Kenaikan Suku Bunga BI Diprediksi Masih Berlanjut Hingga 2019

Kenaikan Suku Bunga BI Diprediksi Masih Berlanjut Hingga 2019

Jakarta – Kenaikan suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate yang sudah dilakukan sebanyak dua kali menjadi 4,75 persen dirasa belum cukup untuk merespon risiko kondisi global yang terjadi saat ini. Bank Indonesia (BI) diperkirakan masih akan melakukan pengetatan kebijakan moneternya melalui suku bunga acuan hingga dua kali lagi di tahun ini atau menjadi 5,25 persen.

Bahkan, BI sendiri sudah memberikan sinyal untuk menaikkan suku bunga acuannya dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 27-28 Juni 2018 yang akan datang. Bank Sentral AS (The Fed) yang baru saja menaikkan suku bunga acuannya ke kisaran 1,75 persen hingga 2 persen pada pekan lalu (13/6) juga menjadi alasan BI untuk kembali menaikkan suku bunganya dalam RDG di bulan Juni ini.

Dalam rapat The Fed (FOMC Meeting) yang dilakukan bulan ini juga menunjukkan adanya tanda kenaikan suku bunga AS (Fed Rate) hingga empat kali di tahun ini dari sebelumnya yang hanya tiga kali. Kondisi ini telah membuat rupiah bergerak limbung. Pasca libur Lebaran, nilai tukar rupiah kembali mengalami tekanan yang cukup dalam terhadap dolar AS. Rupiah sempat menyentuh Rp14.100 per US$.

Untuk itu, Bank Sentral berkomitmen dan fokus pada kebijakan jangka pendek dalam memperkuat stabilitas ekonomi, khususnya stabilitas nilai tukar rupiah dan menjaga stabilitas perekonomian. BI siap menempuh kebijakan lanjutan yang pre-emptive, front loading, dan ahead the curve dalam menghadapi perkembangan baru arah kebijakan dari The Fed dan ECB.

Kebijakan lanjutan tersebut dapat berupa kenaikan suku bunga yang disertai dengan relaksasi kebijakan Loan to Value (LTV) untuk mendorong sektor perumahan. Selain itu, kebijakan intervensi ganda, likuiditas longgar, dan komunikasi yang intensif juga dilanjutkan oleh BI dengan mempererat koordinasi antara BI, Pemerintah, dan OJK untuk memperkuat stabilitas dan mendorong pertumbuhan.

Ekonom Indef, Bhima Yudhistira mengatakan, awalnya kenaikan bunga acuan BI sebanyak dua kali dibulan Mei kemarin dianggap cukup sejalan dengan ekspektasi kenaikan Fed Rate ditahun ini yang hanya tiga kali. Namun, dalam FOMC Meeting pekan lalu menunjukkan adanya tanda kenaikan Fed Rate hingga empat kali di tahun ini. Mau tidak mau BI juga harus meresponnya dengan ikut menaikkan lagi suku bunganya di Juni ini.

“Disitulah kemudian BI harus lakukan kebijakan ekstra pengetatan moneter untuk tahan aksi jual asing di instrumen keuangan lokal. Terbuka peluang pada RDG Juni ini BI akan naikan lagi 25 bps. Bahkan sampai akhir 2018 bunga acuan bakal bergerak di 5,25 persen,” ujar Bhima kepada Infobank, di Jakarta, Jumat, 22 Juni 2018.

Terlebih, kata dia, tidak menutup kemungkinan bagi BI untuk terus melakukan pengetatan kebijakan moneternya hingga tahun depan jika memang kondisi global masih memberikan sentimen negatif terhadap stabilitas nilai tukar rupiah dan juga perekonomian nasional. Bank Sentral diprediksi bakal kembali menaikkan suku bunga acuannya hingga dikisaran 5,50 persen sampai 5,75 persen di tahun depan.

Baca juga: Antisipasi The Fed, Mandiri Imbau BI Menyesuaikan Suku Bunga

“Bila tekanan rupiah masih terus berlanjut, tahun depan bisa saja loncat ke 5,5-5,75 persen suku bunganya. Kerja keras BI nampaknya masih dikisaran kebijakan bunga acuan dan cadangan devisa. Jadi masih muter-muter di moneter saja,” tegasnya.

Data-data ekonomi AS yang masih cukup solid dengan tingkat pengangguran 3,8 persen atau terendah bahkan sebelum krisis 2008 silam, lanjut dia, menjadi alasan kuat The Fed untuk menaikkan suku bunganya sebanyak empat kali ditahun ini. Kondisi ini juga didukung oleh laju inflasi AS yang menunjukkan sinyal cukup positif, sehingga membuat Bank Sentral AS pede untuk naikkan suku bunganya.

Bank-bank sentral negara lain seperti ECB juga tidak mau ketinggalan karena berencana menghentikan quantitative easing nya. Di mana pada tahun depan ECB diperkirakan juga mulai melakukan kenaikan suku bunga acuannya. Seluruh negara-negara didunia saat ini trend bunganya menjadi mahal tak terkecuali Indonesia pun juga demikian.

Kendati begitu, naiknya bunga acuan bukan berarti tak memberikan efek negatif terhadap perekonomian. Kebijakan moneter BI yang masih memiliki ruang untuk dinaikkan lagi dari posisi saat ini yang sebesar 4,75 persen diasumsikan sebagai buah simalakama. Bagaimana tidak, jika BI kembali menaikkan suku bunga acuannya, maka dampak yang paling menonjol adalah adanya kontraksi pada pertumbuhan kredit perbankan.

Kontraksi pertumbuhan kredit perbankan terjadi lantaran permintaan kredit yang menurun akibat ikut meningkatnya suku bunga kredit perbankan sebagai respon kenaikan bunga acuan. “Kebijakan BI ini seperti buah simalakama. Kalau tidak dinaikan nanti capital outflow terus keluar dan tekan rupiah. Imbas ke ekonomi jadi kurang bagus. Kalau dinaikkan berefek ke kontraksi pertumbuhan kredit dan menggerus pertumbuhan ekonomi,” paparnya.

Suku bunga acuan yang naik akan memicu naiknya bunga kredit perbankan dalam waktu 1-3 bulan. Asumsinya jika bunga acuan BI naik 4-5 kali ditahun ini atau menjadi level 5,25 persen, maka suku bunga kredit bukan tidak mungkin untuk tembus mencapai rata-rata 11,75-12,00 persen. “Jarak transmisi yang cukup singkat membuat cost of borrowing pelaku usaha naik signifikan. Dengan bunga yang mahal, pelaku usaha akan tunda untuk ekspansi,” katanya. (*)

Related Posts

News Update

Top News