Jakarta – Chief Economist Bank Negara Indonesia (BNI), Yohan Setio menilai, kenaikan inflasi secara global diperkirakan tidak akan berdampak pada risiko kredit perbankan (Non Performing Loan/NPL) atau kredit bermasalah. Dirinya menyebut dampaknya bahkan sangat rendah dan tidak terlihat.
Data perbandingan antara inflasi dan NPL selama 2006 hingga 2019 menunjukkan terdapat tiga kali momentum kenaikan inflasi, namun hal tersebut tidak diikuti oleh kenaikan NPL. Oleh karena itu, Yohan optimis kenaikan tingkat inflasi Indonesia saat ini tidak akan terlalu berpengaruh pada kualitas kredit yang tercermin dari NPL.
“Data historis menunjukkan korelasi antara inflasi dan NPL di perbankan itu sangat rendah dan bahkan tidak terlihat. Jadi kalau tahun ini inflasi Indonesia bakal naik, bahkan di kisaran 4% – 6%, saya tidak khawatir kualitas aset di perbankan akan terpengaruh secara signifikan, apalagi didukung dengan kuatnya harga komoditas,” terang Yohan pada paparan virtualnya, Selasa, 31 Mei 2022.
Yohan mengungkapkan, kenaikan tingkat NPL lebih dipengaruhi oleh harga komoditas Indonesia. Ia menunjukkan, peningkatan NPL mulai terlihat ketika harga komoditas Batu Bara dan Kelapa Sawit (CPO) turun di 2012 hingga 2015.
Kondisi ini tidak relevan dengan situasi Indonesia yang saat ini mengalami commodity boom, atau lonjakan harga komoditas yang dipengaruhi konflik Rusia Ukraina. Jika menilik data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), profil risiko lembaga jasa keuangan pada April 2022 masih relatif terjaga.
Hal tersebut tercermin dari angka rasio NPL gross perbankan tercatat 3,00% dan NPL net 0,83%. Sedangkan, Rasio NPF Perusahaan Pembiayaan pun stabil di level 2,70%. Dengan demikian, Yohan mengungkapkan, sektor jasa keuangan Indonesia akan cenderung stabil meskipun terdapat tren inflasi yang meningkat. (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra