Jakarta – Tingkat penetrasi asuransi di Indonesia saat ini memang masih rendah. Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani menyebut penetrasi asuransi di Indonesia, yang tercermin dari rasio premi to GDP, hanya 1,9% menurut riset dari Swiss Re Sigma Database di 2020.
Angka ini masih lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga ASEAN seperti, Singapura 9,5%, Thailand 5,3%, Malaysia 5,4%, dan Vietnam 2,3%. Melihat situasi ini, Menkeu percaya bahwa kolaborasi dari semua pemangku kepentingan menjadi penting, termasuk Pemerintah, DPR, Lembaga Pengawas, Asosiasi, Perusahaan Asuransi, dan konsumen.
“Kolaborasi tersebut harus difokuskan pada bagaimana kita bisa meningkatkan regulasi dan supervisi, memperbaiki GCG, serta menambah SDM yang mumpuni dalam sektor finansial. Kolaborasi ini akan meningkatkan kepercayaan publik pada industri dan meningkatkan penetrasi. Hal ini harus dilakukan dengan inisiatif yang terintegrasi dan berkelanjutan,” ujar Sri Mulyani, Senin, 30 Mei 2022.
Ia menambahkan ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk mendorong lebih jauh tingkat penetrasi industri asuransi. Menurutnya, hal pertama yang perlu dilakukan adalah dengan meningkatkan literasi publik dan edukasi mengenai asuransi. Survei Literasi Finansial dan Inklusi OJK di 2019 mencatat indeks literasi asuransi di Indonesia hanya sebesar 19,4%, meski sudah meningkat 4% dibandingkan survei pada tahun 2016. Angka ini cukup rendah bila dibandingkan dengan sektor perbankan yang mencapai 36,1%.
Kemudian, Sri Mulyani juga mengharapkan penerapan digital technology dan insurtech yang memberikan informasi mengenai asuransi sekaligus berperan sebagai marketplace dan kanal distribusi akan terus bertambah. Dengan teknologi digital, ia optimis produk asuransi bisa lebih personal dan fleksibel.
Pemerintah pun juga tidak tinggal diam dalam upaya meningkatkan literasi dan inklusi asuransi di Indonesia. Ada beberapa inisiatif untuk asuransi agar lebih inklusif, seperti mengimplementasikan program asuransi negara, mewajibkan asuransi bagi perjalanan umroh dan haji, dan memberikan asuransi mikro bagi petani dan nelayan.
Bendahara negara juga menyebut pemerintah tengah mengkaji kebijakan pencabutan lisensi bagi perusahaan asuransi yang melanggar aturan. Hal ini tengah didiskusikan dengan stakeholder terkait untuk memastikan konsumen mendapatkan perlindungan yang dibutuhkan ketika perusahaan asuransi mengalami masalah. Lalu, ada pula kajian kebijakan mengenai keperluan untuk memperkuat pengawasan terintegrasi demi meningkatkan kepercayaan publik, tidak hanya kepada perusahaan asuransi, tetapi juga bagi keseluruhan market finansial.
“Reformasi sektor finansial bukan hanya tugas pemerintah dan parlemen saja, tetapi juga agenda penting bagi industri dan masyarakat. Pemerintah terbuka kepada masukan konstruktif dari pelaku IJK, investor, partner internasional, institusi, ahli dan tentunya publik,” tutup Sri Mulyani. (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra