Ini Empat Rekomendasi IFSOC Untuk RUU PPSK

Ini Empat Rekomendasi IFSOC Untuk RUU PPSK

Jakarta – Indonesia Fintech Society (IFSOC) menyambut positif reformasi di sektor keuangan dengan bergulirnya Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK). Reformasi sektor keuangan diperlukan untuk meningkatkan kapasitas klaster fintech yang semakin berkontribusi pada perekonomian nasional.

Rudiantara, Ketua Steering Committee IFSOC, memaparkan bahwa diperlukan instrumen hukum yang relevan untuk memenuhi kebutuhan sektor keuangan saat ini, salah satunya merespon perkembangan teknologi. Semakin melebarnya jarak antara inklusi dan literasi keuangan menjadi tantangan dalam pengembangan sektor keuangan kedepan. Indeks inklusi keuangan di Indonesia juga masih relatif rendah apabila dibandingkan dengan negara-negara berpendapatan rendah, dan rata-rata dunia.

“Akibat ketiadaan rujukan yang berkaitan dengan pengembangan teknologi, sehingga ketika menjalankan layanan fintech kadang tergagap-gagap. Kemudian, adanya gap antara inklusi dan literasi keuangan. Artinya, banyak orang menggunakan fintech belum memahi risikonya,” katanya, Jumat, 28 Oktober 2022.

Rudi menambahkan, khususnya di sektor fintech, RUU PPSK dibutuhkan sebagai payung hukum pengembangan dan penguatan sektor keuangan digital yang lebih adaptif. RUU PPSK harus ditujukan untuk memperkecil jurang antara tingkat inklusi dan literasi keuangan yang saat ini semakin melebar, serta diarahkan untuk memperkuat aspek perlindungan konsumen. Di sisi lain, jumlah penyelenggara fintech di Indonesia terus bertambah. Manfaat fintech juga semakin meluas. Sebagai contoh dalam memperluas akses kredit dilihat dari tingkat penyaluran fintech lending yang telah mencapai Rp 436,12 triliun dengan nilai outstanding pinjaman Rp 47,23 triliun hingga Agustus 2022.

Sementara itu, terkait ruang lingkup Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK) dalam RUU PPSK, Tirta Segara, Steering Committee IFSOC, menjelaskan pentingnya pengaturan berbasis aktivitas dalam untuk menghilangkan sekat-sekat regulasi, dan menciptakan ekosistem fintech yang integratif. Menurutnya, rezim pengaturan secara kelembagaan kurang fleksibel dengan perkembangan fintech yang saat ini berkembang secara pesat. Pengaturan berbasis aktivitas dibutuhkan agar proses perizinan ITSK juga dapat agile mengikuti perkembangan industri sektor keuangan dan mengedepankan prinsip same risk, same regulation, dan hal ini membantu tercapainya keseimbangan antara inovasi dan perlindungan konsumen.

“RUU PPSK sebaiknya diarahkan untuk menciptakan ekosistem yang dapat meningkatkan kolaborasi dengan menghadirkan interkonektivitas dalam seluruh sektor keuangan. Sebagai contoh dalam hal pendalaman peran fintech dalam aktivitas penyaluran bantuan sosial,” ujarnya.

Tirta juga menyoroti perlunya kejelasan definisi dan pengaturan aset kripto di dalam RUU PPSK. Itu sebabnya, RUU PPSK ini diharapkan dapat memperluas cakupan aset kripto menjadi aset digital dan difokuskan pada pemanfaatannya yang terbatas pada sektor keuangan. RUU PPSK juga sebaiknya dapat memberikan batasan-batasan yang jelas antara aset digital yang dikategorikan dalam sektor keuangan dan non-keuangan untuk memperjelas kerangka koordinasi dan pengawasan kedepannya. Dalam mendefinisikan aset digital, dapat dipertimbangkan dengan risk-based approach guna melindungi konsumen dengan memberikan informasi risiko yang ada dalam aset digital tertentu.

Kemudian, Agustinus Prasetyantoko, Steering Committee IFSOC, juga menyoroti pentingnya aspek kelembagaan dalam RUU PPSK, menjelaskan bahwa pengelolaan fintech kedepan akan sangat berhubungan dengan penguatan otoritas-otoritas dan tata kelola di sektor keuangan. Dalam rangka pengembangan ITSK, independensi otoritas sektor keuangan, meliputi BI, OJK, dan LPS, harus dijamin di RUU PPSK untuk menjaga kepercayaan seluruh pemangku kepentingan.

