Oleh Taufik Mappaenre
PEMBENTUKAN Satgas BLBI oleh pemerintah, serta menyimak sepak terjangnya melalui media massa akhir-akhir ini, seperti menonton “Life of Pi”. Terkesan baru pulih dari koma berkepanjangan. Lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban, sehingga mendorong saya untuk membagi ingatan yang masih ada. Better now, than very late.
Urusan BLBI, pasti terkait dengan BPPN. Lembaga yang ditugasi untuk menanggulangi krisis sistemik perbankan 1998 tersebut mengambil alih hak tagih bank sentral terhadap perbankan nasional (ex BLBI), dengan pembayaran berupa obligasi pemerintah. Sebuah skema menentukan yang direstui IMF, di antara langkah-langkah penting lainnya.
Tahun 2004 BPPN dibubarkan, dan seluruh hak serta kewajibannya beralih ke Menteri Keuangan, termasuk urusan BLBI. Sebagian urusan BLBI dapat diselesaikan di BPPN, dan sebagian lainnya diterus-kelola oleh Menteri Keuangan. Sekalipun ditangani oleh lembaga yang berbeda, namun pada dasarnya skema penanganan urusan BLBI tetap sama dan semestinya ada benang merah yang berkelanjutan, sehingga upaya Satgas BLBI menjadi lebih bermakna.
BLBI
Sebagai hak tagih terhadap bank, pemulihan BLBI dapat diselesaikan dari hasil penjualan aset bank, melalui pembayaran oleh pemegang saham bank, dan/atau koleksi hak tagih bank terhadap debitur bank. Skema tersebut jelas serta terukur, dan semua infrastruktur dan mekanisme hukum yang diperlukan sudah tersedia.
Salah satu upaya pemulihan secara komersial atas dana BLBI di BPPN yaitu melalui program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Saat itu, pelanggaran hukum perbankan ditengarai sangat marak, sehingga pemegang saham bank penerima BLBI setengah dipaksa untuk ikut program PKPS guna menanggung seluruh/sebagian kewajiban BLBI, dengan iming-iming pelanggaran hukum tadi akan dikesampingkan dan diterbitkan surat keterangan lunas. Pembayaran BLBI oleh pemegang saham bank dilakukan secara tunai dan/atau penyerahan aset.
Pada tahapan awal, banyak pemegang saham bank yang bersedia ikut dalam program PKPS. Hanya sebagian kecil yang menolak. Yang menolak ikut PKPS dicap “tidak kooperatif”. Selama lima tahun lebih keberadaan BPPN, terjadi pergantian pimpinan selama tujuh kali, yang senantiasa diikuti dengan perubahan sikap dan cara dalam penanganan PKPS, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Pemegang saham bank yang semula semangat ikut PKPS menjadi galau dan “mandek kooperatif”.
Inpres Nomor 8 Tahun 2002
Ketidakpastian hukum tersebut merugikan semua pihak. Bukan hanya urusan PKPS, tapi hampir seluruh urusan di BPPN terdampak oleh hal tersebut. Oleh karena itu, di akhir 2002, pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002. Inpres ini khusus diterbitkan bagi penanganan urusan BLBI melalui program PKPS oleh BPPN. Namun, politik hukum dan suasana batin yang mendasarinya masih sangat relevan dengan penanganan urusan BLBI pada saat ini oleh Satgas BLBI, terutama sebagai sebuah benang merah yang perlu dibunyikan ulang secara tegas dan jelas.
Sederhananya, Inpres 8/2002 menetapkan bahwa pemegang saham bank yang kooperatif dalam rangka PKPS harus diberikan kepastian hukum. Sedangkan yang tidak kooperatif dikenai tindakan hukum. Patokan kooperatif atau tidak kooperatif adalah bukti penyelesaian yang diterbitkan oleh BPPN. Dengan kata lain, pemegang saham bank yang tidak ikut PKPS atau ikut PKPS namun tidak memperoleh bukti penyelesaian dari BPPN merupakan “obligor tidak kooperatif” dan terhadapnya harus dikenai tindakan hukum.
Bagian terakhir ini yang semestinya tetap dilanjutkan sebagai benang merah dalam penanganan urusan BLBI oleh Satgas BLBI, agar terdapat perlakuan yang berbeda antara obligor yang kooperatif dan obligor yang tidak kooperatif. Sejatinya tidak ada lagi peluang penyelesaian secara komersial bagi obligor yang tidak kooperatif, karena setelah BPPN bubar, peluang tersebut sudah tertutup.
Yang tersisa bagi obligor yang tidak kooperatif hanyalah tindakan hukum. Tanpa perbedaan perlakuan antara obligor yang kooperatif dan yang tidak kooperatif, termasuk upaya tidak penting untuk merumuskan kriteria baru tentang kooperatif dan tidak kooperatif secara berbeda dari Inpres 8/2002, maka dikhawatirkan ketidakpastian hukum dimaksud tetap berlanjut.
Pilihan Tindakan Hukum
Selanjutnya, tindakan hukum apa saja yang dapat diambil oleh Satgas BLBI terkait dengan urusan BLBI dan obligor yang tidak kooperatif? Pada masa BPPN terdapat dua gugus tugas yang berfungsi merumuskan landasan/argumen hukum bagi pemberian kepastian hukum kepada obligor yang kooperatif dan mekanisme tindakan hukum terhadap obligor yang tidak kooperatif dalam kerangka PKPS, yaitu Tim Pengarah Bantuan Hukum KKSK dan Tim Bantuan Hukum BPPN.
Satgas BLBI cukup mempelajari hasil kajian dan rekomendasi dari kedua gugus tugas tadi, yang dokumennya disimpan pada kantor Kementerian Keuangan. Pastikan agar membaca bagian tentang “obligor yang tidak koperatif”, karena demikianlah status semua obligor BLBI ex BPPN yang tidak memperoleh bukti penyelesaian dari BPPN melalui program PKPS, dan yang kebetulan sedang ditangani Satgas BLBI.
Mengingat semestinya tidak ada lagi penyelesaian secara komersial/di luar peradilan, maka perlu dilakukan sinkronisasi dalam tindakan hukum yang diambil oleh aparat penegak hukum di lingkungan eksekutif dan yudikatif secara nasional, sehingga tidak terjadi kesenjangan atau ketimpangan dalam aksi, prosedur, dan hasil akhir. Sinkronisasi tersebut bukan ujud intervensi terhadap fungsi peradilan, karena maksud, tujuan, dan semangatnya sudah sejalan: tindakan hukum bagi obligor ex BPPN yang tidak kooperatif.
Biaya Krisis
Hingga saat ini, kita masih belum memiliki keberanian untuk mengakui bahwa biaya krisis itu ada dan nyata. Entah itu biaya yang timbul akibat krisis moneter 1998, entah akibat krisis perbankan 2008, atau nantinya biaya krisis akibat pandemi COVID-19 yang belum usai.
Mohon dicatat bahwa dana BLBI sebesar Rp110 triliun yang ditangani Satgas BLBI hanya sebagian, lebih kurang 20%, dari total dana yang telah disalurkan atau kewajiban yang masih ditanggung oleh pemerintah, dalam rangka pembiayaan krisis moneter 1998 melalui BPPN. Perlu dibuat peta jalan bagi penyelesaian kewajiban-kewajiban non-BLBI dimaksud, sehingga masyarakat mafhum bahwa total biaya krisis moneter 1998 (termasuk BLBI) adalah Rp600 triliun.
*) Penulis adalah Advokat, Mantan Deputi Ketua BPPN