Jakarta – Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate (BI7DRRR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,25 persen.
Hal ini sesuai prediksi Kepala Ekonom BNI, Ryan Kiryanto, kemarin, penurunan suku bunga acuan perlu dilakukan untuk mengakselerasi kegiatan perekonomian melalui jalur sistem perbankan, dimana perbankan dikondisikan untuk segera menyesuaikan arah suku bunga (simpanan dan kreditnya) sesuai dengan arah suku bunga acuan sebagai jangkar.
“Seperti sudah saya perkirakan sebelumnya, bahwa RDG BI hari ini akan menurunkan bunga acuan atau BI7DRRR sebesar 25 bps menjadi 5,25%. Juga untuk lending rate dan deposit facility rate. Hanya yang mengejutkan, pada RDG BI kali ini juga dilonggarkan kebijakan makroprudensialnya (LTV, RIM), melengkapi kebijakan moneter (suku bunga) dengan turunnya BI rate,” kata Ryan di Jakarta, Kamis, 19 September 2019.
Lebih jauh jelasnya, cepat atau lambat gerakan suku bunga akan bergerak ke bawah, yang pada gilirannya akan mendorong permintaan kredit produktif (dengan dilonggarkannya rasio RIM) maupun kredit konsumtif (dengan dilonggarkannya rasio LTV untuk kredit properti/KPR dan kredit kendaraan bermotor/KKB). Ini dari sisi konsumen bank (demand side).
Sedangkan dari sisi bank (supply side), perbankan didorong melonggarkan suku bunga (utamanya bunga kredit) sehingga fungsi intermediasi meningkat selaras dengan relaksasi rasio likuiditas (RIM) dan rasio LTV.
Adapun yang melandasi keputusan RDG BI kali ini yang sungguh akomodatif atau dovish ini jelas Ryan, antara lain, arah ekspektasi inflasi yang terkendali pada kisaran 3,3% FY, sikap dovish sebagian besar bank sentral di dunia, bahkan ada yang negative interest rate (ECB, BOJ), termasuk turunnya FFR oleh The Fed tadi malam sebesaf 25 bps menjadi 1,75-2,00%, ruang fiskal (porsi belanja barang dan modal) oleh pemerintah (K/L) yang masih cukup besar, nilai tukar rupiah yang relatif stabil karena semua faktor sudah price-in, serta untuk menjaga momentum pertumbuhan agar tidak hilang.
Sehingga dapat dikatakan bahwa dasar pertimbangan keputusan RDG BI hari ini (19/9) karena BI memang konsisten dengan pendekatan ahead the curve dan pre-emptive action policy menyikapi signal perlambatan pertumbuhan ekonomi karena kuatnya pengaruh negatif dari faktor eksternal (trade war AS-Cina, Brexit yang no deal, risiko geopolitik seperti AS-Korut, AS-Iran, AS-Uni Eropa, Korsel-Jepang, AS-Vietnam, proteksionisme, penurunan volume perdagangan dunia dan harga komoditas global). Jadi langkah BI saat ini boleh dibilang sangat strategis dan monumental karena bauran kebijakannya yang bersifat “jamu manis” amat dibutuhkan oleh perbankan dan pelaku sektor riil.
“Hanya saja ini belum cukup. Luxury kebijakan BI ini perlu diselaraskan atau diimbangi dengan kebijakan fiskal, ekonomi dan investasi yang juga harus akomodatif atau longgar. Alhasil, terjadi bauran kebijakan yang baik dan kredibel antara moneter dan makroprudensial (BI) dan fiskal yang akan diapresiasi oleh pasar. Reformasi struktural pun tetap harus menjadi agenda prioritas pemerintah. Pada akhirnya, semoga pertumbuhan DPK bisa tumbuh lebih baik di kisaran 8-10% dan kredit berkisar 11-13% di 2019 ini dengan outlook pertumbuhan ekonomi berkisar 5,1% YoY,” tutup Ryan. (*)