun Dona Maradona belum juga memenuhi kewajiban tertunggaknya. Tanggal 4 Februari 2023, NSC Finance memberikan kuasa eksekusi kepada PT Lombok Nusantara Indonesia.
Dan, ternyata kendaraan ada di tangan Clara Shinta. Bukan di tangan Dona Maradona. Entah bagaimana ceritanya, kok kendaraan ada di tangan Clara Shinta. Setelah dilakukan negoisasi pihak Clara Shinta telah melunasi kewajiban (13 Februari 2023) atas nama Dona Maradona. Jujur dari sini sudah tidak lazim. Dona yang berutang yang melunasi Clara Shinta. Pindah tangan di bawah tangan kewajiban juga tidak dibenarkan selain atas izin multifinnace.
Tidak hanya itu yang tidak lazim. Debt Collector yang melakukan negoisasi penarikan kendaraan itu juga tidak lazim. Model keroyokan, dan kabarnya sampai puluhan orang sambil memaki-maki polisi itu tidak benar. Jika melihat video yang viral para penagih utang itu tidak sopan terhadap petugas.
Di sinilah awalnya, sehingga mengaburkan kasusnya utang piutang sendiri. Bahkan, Kapolda Metro Jaya dalam video yang viral tidak akan menteleransi debt collector bak “preman-preman”. Hal itu tidak salah. Bahwa debt collector atas nama PT Lombok Nusantara Indonesia itu oknum dan menyalahi prosedur. Sementara masih banyak debt collector yang menagih dengan sopan, dan setiap hari terjadi dengan aman dan baik.
Hari-hari ini Debt Collector telah digambarkan sebagai sosok yang menakutkan. Bahkan, Kapolda Metro Jaya pun menjadikan debt collector sebagai profesi yang harus ditumpas. Premanisme debt collector harus ditumpas habis. Sudah meresahkan masyarakat Jakarta. Sebelumnya, tahun 2021 Pangdam Jaya juga menyatakan demikian. Juga, sebelumnya di tahun tang sama, para Gubernur di beberapa daerah juga mengibarkan bendarang perang terhadap debt collector, seperti Gubernur Jawa Tengah, Jawa Timur.
Di daerah-daerah keberadaan debt collector juga menjadi bulan-bulanan masyarakat. Bahkan, ada banyak debt collector yang nyawanya melayang akibat disiksa masyarakat. Padahal, keberadaan debt collector merupakan bagian dari ekosistem indutri multifinance. Juga, industri perbankan. Bayangkan, jika keberadaan tukang tagih ini tidak ada, maka leasing yang sebagian besar menggunakan uang bank akan remuk.
Tapi benar ada ekses dalam eksekusi jaminan. Industri multifinance (leasing) menggunakan jasa pihak ketiga untuk menarik kendaraan bermotor (roda dua dan empat) tentu ingin segera motornya kembali, setelah debitur macet. Perusahaan leasing punya cara untuk menyelesaikan ini.
Tapi entah kenapa ketika mengeksekusi kendaraan atas pinjaman Dona Maradona kendaraan dikuasai oleh Clara Shinta ini menjadi ribut dan heboh? Mengapa kok kendaraan ada di tangan Clara Shinta, sementara yang berhutang Dona Maradona. Lebih aneh bin bingung lagi — yang berutang Dona kok yang melunasi Clara Shinta. Apa urusannya? Apakah ini kasusnya menyangkut selegram? Atau, ada cerita lain? Banyak pertanyaan. Entahlah, yang pasti sejujurnya debt collector itu menjadi bagian penting dari penyehatan industri multifinance.
Kasus yang terjadi pada Clara Shinta – dimana ada penarikan paksa kendaraan yang oleh debt collector. Viral. Peristiwa itu jujur saja bukan cerminan dari industri leasing atau multifinance di Indonesia. Itu hanya ekses, karena tiap hari leasing melakukan eksekusi terhadap debitur yang macet. Penarikan kendaraan biasa terjadi. Dan, kalau tidak mau ditagih ya harus melunasi kewajibannya. Jika belum punya uang bisa kooperatif.
Bayangkan, jika kendaraan yang macet, dan tidak segera ditarik akan menurunkan nilai kendaraan (depresiasi). Berbeda dengan jaminan tanah dan bangunan yang nilainya naik setiap tahun (apresiasi). Wajar saja multifinance segera jaminannya dapat ditarik. Itu karena jaminan berupa kendaraan yang asetnya terus turun.
Tidak Sedikit pula Debitur yang “Sontoloyo”.
Tidak sedikit debitur macet yang nakal agar kendaraan bermotornya tidak ditarik. Tidak sedikit pula debitur yang “sontoloyo”. Tidak mau membayar, tapi lebih galak dari yang menagih, dan tak jarang mengeroyok penagih utang. Padahal ketika meminjam datang baik-baik, dan segera ingin disetujui pinjamannya.
