Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Institute
BANK-BANK masih seperti mengidap “prostat”. Sudah sebelas bulan belum juga “kencing kredit”. Padahal, banyak pejabat yang sudah memberi sinyal kalau ekonomi sudah membaik. Penjualan mobil melaju, juga permintaan terhadap properti. Harga komoditas pun meningkat dan memberi banyak fulus bagi eksportir.
Seperti dapat “durian runtuh”, selama COVID-19 neraca perdagangan surplus. Belanja negara terus meningkat. Dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) juga terus mengucur. Bahkan, kata Menteri Investasi dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM), investasi terus meningkat. Lha, kok kredit masih “paceklik”.
Jadi, apa masalahnya kok bank-bank masih tak mau melepas kredit? “Doping” dari sisi panawaran sudah tidak kurang-kurang. Suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) juga sudah turun lebih dalam dibandingkan dengan dua tahun lalu. Ada relaksasi pula untuk kredit properti dan pembelian mobil dengan loan to value (LTV) 100% atawa down payment (DP) nol persen. Juga, ada stimulus restrukturisasi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang diperpanjang hingga Maret 2022.
Menurut data Infobank Institute yang diolah dari BI, per Mei 2021 (year to year/yty), kredit masih minus 1,8%. Jika dibandingkan dengan bulan-bulan lalu sepanjang 2021, kontraksi kredit makin mengecil. Pada Maret 2021 kontraksi kredit mencapai 3,75%, dan April minus sebesar 2,28%. Namun, jika menghitung year to date (ytd) dari akhir 2020 hingga Mei 2021, kredit hanya tumbuh 0,60%.
Meski demikian, ada secercah harapan. Kredit segmen UMKM tumbuh 1,7% dan kredit konsumsi tumbuh 1,39%. Lebih keren lagi adalah pertumbuhan kredit properti yang mencapai 6,61%. Ini artinya stimulus yang diberikan oleh BI berhasil mendorong pertumbuhan kredit properti, khususnya KPR.
Namun, kredit korporasi tetap minus. Selain banyak korporasi kelas premium yang melunasi pinjamannya, ada segmen korporasi KW2 yang tak mendapat kucuran kredit. Bahkan, bank-bank pun sangat selektif dan cenderung “puasa” kredit ke sektor korporasi. Banyaknya kredit korporasi yang masuk restrukturisasi menambah kekhawatiran bank untuk menambah kredit ke segmen ini.
Berdasarkan kelompok peminjam, kredit perorangan terus tumbuh. Sementara, kredit korporasi makin mengecil. Ada permintaan kredit perorangan, seperti KPR dan segmen UMKM. Hal ini tentu menggembirakan. Diharapkan kredit UMKM ini akan terus bertambah.
Pandemi COVID-19 Gelombang Kedua
Sebelum kasus COVID-19 meledak sampai menembus 2 juta kasus, sejumlah pejabat, termasuk Presiden Joko Widodo, memperkirakan ekonomi Indonesia pada triwulan II 2021 akan tumbuh pada kisaran 7%-8%. Banyak yang memprediksi ekonomi membaik, dan memang jika melihat indikator ekonomi, seperti penjualan retail, ekspor, dan belanja negara, harusnya ekonomi bisa tumbuh positif. Optimisme dunia usaha sangat besar terhadap ekonomi triwulan II ini.
Namun, sekarang, banyak bankir kembali sedikit ragu melihat perkembangan COVID-19 akhir-akhir ini, dengan pembatasan kegiatan – tentu situasinya kembali pada kondisi yang tidak mudah. Ekonomi kembali melambat sejak pertengahan Juni hingga akhir Juni 2021. Boleh jadi, ekspektasi yang tinggi perlu dikoreksi. Pertumbuhan ekonomi tidak akan sebesar yang diperkirakan, justru malah bisa kembali negatif.
Kembali ke soal kredit. Meski triwulan II ini ekonomi sudah membaik, tapi tampaknya pertumbuhan kredit juga masih akan minus. Bank-bank terpaksa mengurungkan niatnya untuk ekspansi karena adanya gelombang kedua COVID-19. Tidak mudah mengucurkan kredit ketika ketidakpastian masih tinggi.
Pendek kata, meski ekonomi mulai tampak baik, seperti kata para pejabat, tapi masih mengandung ketidakpastian. Kredit-kredit tidak akan mengucur, karena permintaan yang tidak ada. Belum banyak perusahaan yang benar-benar bisa berjalan dengan normal kembali.
Di lain sisi, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) terus membesar. Kelompok penabung besar justru tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan penabung kecil. Kelompok kelas menengah (korporasi) lebih memilih menanam duit di bank daripada untuk usaha. Pertumbuhan DPK korporasi naik 18,16%, sebaliknya kelas rumah tangga turun 6,35%.
Apakah itu mengindikasikan bahwa rakyat kecil sudah mengambil tabungannya untuk makan? Apakah korporasi lebih aman menyimpan uangnya di bank ketimbang untuk ekspansi? Boleh jadi, keduanya benar, meski harus dipastikan lebih dulu. Dan, yang pasti, bank-bank masih belum lancar “kencing” kredit.
Kendati demikian, bank-bank terus memperbaiki cost of funds (CoF). Bank-bank berlomba menurunkan suku bunga simpanan. Tidak mau lagi bernafsu menjaring DPK dengan bunga tinggi. Bank-bank berlomba-lomba menurunkan suku bunga dana. Tujuannya, agar CoF-nya makin rendah, sehingga masih ada selisih jika ditempatkan di Surat Berharga Negara (SBN).
Di tengah paceklik kredit pun, bank-bank masih bisa berharap dari SBN. Untuk bank-bank yang CoF-nya 2% sampai dengan 3% pun masih bisa menikmati imbal hasil dari SBN yang risikonya rendah. Kata bankir, untung masih ada SBN. Infobank Institute mencatat, rasio SBN terhadap kredit mencapai 24% dari 11% di 2019 lalu.
Jadi, persaingan sekarang ini adalah rendah-rendahan biaya dana. Makin rendah, makin menang bank itu. Sebab, dana itu bisa “disekolahkan” di SBN. Bisa repo lagi, beli SBN pula. Namun, siapa sih bankir yang tidak ingin memberikan kredit? Tapi, ya itu tadi, permintaan masih rendah, dan risiko ketidakpastian masih tinggi. Jadi, sementara parkir dulu di SBN. Halal dan aman.
Jadi, berharap bank “kencing” kredit dalam waktu dekat sepertinya masih dalam sebatas angan-angan. Faktanya, meski kata para petinggi negara ekonomi sudah membaik, toh kredit bank belum juga lancar. Apakah ini karena terganggu besarnya kredit yang direstrukturisasi (25%), atau karena ketidakpastian yang tetap tinggi? Atau, karena memang permintaan kredit yang juga sepi?
Untungnya beternak di SBN masih nikmat, meski kredit paceklik. Nikmat SBN mana lagi yang kau dustakan. (*)