Jakarta–Kerentanan di perbankan akibat perlambatan ekonomi global terus berlangsung. Sejumlah praktisi dan pengamat perbankan menyatakan akan kekhawatiran yang mendalam terhadap beberapa faktor pemicu kerentanan perbankan ke arah yang lebih parah.Survey Banking Banana Skins 2015 mendeteksi ada enam faktor penyebab kerentanan di perbankan global.
Pertama, adalah kekhawatiran akan dampak perlambatan ekonomi global yang masih belum menunjukkan adanya pemulihan. Hal ini berdampak terhadap sistem perbankan yang kini sudah mulai rapuh.
Kedua, kekhawatiran akan cybercrime. Perbankan juga sangat rentan terhadap pertumbuhan kejahatan keuangan, khususnya kejahatan cyber (cybercrime). Melonjaknya jumlah cybercrime membuat kekhawatiran akan kejahatan cyber menjadi kekhawatiran terbesar kedua tahun ini. Padahal, tahun lalu, kejahatan cyber hanya ada di posisi kesembilan.
Kekhawatiran ini juga menjadi kekhawatiran global seiring dengan semakin ahlinya para pelaku kejahatan cyber menjadikan mata rantai lemah sebagai target di antara seluruh mata rantai sistem perbankan global yang saling terpaut dengan ketat. Disamping itu, kemampuan bank untuk mengelola pertumbuhan kejahatan cyber juga dipertanyakan. Survei menunjukkan, terdapat kekhawatiran besar tentang kualitas teknologi mereka (diurutan keempat) dan sistem manajemen risiko mereka (diurutan keenam).
Ketiga, kekhawatiran lain yang juga semakin besar adalah soal praktik bisnis bank. Kekhawatiran responden akan praktik bisnis bank naik dari urutan ke-16 tahun lalu menjadi diurutan kedelapan. Hal ini karena terdapat persepsi bahwa bank gagal untuk melaksanakan“perubahan kebudayaan” dalam pengelolaan praktik bisnis meskipun peraturan telah memberi tekanan yang berat dan pemberlakuan denda yang tinggi.
Kekhawatiran yang keempat adalah risiko di negara berkembang. Berdasarkan survey “Banking Banana Skins 2015”, kekhawatiran akan negara berkembang meningkat dari urutan ke-17 menjadi ke- 15. Kekhawatiran berfokus pada prospek Tiongkok dan dampak lemahnya harga komoditas terhadap ekonomi negara-negara yang memiliki ketergantungan satu sama lain.
Kelima, adalah kekhawatiran akan praktik shadow banking serta sektor keuangan subsider yang tidak tercakup dalam peraturan, yang pertumbuhannya didorong oleh peraturan berlebihan terhadap pemasok jasa utama. Kekhawatiran akan praktik shadow banking dalam survey tahun ini naik dari posisi ke-20 menjadi ke-16.
Keenam, kekhawatiran akan risiko campur tangan politik dalam industri perbankan, dan peraturan yang berlebihan . Kekhawatiran akan campur tangan politik dalam industri perbankan menurun dari nomor 2 tahun sebelumnya ke nomor 5. Sementara kekhawatiran akan peraturan yang berlebihan yang sejak lama menjadi risiko berperingkat tinggi dalam survei ini, merosot dari posisi teratas tahun lalu ke nomor 3. Kedua perubahan ini mengisyaratkan pengetatan pasca krisis terhadap bank telah berkurang.
Ketujuh, kekhawatiran akan meningkatnya risiko ancaman media sosial yang meningkat dari urutan ke-19 ke urutan 11. Hasil survey menyebutkan, kekuatan virtual yang dimiliki media sosial dapat merusak reputasi bank dengan atau tanpa disertai bukti yang kuat.
Global Financial Services Risk Leader PwC, Dominic Nixon mengatakan, meskipun bank dan pembuat kebijakan telah melakukan banyak hal untuk memperkuat pengendalian risiko, bank masih harus melakukan banyak hal lain untuk menangani skala risiko tersebut dan karakteristik yang terus berubah. Survei ini menunjukkan konsensus global yang cukup kuat bahwa ancaman utama bagi keamanan perbankan datang dari aspek-aspek seperti kriminalitas, yang naik peringkat secara dramatis, risiko teknologi, dan pelaksanaan praktik.
“Yang juga patut dicatat adalah model bisnis yang sebelumnya belum pernah dimuat. Fakta bahwa risiko ini berada pada 10 besar, dan secara konsisten berperingkat tinggi di seluruh kawasan yang kami survei, menunjukkan bahwa risiko ini cukup menyita perhatian” terang dia.(*) Ria Martati