Jakarta–Pelarangan ojek online oleh pemerintah beberapa waktu lalu dinilai sebagai kegagalan menteri Joko Widodo (Jokowi) dalam memahami regulasi. Hal itu makin diperkuat oleh keputusan pemerintah untuk kembali menarik regulasi yang belum lama diterbitkannya tersebut.
Ketua Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) Bidang Organisasi, Anggawira, menyatakan bahwa seharusnya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang solutif dan bukan menghambat pertumbuhan ekonomi.
“Keberadaan negara ini seharusnya merangkul dan membuat kebijakan yang solutif, bukan dengan langsung melakukan pelarangan seperti Gojek dan keberadaan virtual office, Ini sudah gagal paham” ujar Anggawira.
Anngawira juga menyebut bahwa Jokowi seharusnya memperhatikan menterinya yang mengeluarkan kebijakan penting.
“Ini seharusnya menjadi konsen Jokowi. Menteri Jonan melarang aplikasi transportasi, Mendag Lembong mengeluarkan Surat Edaran Virtual Office tidak bisa didaftarkan menjadi perusahaan, ini konsen pemerintah terhadap pengusaha pemula bagaimana? Kalau melarang semua orang bisa, Jika tidak bisa mengeluarkan kebijakan yang memberikan solusi untuk masyarakat ya dicopot saja!,” tegas Angga.
Anggawira juga menambahkan, pemerintah harus melihat bagaimana peran ekonomi kreatif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Menurutnya, kecenderungan inovasi bisnis yang melampaui aturan selalu dimatikan ketimbang dicarikan solusinya. Padahal seharusnya pemerintah bisa lebih sensitif menciptakan regulasi yang pro bisnis dan memberikan kemudahan.
“Semakin banyak jumlah pengusaha tentu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan,” papar dia.
Selain menggerakan investasi dan kewirausahaan, HIPMI juga menilai bisnis Go-Jek dan kawan-kawan sangat pro job, sebab dapat menciptakan lapangan kerja dan mampu memberi jawaban atas tingginya angka pengangguran.
HIPMI Research Center mencatat, tingkat pengangguran terbuka (TPT) dari Januari hingga Agustus 2015 sebanyak 7,56 juta orang. Artinya, jumlah pengangguran bertambah 320 ribu dibanding dengan tahun sebelumnya sebanyak 7,24 juta orang pada Agustus 2014. (*) Rezkiana Nisaputra