BANK Sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve, atau lebih dikenal dengan sebutan The Fed, baru saja menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin (bps). Sebuah langkah dan kebijakan yang sebenarnya tidak mengagetkan, lantaran sudah sesuai dengan prediksi banyak pihak, bahwa menaikkan suku bunga secara agresif menjadi jurus yang dianggap paling ampuh dalam menekan lonjakan inflasi yang cukup menggila di negeri adi daya tersebut.
Namun, tak seperti pemikiran kebanyakan, jurus menaikkan suku bunga rupanya bukan menjadi pilihan utama bagi sebagian negara untuk menjinakkan kenaikan inflasi di wilayahnya. Sebut saja di Turki, di mana Presiden Recep Tayyip Erdogan justru kukuh memangkas suku bunga saat inflasi di negaranya melambung tinggi. Atau juga Indonesia, yang hingga saat ini Bank Sentral-nya masih tetap percaya diri menahan bunga acuan, meski tren inflasinya mulai merangkak naik.
Negara lain yang juga terlihat menghindari opsi menaikkan bunga acuan guna melawan peningkatan inflasi adalah Singapura. Bahkan, kebijakan pengetatan moneter di Negara Kota itu dinilai unik dan cukup diminati oleh negara-negara lain guna menjual obligasinya di sana. Ketimbang menaikkan suku bunga, Singapura memilih mengelola nilai tukar mata uangnya lewat kebijakan yang disebut Singapore Dollar Nominal Effective Exchange Rate (S$NEER).
Langkah ini dipilih lantaran Singapura merupakan negara kecil namun dengan perekonomian yang terbuka, sehingga ekspor bruto serta impor barang dan jasanya lebih dari 300 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang dimiliki. Bahkan, hampir 40 sen dari setiap nilai Dolar Singapura yang dibelanjakan di dalam negeri, digunakan untuk impor. Dengan kondisi tersebut, posisi nilai tukar Dolar Singapura memiliki peran yang sangat strategis dan pengaruh yang jauh lebih kuat terhadap inflasi.
Melalui kebijakan S$NEER yang mengatur posisi nilai tukar, Singapura secara langsung dan tidak langsung dapat mengatur berbagai harga di pasar, seperti ekspor-impor, upah dan sewa, harga konsumen dan beragam harga lainnya. Dari sanalah, Singapura mencoba mengendalikan pergerakan inflasinya.
Cara Kerja
S$NEER bekerja dengan menempatkan kondisi moneter layaknya sebuah pita dengan masing-masing sisinya adalah batas atas dan batas bawah nilai tukar Dolar Singapura yang dikehendaki, dengan garis tengah merupakan batas keseimbangan yang bakal menjadi dasar kebijakan moneter yang diambil. Kebijakan ini memiliki tiga alat (tools) pengaturan, yaitu segi kemiringan (slope), lebar (width) dan titik tengah (centre) nya. Melalui tiga tools tersebut, Singapura berupaya mengintervensi nilai tukar Dolar Singapura sehingga dapat berada di rentang harga yang diinginkan, sesuai dengan kebutuhan dan kondisi saat itu.
Lewat tingkat kemiringan (slope), misalnya, Singapura bakal mempertajam tingkat kemiringan pita ketika posisi inflasi di pasar dinilai sudah cukup tinggi. Dengan tinggi kemiringan pita yang tajam, maka akan mendorong nilai tukar Dolar Singapura terapresiasi dengan lebih cepat. Dengan posisi Dolar Singapura menguat, maka impor menjadi relatif lebih murah, sehingga diharapkan kondisi ini dapat membuat harga barang jadi lebih stabil. Sebaliknya, jika tingkat inflasi melemah atau malah minus (deflasi), maka tingkat kemiringan pita bakal diperlandai, sehingga apresiasi Dolar Singapura bakal terjadi lebih lambat.
Sedangkan terkait titik tengah (centre), Singapura bakal menggeser rentang pita ketika prospek pertumbuhan ekonomi dan inflasi berubah secara cepat, dan diyakini telah menggeser kondisi fundamental ke arah tren yang baru. Jika kondisi tersebut terjadi Singapura bakal ‘memusatkan kembali’ rentang nilai tukar Dolar Singapura sesuai hasil analisa terkini. Misalnya saja ketika tiba-tiba kondisi perekonomian memburuk dan terjadi krisis keuangan yang berpotensi memicu resesi dan posisi inflasi merosot tajam, maka Singapura bakal menggeser pusat pitanya ke arah bawah.
Dengan kebijakan demikian, maka secara efektif nilai tukar Dolar Singapura bakal terdevaluasi. Kondisi tersebut selanjutnya diharapkan dapat mendorong kinerja ekspor, karena barang-barang Singapura jadi terlihat lebih murah bagi pembeli luar negeri. Artinya, produk Singapura menjadi lebih kompetitif di pasar global. Dengan demikian, harapannya perekonomian domestik bakal tetap dapat menggelait meski berada di masa sulit.
Terakhir, melalui lebar (width) pita, Singapura ingin lebih menyesuaikan diri terhadap kondisi yang terjadi di perekonomian global. Ketika terjadi volatilitas yang cukup tinggi, di mana banyak sekali ketidakpastian yang terjadi di pasar, maka Singapura bakal memperlebar rentang pitanya, sehingga dapat memberi ruang yang cukup terhadap nilai tukar Dolar Singapura untuk berfluktuasi mengikuti dinamika global. Artinya, Singapura bakal lebih fleksibel dan masih akan memaklumi ketika Dolar Singapura melonjak cukup tinggi, atau juga terdepresiasi ke level yang cukup dalam.