Menurut catatan Infobank Institute, berikut jenis jenis debitu yang macet. Satu, kendaraannya ada, tapi debiturnya sudah tidak ada. Dua, debiturnya ada, tapi kendaraannya sudah tidak ada – sudah pindah tangan, dijual atau digadaikan. Ketiga, kendaraannya tidak ada dan nasabahnya sulit ditemukan. Empat, kendaraan ada dan debitunya ada, tapi dijamin oleh “preman” yang berkedok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Jujur saja melihat debt collector harus jernih dan proposional melihatnya. Bagaimana pun utang harus dibayar. Menurut Undang-Undang Fiducia – yang kemudian masuk dalam UU P2SK Nomer 4 Tahun 2023 — kendaraan yang belum lunas itu masih dimiliki oleh perusahaan leasing. Pasal 119 disebutkan,”Sertifikat jaminan fidusia yang diterima oleh penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan sebagai jaminan dalam rangka pemenuhan kewajiban konsumen”.
Jadi, jika debt collector dilarang beroperasi atau diancam, maka pada akhirnya akan menimbulkan dampak buruk juga bagi debitur. Akibatnya, jika debitur tak bayar utang, maka seumur hidup debitur yang menunggak itu akan masuk daftar hitam. Seumur hidup pula tidak akan bisa mendapatkan pinjaman lagi, baik dari bank maupun leasing. Baik buat KPR maupun kredit apa saja. Jadi, ajakan mengajak untuk memerangi tukang tagih bisa jadi sama saja mengajak masyakarat untuk tidak membayar kewajibannya – dalam pespektif jangka panjang juga akan menyulitkan diri sendiri.
Benar. Gerakan memerangi debt collector itu seperti mengajarkan ke masyarakat untuk ngemplang utang. Bahwa, ada debt collector yang salah prosedur itu yang harus ditindak. Kasus pada Clara Shinta bisa jadi hanya salah prosedur, dan harus ditindak sesuai hukum. Jika temen-teman dari debt collector yang diberi kuasa NSC Finance duduk-duduk manis dan tidak “resek”, maka urusannya lancar-lancar saja. Tapi, keberadaan debt collector itu penting bagi ekosistem multifinance. Bahkan, menurut catatan Infobank Institute mayoritas (95%) tidak ada ekses negative dengan debt collector ini.
Industri multifinance yang tahun 2022 yang jumlahnya 153 perusaaan ini sudah mulai bangkit. Pembiayaan multifinance sudah membaik mencapai Rp420 triliun dari tahun 2021 yang mencapai Rp364 triliun. Tahun 2023 ini, seperti diperkirakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sejalan meningkatnya mobilitas masyarakat, perusahaan pembiayaan diperkirakan akan tumbuh sekitar 13-15%. Bisa jadi angka pembiayaan akan mendekati angka Rp475-500 triliun.
Apalagi multifinance juga lekat dengan industri otomotif yang menyerap tenaga kerja dengan multi efek ekonomi yang besar. Kontribusi pembayaran pajak juga tidak kecil dari sektor otomotif ini. Sektor perbankan menjadi mother bagi industri multifinance. Juga, multifinance tempat tumbuh subur perusahaan asuransi. Jika satu bagian — yaitu credit collection support seperti debt collector ini diperangi, maka akan terjadi kegoncangan dalam industri multifinance yang tentu dampak ekonominya besar. Banyak yang menggantungkan hidupnya dari industri multifinance.
Untuk itu – jangan ada dusta diantara kita. Mari kita sama-sama mendudukan kembali posisi debt collector sebagai ekosistem keuangan. Dan, debt collector itu merupakan profesi sebagai credit collection support. Tanpa profesi debt recovery ini tidak bisa dibayangkan tumpukan kredit macet perusahaan multifinance. Bisa jadi multifinance akan menjadi peternakan kredit macet — yang jujur akan membahayakan perekonomian, dan terutama bank sebagai sumber dananya.
Kita luruskan debt collector yang tidak punya sertifikasi. Yuk! Kita bereskan mereka yang ugal-ugalan seperti “preman”. Jadi, debt collector yang illegal atau “salah prosedur” itu hanya kasus per kasus. Kita bereskan, dan pihak berwajib sudah membereskan personil debt collector kasus Clara Shinta.
Semua baik baik saja. Ini sama halnya tidak semua polisi seperti Ferdy Sambo. Atau, tidak semua anak pejabat pajak seperti Mario. Harus dilihat kasus per kasus. Harus proposional dan jernih menyikapi. Sebaiknya dibereskan saja debt collector yang brutal, tapi yang namanya utang harus dibayar.
Sekali lagi — jangan sampai perang melawan debt collector yang dilakukan para pejabat ini diterjemahkan seperti mengajarkan masyarakat untuk tidak membayar utang. Atau, seperti membekingi masyarakat untuk tidak membayar pinjaman, alias ngemplang. Padahal, utang harus dibayar, bos! Ingat duit multifinance itu duit bank, dan uang bank itu uang masyarakat juga. Bukan hibah dari Nabi Soelaman yang tidak harus dikembalikan. Jadi, jangan ngemplang dan tidak kooperatif, ya!