Jakarta – Ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China (Tiongkok) sudah berlangsung dua tahun lamanya. Kondisi ini tentu saja terus mempengaruhi sejumlah negara, terutama di wilayah Asia.
Hingga Agustus 2019, ekspor Cina ke Amerika Serikat turun 9% (ytd) menjadi US$272,5 miliar. Impor dari Amerika Serikat anjlok lebih dalam lagi (-28% secara tahunan, atau sebesar US$80 miliar). Hingga saat ini, neraca perdagangan kedua negara tersebut nyaris tetap sama seperti pada 2018 (US$195 miliar). Kerugian akibat dari perang dagang itu mungkin saja tidak sama, tapi dampaknya pada defisit sejauh ini pada dasarnya nol.
Lalu bagaimana pengaruhnya bagi Indonesia? Kepala Ekonom DBS Indonesia, Masyita Crystallin memperkirakan mengalami deflasi tipis secara bulanan sehingga angka inflasi tahunan menjadi 3,5% pada September 2019, sama seperti pada bulan sebelumnya.
Inflasi makanan kemungkinan tetap rendah, sementara dampak harga emas terhadap keseluruhan inflasi telah berkurang jika dibandingkan dengan pada bulan lalu. Mengingat inflasi makanan tipis, meskipun ada El-Nino, dan harga eceran bahan bakar dalam negeri tetap, inflasi kemungkinan tetap di bawah sasaran menengah BI, di angka 3,5%.
Inflasi, yang stabil, menjelang akhir 2019 menyediakan ruang bagi BI seandainya harus melakukan pelonggaran keuangan lebih agresif saat momentum pertumbuhan melambat. “Kami memperkirakan pemotongan 25 bps lagi pada triwulan IV-2019” ujar Masyita.
Masih kata Masyita, Bank Sentral India kemungkinan melakukan pemotongan sebesar 20 bps pada minggu ini. Hal ini mencerminkan keputusan mereka untuk mengambil jalan tengah, yaitu berorientasi pada pertumbuhan seraya tetap mencadangkan sebagian dari “amunisi” seiring dengan peningkatan risiko fiskal.
Secara umum, inflasi di kawasan Asia masih lemah yang mencerminkan kelemahan permintaan dalam negeri. Data Indonesia, Filipina, Korea Selatan dan Thailand, yang keluar pada minggu ini, menunjukkan inflasi lebih rendah daripada 19 Agustus.
Data Malaysia per Agustus 2019 menyebutkan pertumbuhan ekspor berangsur membaik dengan proyeksi pertumbuhan 2,5% (yoy). Hal ini menunjukkan perbaikan dari sebelumnya dimana ada penurunan sebesar 5,6% per Februari 2019. Perang dagang yang membebani kinerja eksp[or secara perlahan dikurangi, dan terjadi pengalihan perdagangan secara bertahap yang kemudian menguntungkan beberapa industry di Negara ini. Pertumbuhan impor kemungkinan mencatatkan penurunan yang tajam yakni dikisaran 9,8% (yoy). Hal ini mendorong surplus perdagangan sebesar 10,8 miliar ringgit Malaysia. Sebelumnya surplus tercatat mencapai 14,2 miliar ringgi Malaysia
Untuk Philipina, Masyita memperkirakan inflasi akan sedikit terkoreksi menjadi 1,6% (yoy) pada September 2019 dari posisi sebelumnya 1,7% yang didorong oleh inflasi makanan yang rendah dan permintaan domestic yang lemah. Kendati terjadi kenaikan harga minyak, tetapi tidak terdapat inflasi transportasi di Thailand yang tercermin dari penurunan inflasi trasportasi sebesar 0,2% pada Agustus 2019.
Sampai dengan Agustus 2019, makanan dan minuman mencatatkan inflasi terendah di level 0,6%. Sementara kelompok lainnya sepertu perumahan, air dan listrim kesehatan, rekreasi, budaya dan restooran mengalami perlambatan. “Kami memprediksi inflasi bulanan akan tetap di bawah 2% hingga akhir tahun” ujar masyita. Hal ini akan memberikan lebih banyak ruang bagi kebijakan moneter untuk mendukung pertumbuhan lebih lanjut tahun ini.
Di India, inflasi tercatat tetap dibawah target. Penurunan tajam untuk tarif pajak perusaaan dan pertumbuhan yang positif telah meningkatkan risiko kelesuan fiscal di margin. “Kami memprediksi Bank of India akan mengambil jalan tengah berorientasi pada pertumbuhan dengan sikap akomodatif . Di satu ank snetral juga akan melakukan pencadangan yang cukup sebagai langkah antisipasi saat tali dompet fiscal dilonggarkan secara bersamaan. Bias dovish juga akan membantu membatalkan kenaikan imbal hasil obligasi yang disaksikan setelah pemotongan pajak.
Di Tahiland, bank sentral (Bank Of Thailand/BOT) memasang target inflasi sebesar 0,4% – 0,5% pada Agustus 2019 yang mampu dilampaui dengan baik.Tekanan harga mereda di semua komponen kecuali makanan yang mengalami penurunan dalam beberapa bulan terakhir. Gangguan pasokan yang terkait dengan banjir dan permintaan rutin telah menjaga inflasi pangan dalam penanganan 2-3% (YoY) dalam delapan bulan terakhir tahun ini.
Dampak sementara dari lonjakan harga minyak Saudi menyebabkan harga bahan bakar domestik turun pada tahun ini. Kondisi ini hanya membebani segmen Transportasi & Komunikasi. Di luar makanan dan bahan bakar, inflasi inti menyatu dengan pembacaan inflasi yang lemah pada bulan Agustus dan rata-rata 0,5% (ytd). Inflasi yang lemah memberikan ruang bagi BOT untuk menurunkan suku bunga bulan ini, sehingga membantu untuk mendorong pertumbuhan dan menahan kenaikan baht lebih lanjut.