Banjir Obligasi
Dan benar saja, seiring dengan kondisi perekonomian global yang tengah berfluktuasi, kebijakan moneter yang diterapkan Singapura lewat S$NEER sukses menjaga nilai tukar Dolar Singapura tetap stabil dan menarik di mata investor. Imbasnya, bank-bank global berduyun-duyun menjual obligasinya di The Lion City karena dinilai cukup menggiurkan lantaran lebih menjanjikan keuntungan dibanding tempat-tempat lain.
Kondisi ini sengaja dibentuk oleh Singapura, karena dengan demikian, jumlah uang beredar di masyarakat sedikit-banyak bakal terserap masuk ke perbankan, sehingga tidak membanjiri pasar. Kondisi ini sama dengan yang diharapkan oleh negara-negara lain dengan menaikkan suku bunga, sehingga masyarakat lebih tertarik menempatkan dananya di bank dengan iming-iming cuan bunga lebih tinggi ketimbang memegangnya dalambentuk cash.
Sedikitnya 12 miliar Dolar Singapura, atau setara dengan US$8,5 miliar, telah terkumpul dari pasar utang Singapura dalam enam bulan pertama 2022, menjadi catatan terbesar untuk periode yang sama sejak 2019 lalu. Untuk satu bulan Juni 2022 saja, telah terkumpul 3,5 miliar Dolar Singapura, yang sekitar setengahnya, juga seperlima dari angka pasar utang Singapura tahun ini, didapat dari penerbitan surat utang Tier 2, yang diterbitkan oleh bank-bank untuk persyaratan modal cadangan.
“Pasar utang di sini masih berperilaku cukup baik. Suku bunganya belum naik secara signifikan,” ujar Ahli Strategi Investasi Senior di DBS Bank Singapura, Daryl Ho, sebagaimana dilansir Antara, Selasa (12/7) lalu.
Bank-bank swasta telah memimpin permintaan investor yang kuat. UOB, penjamin emisi utama untuk surat utang 900 juta dolar Singapura Tier-2 untuk HSBC pada Juni 2022. Ho mengatakan bahwa kelebihan permintaan, dengan bank-bank swasta pembeli terbesar, suku bunga sebesar 5,25 persen adalah harga yang kompetitif.
“Perdagangan dolar Singapura dihargai sekitar 20 hingga 25 basis poin lebih ketat daripada yang akan mereka capai di pasar dolar AS,” ujar Kepala Pasar Modal Utang UOB untuk obligasi, Carolyn Tan.
Para pemberi pinjaman seperti BNP Paribas, ABN Amro dan Barclays dalam beberapa waktu terakhir diketahui juga menjual surat utang dalam dolar Singapura. Kesepakatan Tier-1 alternatif 450 juta dolar Singapura Barclays minggu lalu memiliki kupon 8,3 persen, dibandingkan kupon 8,875 persen pada 1,25 miliar pound sterling (US$1,5 miliar ) yang dikumpulkan seminggu sebelumnya.
“Saya berharap banyak aktivitas finansial di perbankan akan melihat pasar ini dengan sangat cermat,” ungkap Kepala Sindikat Pendapatan Tetap Asia-Pasifik Barclays, Ken Wei Wong.
Pasar uang berjangka diperkirakan untuk melanjutkannya, dengan berjangka eurodolar tiga bulan, yang melacak biaya pinjaman dolar AS di luar negeri, menunjukkan para pedagang memperkirakan suku bunga mencapai 3,0 persen pada akhir tahun.
“Lembaga keuangan cenderung proaktif,” ujar Wakil Presiden Penelitian Kredit di OCBC Bank Singapura, Andrew Wong.
Tetap Melambung
Sayang, dalam beberapa waktu terakhir, strategi mengelola kondisi moneter via S$NEER rupanya tak cukup kuat untuk menahan tekanan kenaikan inflasi yang terjadi di pasar. Faktanya, meski dengan sejumlah kebijakan pengetatan yang telah diambil, Berdasarkan data keuangan yang telah dirilis pemerintah Singapura, inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di negara tersebut melonjak hingga 6,7 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) pada Juni. Level inflasi tersebut memecahkan rekor inflasi tertinggi di Singapura dalam 14 tahun terakhir.
Tak hanya itu, catatan inflasi inti Singapura juga melonjak drastis dari semula 3,6 persen pada Mei 2022 menjadi 4,4 persen pada Juni 2022 lalu. Catatan tersebut sekaligus merupakan pertama kalinya inflasi inti Singapura melampaui batas psikologis 4 persen sejak terakhir kali terlampaui pada akhir 2008 lalu. Sementara biaya akomodasi dan transportasi pribadi juga meroket, dari semula masih 5,6 persen pada Mei 2022 menjadi 6,7 persen pada Juni 2022.
Baca juga : PM Singapura: Inflasi Akan Jadi Masalah Besar Jika Tidak Ada Pencegahan
“Tekanan inflasi (di Singapura) masih akan tetap tinggi pada bulan-bulan mendatang. Sementara inflasi inti juga masih akan memuncak pada triwulan III-2022, sebagai risiko dari (kenaikan) harga komoditas global dan juga tekanan upah domestik,” tulis Otoritas Moneter Singapura (Monetary Authorization of Singapore/MAS), dalam pernyataan resminya, Kamis (28/7).
Dengan kondisi demikian, kebijakan apakah yang bakal diambil oleh Singapura selanjutnya? Apakah opsi menaikkan suku bunga jadi dilirik, guna bisa lebih meredam lonjakan inflasi? Karena faktanya, dengan kuatnya tekanan yang ada, kebijakan pengetatan moneter yang diambil sejauh ini masih kurang cukup kuat dalam menjafa inflasi Singapura dalam batas aman. (*) TSA