“Diperlukan pengaturan yang tegas untuk menghindari hal-hal yang dapat mengganggu kinerja dan profesionalisme otoritas sektor keuangan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. RUU PPSK juga harus memastikan prinsip check and balance berjalan dengan baik di antara eksekutif dan legislatif dalam proses pemilihan dan penentuan pimpinan otoritas sektor keuangan,” ujar Agustinus, Jumat, 28 Oktober 2022.

Berikut ini poin-poin permasalahan dan rekomendasi yang diberikan oleh IFSOC, antara lain:

Rekomendasi 1: Urgensi Pembahasan RUU PPSK
Permasalahan: Undang-undang dalam sektor keuangan sudah kurang relevan dalam merespon perkembangan teknologi yang pesat. Beberapa Undang Undang Sektor Keuangan tersebut, diantaranya UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (sebagaimana diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1999), UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 6 Tahun 2009), UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, dan sebagainya.

Maka, diperlukan percepatan pembahasan dan pengesahan RUU PPSK dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. Khususnya di sektor fintech, RUU PPSK dibutuhkan sebagai payung hukum pengembangan dan penguatan sektor keuangan digital yang lebih adaptif. RUU PPSK harus diarahkan untuk mengecilkan gap inklusi dan literasi keuangan, serta diarahkan untuk memperkuat aspek perlindungan konsumen.

Rekomendasi 2: Inovasi Teknologi Sektor Keuangan – Pengaturan Berbasis Aktivitas
Permasalahan: Pendekatan secara kelembagaan (entity based) kurang fleksibel terhadap perkembangan inovasi yang cepat dan juga menimbulkan sekat-sekat regulasi dan menciptakan inefisiensi di tengah pesatnya perkembangan teknologi.

Diperlukan pengaturan berbasis aktivitas agar proses perizinan ITSK juga dapat agile mengikuti perkembangan industri sektor keuangan dan mengedepankan prinsip “same risk, same regulation”. Sebagai contoh, robo advisor yang saat ini marak digunakan sebagai pendukung dalam platform investasi belum diatur secara khusus. RUU PPSK sebaiknya diarahkan untuk menciptakan ekosistem yang dapat meningkatkan kolaborasi dengan menghadirkan interkonektivitas dalam seluruh sektor keuangan. Sebagai contoh dalam hal pendalaman peran fintech dalam aktivitas penyaluran bantuan sosial.

Rekomendasi 3: Inovasi Teknologi Sektor Keuangan – Aset Kripto
Permasalahan: Diperlukan kejelasan definisi dan pengaturan aset kripto yang sering menimbulkan permasalahan pada aspek perlindungan konsumen. Sementara, nilai transaksi aset kripto mencapai Rp20 triliun pada Juni 2022.

RUU PPSK diharapkan dapat memperluas cakupan aset kripto menjadi aset digital dan difokuskan pada pemanfaatannya yang terbatas pada sektor keuangan. RUU PPSK sebaiknya dapat memberikan batasan-batasan yang jelas antara aset digital yang dikategorikan dalam sektor keuangan dan non-keuangan. Dalam mendefinisikan aset digital, dapat dipertimbangkan untuk melakukan pengkategorian dengan risk-based approach

Rekomendasi 4: Independensi Otoritas Sektor Keuangan
Permasalahan: Penguatan sektor keuangan akan berhubungan dengan penguatan otoritas-otoritas di sektor keuangan. Dibutuhkan juga penguatan tata kelola dalam mendukung pengembangan fintech untuk tetap menjaga kepercayaan seluruh pemangku kepentingan di sektor keuangan.

Dalam rangka pengembangan ITSK, independensi otoritas sektor keuangan, meliputi BI, OJK, dan LPS, harus dijamin di RUU PPSK untuk menjaga kepercayaan seluruh pemangku kepentingan di sektor keuangan. Hal-hal yang dapat mengganggu kinerja dan profesionalisme Gubernur Bank Indonesia dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya harus diatur secara tegas. RUU PPSK harus memastikan prinsip check and balance berjalan dengan baik di antara eksekutif dan legislatif dalam proses pemilihan dan penentuan pimpinan OJK dan LPS. (*) Ayu Utami

Related Posts

News Update

Top News