Oleh Laura Valentine, Area Manager di Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI)
SUATU hari, seorang pekerja muda di suatu perusahaan datang menemui atasannya dan mengajukan surat pengunduran diri. Sontak sang atasan kaget. Alasan pengunduran diri adalah burnout pekerjaan. Tidak lama kemudian, rekannya menyusul melakukan hal yang sama. Alasannya lingkungan kerja yang toksik. Disusul rekan lainnya dengan alasan benefit kerja yang tidak memuaskan.
Kepanikan terjadi karena surat pengunduran diri berasal dari para talenta muda, dan di tengah situasi bisnis yang belum juga kembali normal. Perusahaan pun segera melakukan review dan tambal sulam di berbagai aspek menutupi kegoyahan yang terjadi. Apakah Anda familier dengan kondisi tersebut?
Sebuah tren sosial yang terjadi sejak awal 2021 ini dinamakan The Great Resignation atau The Big Quit. Sebuah istilah yang dicetuskan oleh Anthony Klotz, associate professor of management di Texas A&M University, Amerika Serikat (AS).
Mulanya hal itu terjadi di AS, di mana 24 juta pekerja memilih untuk keluar secara sukarela (bukan pemutusan hubungan kerja) dari pekerjaannya pada 2021, dan itu menjadi rekor baru dalam sejarah. Angka itu terus berlanjut secara global, hingga awal 2022 tercatat 4,5 juta pekerja lainnya menyusul keluar dari pekerjaan mereka.
Berbagai literatur mencoba menelusuri mengapa di tengah situasi ekonomi yang belum stabil ada begitu banyak orang justru memilih meninggalkan pekerjaannya. Beberapa alasan antara lain ketidakpuasan terhadap kebijakan perusahaan, gaji yang kurang kompetitif, ketidakjelasan tugas dan tanggung jawab, serta keengganan untuk mengikuti kewajiban kembali work from office (WFO).
Namun, yang menarik adalah sebuah benang merah didapati bahwa penyebab terbesar adalah para pekerja memilih untuk mengedepankan kesehatan mental dibandingkan dengan semua benefit yang diterima dengan bekerja, termasuk penghasilan tetap.
Tidak sampai di situ, sebuah survei yang dilakukan oleh Michael Page menyebutkan, sebanyak 74% pekerja di Asia Pasifik berencana untuk mengundurkan diri di 2022 ini. Indonesia menjadi negara kedua tertinggi pada survei tersebut, di mana 84% pekerja berencana untuk melakukan resign dalam enam bulan ke depan. Tidak terlalu jauh dengan posisi pertama India sebanyak 86%.
Secara level pekerjaan, para pekerja tingkat pemula mendominasi sebanyak 81%, disusul manajer sebanyak 78%, dan manajer senior sebanyak 76%. Sedangkan berdasarkan generasi, Gen Z mendominasi sebanyak 76%, disusul milenial dan Gen X sebanyak 74%.
Menyikapi fenomena ini, mari kita tarik beberapa kesimpulan. Pertama, pekerja tidak melulu mementingkan salary sebagai faktor kunci. Menilik secara spesifik, angka turnover pegawai jasa keuangan dan asuransi di Indonesia diperkirakan cukup tinggi.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah pegawai menurun rata-rata sebesar 5,6% per tahun sejak 2019. Kontradiktif dengan data lain yang menunjukkan bahwa industri keuangan dan asuransi justru memiliki rate salary tertinggi dibanding 16 kelompok industri lainnya (seperti pertambangan, pendidikan, pertanian, dan lainnya), yakni sebesar Rp4.143.542 per bulan nett. Hal ini perlu menjadi warning bagi industri keuangan dan asuransi.
Kedua, berhentilah berpikir bahwa kita dapat dengan mudah mengganti posisi pekerja kita dengan pekerja berkualitas baik, dengan investasi seminimnya. Terlebih jika posisi tersebut sudah pada level menengah ke atas.
Umumnya kita bisa melakukan kegiatan head hunter dan pro-hire, namun tentu tidak murah dan tidak ada kepastian berhasil pada kandidat pertama. Perusahaan perlu waktu untuk menyesuaikan para pekerja baru dengan nilai-nilai, lingkungan, tugas, tanggung jawab yang ada.
Itu pun jika cocok. Jika tidak, bayangkan lingkungan sekitar yang terbebani pekerjaan tambahan, kemudian burnout dan akhirnya ikut memilih keluar dari perusahaan. Sebuah siklus yang terus berlanjut bahkan melebar, di mana secara jangka panjang dapat mengganggu kesinambungan succession plan perusahaan.
Ketiga, perubahan kecil yang berdampak sangat diperlukan. Sebuah keuntungan bagi perusahaan bahwa perusahaan dapat bersaing dengan memberikan pilihan benefit non-salary yang tidak memerlukan investasi besar.
Dalam kegiatan Indonesia HR Summit 2022 yang diselenggarakan oleh SKK Migas di Bali, berbagai perusahaan besar seperti Pertamina Hulu Energy, East Asia Google, PT Microsoft Indonesia, Bank Mandiri, Danone, Mercer dan lainnya memberikan sharing bagaimana pola talent retention dikemas saat ini.
Beberapa perusahaan melanjutkan fleksibilitas work from anywhere (WFA), beberapa perusahaan lainnya meningkatkan aktivitas klub hobi dan minat, meningkatkan program ide inovasi, memberikan wadah konsultasi gratis dengan psikolog, dan sebagainya. Tidak besar, namun berdampak.
Menjaga kadar employee engagement saat ini menjadi tantangan besar bagi industri jasa keuangan. Perusahaan dapat melakukan pengukuran dengan berbagai parameter, salah satunya dengan melakukan survei Total Engagement Assessment Model (TEAM), di mana parameter yang diukur terdiri atas CORE (Collective Organization for Real Engagement), SELF (Heart, Mind & Soul), dan GROUP (Think, Feel, Do).
Beberapa bank seperti BRI, Bank Jago, BCA, Bank CIMB Niaga, Commonwealth Bank, dan Maybank mendapatkan penghargaan Best Companies to Work for in Asia versi HC Asia tahun 2022, dengan parameter employee engagement dan excellence workplace culture. Hal ini tentu dapat juga menjadi inspirasi bagi perusahaan lainnya untuk melakukan refocusing target pengelolaan sumber daya manusia yang ada saat ini, dengan menciptakan suasana kerja yang mendukung penguatan employee engagement.
Fenomena The Great Resignation mungkin lambat laun akan menjadi hal yang biasa. Pekerja akan dengan mudah berpindah antarperusahaan. Namun, menjadi perusahaan dengan value proposition yang baik dan kuat sudah pasti akan memberikan bargaining power yang kuat untuk mendapat talenta terbaik di bursa pekerja.
Pilihan setiap pegawai memang berbeda, namun harus menjadi peringatan besar bagi perusahaan jika para pekerja memilih berhenti dikarenakan faktor internal perusahaan.
Mendengarkan, mengevaluasi, dan memperbaiki adalah metode klasik namun ampuh untuk dilakukan. Semoga semangat continuous improvement menjadi kunci kita menghadapi fenomena The Great Resignation ini, terutama bagi industri keuangan yang merupakan industri strategis dan vital bagi pembangunan ekonomi di Indonesia. (*)